Bab 1 - Jenar dan Gelang Penuntun

32 4 0
                                    

Enjoy it, guys.. :)

***

Blitar, 22 Agustus 12.00

Kantin kantor perusahaan kosmetik Le Trèfle tampak ramai. Kantin itu tak terlalu luas, bahkan bisa dibilang sederhana layaknya warteg. Sangat pas dengan gedung kantor cabang perusahaan kosmetik Le Trèfle yang juga tidak terlalu besar. Kantin itu merupakan satu-satunya tempat para pegawai kantor yang beristirahat menyantap makan siang mereka. Tampak dua wanita berbaju rapi yang duduk berhadapan di meja pojok.

"Ah, aku iri sama kamu, Jen." Seorang wanita berambut cepol memanyunkan bibir sambil mengaduk-aduk gado-gado di depannya. Aruna-nama wanita itu- memandang makan siangnya tanpa minat. "Walaupun LDR, tapi hubungan kalian itu hubungan tersempurna yang pernah ada. Aku juga LDR dengan Miko, tapi yang ada malah banyak bertengkar."

Jenar memandang iba sahabat sekaligus bawahannya itu. Ia sudah banyak mendengar curhatan Aruna tentang Miko, kekasihnya yang pindah tugas di kota Jakarta. "Yang sabar, Run. Kalau jodoh nggak akan ke mana-mana."

Aruna mengembuskan napas pelan, "Udah paling sabar ini, Jen. Sejak awal aku udah ragu mau LDR. Mungkin aku memang nggak cocok punya pacar jauh kali, ya." Aruna memaksakan senyum, "Ah, udahlah. Kok jadi ngomongin aku. Kira ganti topik. Gimana Rangga? Jadi pulang besok, ya?" Ia menaikturunkan alis, menggoda Jenar.

Jenar tertawa pendek. Rangga, kekasih yang telah dipacarinya selama 8 tahun itu akan segera menjadi suaminya. Mereka telah berencana menikah. Bagi Jenar, Rangga adalah orang paling sempurna di dalam hidupnya. Banyak mimpi yang ia ingin raih bersama dengan Rangga. Ia berharap kisah cintanya mulus, berbeda dengan kisah ayah dan ibunya yang membuat dia menjadi anak broken home. Bersama Rangga, ia yakin akan memiliki kehidupan yang sempurna.

Hanya saja, saat ini hubungan mereka dipisahkan oleh jarak karena Rangga juga dipindahtugaskan ke Jakarta, sama seperti Miko, pacar Aruna. Terhitung sudah 6 tahun mereka menjalani LDR dan selama 3 bulan ini ia tak bertemu Rangga. Dua hari yang lalu, Jenar begitu senang ketika tahu hari ini Rangga akan pulang. Mereka sudah memiliki janji akan bertemu besok malam.

"Ya." Jenar mengangguk. "Besok malam. Akhirnya rinduku akan berakhir juga."

"Aku ikut senang, Jen. Eh, kamu udah beli hadiah buat dia?"

Kening Jenar mengerut, "Hadiah?"

"Iya. Hadiah. Udah belum?

Jenar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bahkan tidak kepikiran untuk membelikan Rangga hadiah. Perlahan ia menggeleng.

Aruna menepuk keningnya. "Gimana, sih? Udah lama nggak ketemu pacar, masa nggak dikasih hadiah. Ah, kamu itu sales supervisor, lho. Gaji juga udah gede," ledek Aruna. "Pulang kantor aku antar beli hadiah."

Jenar tersenyum kemudian mencubit kedua pipi Aruna sambil menunjukkan ekspresi gemas, tak peduli dengan pemilik pipi memekik kesakitan. "Kamu emang yang terbaik, Run."

Aruna masih cemberut, pandangannya kemudian menangkap gelang manik-manim di tangan Jenar. "Eh, itu gelang baru?"

Jenar mengangkat tangan, "Oh, ini? Ini kemarin dikasih nenek. Katanya, sih, gelang turun temurun. Dulu ibuku juga make."

"Oh, makanya agak jadul gitu. Kalau itu bukan gelang turun temurun, aku bakal suruh kamu lepas itu. Jadul banget, sih."

Jenar tertawa. Di dalam hidup Jenar, selain Rangga, ada nenek Tinah, nenek dari pihak ibu yang sejak kecil mengurusnya setelah ibunya sendiri pergi meninggalkannya. Nenek Tinah sangat berarti bagi Jenar. Kemarin, nenek memberinya banyak wejangan tentang pernikahan. Tentu saja, karena kisah nenek dan kakek sangatlah romantis, definisi cinta sejati hingga usia senja. Sayangnya, kakek telah meninggal. Kisah itulah yang menjadi mimpi juga bagi Jenar. Berharap jika ia akan mengikuti jejak nenek, bukan ibunya.

Memikirkan itu, Jenar jadi ingat kata-kata nenek. Ia memandang gelang di tangannya itu. "Gelang itu konon akan menuntun orang yang memakainya agar memilih jalan yang benar, tapi tidak semua. Gelang itu sendirilah yang menentukan akan menuntun atau tidak."

Jenar sebenarnya bukan tipe orang yang mempercayai mitos atau apapun yang berbau legenda. Baginya, itu tidak masuk akal. Bukan bermaksud tidak mempercayai neneknya, tapi Jenar ingin menganggap kata-kata neneknya itu hanya sebagai penyemangat.

"Ibumu termasuk orang yang tidak terpilih, karena itu pernikahannya gagal. Semoga saja, kamu yang beruntung."

Jenar mengiyakan saja perkataan sang nenek. Ia menganggap bahwa neneknya sedang memberi motivasi melalui gelang itu. Yah ... pokoknya kupakai sajalah gelang ini biar nenek senang.

**

Blitar, 23 Agustus 19.00

Kebahagiaan Jenar memuncak. Lelaki yang dicintainya berada di hadapannya saat ini. Kemarin, setelah menjemput Rangga di stasiun, Jenar hendak mengajaknya berkencan, tapi Rangga terlihat sangat lelah dan meminta esok harinya saja.

"Udah? Pesan itu aja?" tanya Rangga.
Jenar mengangguk. Rangga kemudian menyerahkan buku menu kepada pelayan restoran.

"Kamu ngapain senyum-senyum?" tanya Rangga.

"Seneng karena ketemu pangeran ganteng."

Rangga tak membalas candaan Jenar, "Habis ini kita mau ke mana?"

Jenar sudah menyiapkan list tempat-tempat kencan mereka malam itu. Setelah makan malam, mereka melanjutkan ke bioskop. Bagi Jenar, malam itu mereka melewati hal-hal menyenangkan dan rindu wanita itu terbayar sudah. Hampir tengah malam mereka baru akan pulang.

"Makasih ya buat malam ini," ujar Jenar.

"Jen. Ada ssesuatu yang harus aku omongin."

Deg!

Entah kenapa Jenar tiba-tiba menegang. Sepanjang berkencan malam ini, Jenar merasa bahwa Rangga banyak diam. Namun, ia ingin berpikir positif. Dan sekarang? Setelah Rangga lebih banyak diam? Sesuatu apa yang akan dikatakannya? Tiba-tiba saja cerita Cindy terngiang dalam benaknya.

Rangga meraih kedua pundak Jenar, menatapnya dalam. Tapi, Jenar rasa tatapan itu juga bukan tatapan Rangga yang biasanya. "Aku tahu kita menjalin hubungan sudah lama, sejak masa kuliah. Kau mencintaiku dengan setulus hati. Aku tahu itu, Jen. Kita juga mengalami hubungan jarak jauh dan melewatinya dengan baik."

Perasaan Jenar mendadak tak enak.
"Hanya saja, kupikir akhir-akhir ini rasanya berbeda. Entah karena aku stress karena pekerjaan kantor atau-"

"Jangan bertele-tele, Rangga." Air mata Jenar sudah di pelupuk mata.

Rangga mengembuskan napas panjang. "Jen. Aku rasa, kita harus mengakhiri hubungan kita."

Tubuh Jenar melemas. Air matanya tumpah. Apakah Rangga benar selingkuh? Apakah ada yang salah dalam diri Jenar?

"Jen, aku-"

"Aku anggap kamu lagi capek, Ngga. Besok kita ketemu lagi. Aku pulang sekarang." Jenar tersenyum, ia hendak hendak pergi tapi Rangga menahannya, ingin mengantar pulang. Namun, Jenar memberontak dan berlari pergi. Ia kemudian memesan taksi online. Bahkan Rangga tak berusaha mengejarnya. Ada apa dengan kekasihnya itu? Jenar masih berharap malam ini adalah mimi, dan besok akan kembali baik-baik saja.

Malam ini cuma mimpi, kan? Kamu nggak mungkin ngomong gitu, kan?

Jenar tidak bisa berpikir jernih. Dalam kekalutamnya, ia tiba-tiba merasakan benturan keras dari sisi kanannya. Setelah itu, tubuhnya terpental ke sana kemari. Entah apa yang terjadi, kini Jenar tidak bisa melihat ataupun mendengar apa-apa lagi.

***

Love Me SomedayWhere stories live. Discover now