Prolog

42 5 0
                                    

Jakarta, 23 Agustus 23.47

Malam itu tak ada yang berbeda. Bulan tampak percaya diri menggantung di langit, lengkap dengan jutaan bintang yang menambah semarak angkasa malam. Sementara itu, di salah satu penjuru samudera utara pulau Jawa, sebuah kapal pesiar mini dan mewah mengapung anggun. Suara gelak tawa dan dentingan gelas yang bercampur dengan iringan musik jazz terdengar di salah satu ruangan luas yang terletak di dek paling atas kapal. Ruangan itu terhubung dengan dek kolam renang di sisi luar.

Sekitar lima puluhan orang borjuis yang terdiri dari para pengusaha, politikus, artis, hingga penyanyi kondang tampak menikmati pesta. Beberapa orang berdansa di lantai dansa, sebagian lagi duduk santai sambil mengobrol dan menikmati hidangan yang disiapkan pelayan, ada pula mereka yang mengobrol di sekitar kolam renang sambil menikmati pemandangan malam di tengah laut.

Bertolak belakang dengan suasana pesta yang penuh euforia, seorang wanita muda bergaun merah panjang berdiri menyepi dari keramaian di buritan kapal. Tangannya menggapit leher gelas berisi wine, sedangkan gaun dan rambut panjangnya berkibar tertiup angin malam. Ia seakan tak peduli dengan dinginnya angin yang terasa menusuk-nusuk kulit putih pucatnya. Matanya menerawang ke arah laut, sedangkan tak ada senyum di bibir merahnya.

Lamunan kosong wanita itu kemudian terputus saat mendengar suara nyaring gelak tawa dari dalam ruang pesta. Ia tertawa pendek, sinis, tampak jelas sekali bahwa ia membenci suara tawa orang-orang borjuis itu. Ia menyesap minumannya yang entah bagaimana tiba-tiba jadi tak berasa.

Sudah berapa pesta tak berguna yang ia datangi, ia tak ingat. Yang dapat ia ingat hanyalah pesta semacam itu lama-lama membuatnya semakin muak. Ia tak tahan lagi berinteraksi dengan wajah-wajah munafik yang berkumpul di ruang pesta. Malam ini pun sama muaknya, hingga membuatnya meninggalkan ruangan dan menyendiri di bagian belakang kapal. Wanita itu menghirup napas panjang, kemudian menumpahkan wine ke laut di hadapannya. Tak lama setelah itu, ia melepas pegangan gelas di tangannya hingga membuat gelas itu menyusul tertelan oleh lautan.

"Tak ada gunanya lagi," bisiknya.

Perlahan, tangannya terulur melepas sepatu hak tingginya, kemudian tanpa berpikir panjang menaiki pagar pembatas buritan kapal. Selama beberapa detik ia merasakan terpaan angin malam dengan mata terpejam, sedangkan lama-lama tubuhnya semakin condong ke depan. Ia kemudian menyerahkan tubuhnya kepada gaya tarik bumi seutuhnya.

"Selamat tinggal," batinnya. Meskipun begitu, dalam perjalanan sebelum tubuhnya menghantam laut, ia masih sempat mendengar seseorang berteriak. Mungkin saja seseorang menyadari apa yang dia lakukan, tapi ia berharap tak akan ada yang bisa menyelamatkannya.

Love Me SomedayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang