Don't cry, brother! chap. 1

Mulai dari awal
                                    

Street act merupakan hal biasa. Siapapun bisa berakting di kota ini. Entah seorang professional ataupun pemula tanpa pengalaman. Dan di kota yang luar biasa inilah [Name] berada. Bermodal pena dan note book, gadis manis bermarga Yumeno ini mulai mencari inspirasi untuk karya-karyanya.

“Kenapa tidak ada inspirasi sama sekali?! ARGH—bikin frustasi aja!”

[Name] memukul meja taman dengan dahinya beberapa kali. Itu adalah kebiasaan buruk [Name] ketika memaksa inspirasi masuk pada kepalanya yang kosong.

“Kenapa susah banget sih?! Gimana mau ngerjakan manga baru kalau gini?” keluhnya dengan bibir manyun, sehingga suara yang terdengar tidak terlalu jelas.

“Ah, sankaku da!”

Tubuh [Name] sontak menegak. Manik purple-nya menangkap sosok pemuda surai light blue yang menatap note book miliknya dengan tatapan berbinar.

“Err—Ada yang bisa ku bantu, tuan?”

Pemuda itu menoleh. Manik berbinarnya kini sepenuhnya mengarah pada [Name]. “Bagaimana kau membuat sankaku seperti itu? Apa aku boleh memintanya?” ucapnya dengan nada ceria.

Mata sang gadis mengerjap beberapa kali, merasa kebingungan dengan maksud pemuda di hadapannya.

“Ah, maksudmu kau menginginkan coretan ini?” tanya [Name] sembari menunjuk note book-nya.

Pemuda itu mengangguk semangat. Mangaka muda itu tersenyum lebar, merobek kertas yang diinginkan pemuda dihadapannya. “Ini untukmu, sepertinya tuan menyukai segitiga, ya.”

Pemuda itu menerima kertas coretan dengan tangan terbuka. Manik light blue pemuda segitiga itu tidak berhenti berbinar. [Name] tertawa pelan, melihat ekspresi pemuda ini mengingatkannya dengan seseorang yang ia rindukan.

“Ah, ini untuk Sankaku-san. Aku dapat dari salah satu temanku, tapi sepertinya aku tidak terlalu membutuhkannya.” Jemari sang gadis menyodorkan gantugan kunci bermodel boneka segitiga ukuran kecil.

“Temanku bilang, ini adalah benda keberuntungan, karena Sankaku-san menyukai segitiga, aku rasa ini lebih ampuh jika digunakan oleh Sankaku-san.

Senyum secerah mentari terbit di wajah [Name]. Pemuda dihadapannya semakin girang. [Name] mengetahuinya. Semua terlihat jelas dari binar matanya yang semakin bertambah.

“Sumi~”

Seorang pemuda dengan surai light brown mendekati tempat [Name] dan pemuda segitiga itu berada. Mereka berbincang sebentar, setelahnya menyapa [Name] dan kemudian pamit pergi. Jujur, mangaka muda itu merasa familiar dengan wajah mereka. Apakah mereka pernah bertemu sebelumnya?

Yah, tapi pemikiran tak perlu seperti itu segera [Name] tepis. Kehadiran dua pemuda tadi memberikan [Name] sebuah inspirasi. Pena milik sang mangaka mulai menari di atas lembaran kertas, menulis sketsa kasar dari inspirasi yang terkumpul di otaknya.

Lembar demi lembar terlewati. Entah sudah berapa banyak lembaran yang [Name] habiskan hanya untuk menulis ide ceritanya. Ia bahkan sampai tidak menyadari sebuah bola dengan kecepatan tinggi menghampiri tempat duduknya.

BUAGH

Tubuh [Name] jatuh dengan tidak elitnya dari kursi taman. Parahnya, bagian yang menghantam tanah terlebih dahulu adalah wajah. Ah, [Name] bisa merasakan darah mulai mengalir dari dahi dan hidungnya.

Waaa! Nee-chan, daijobu desuka?!” Pekikan terdengar sesaat setelah [Name] jatuh. Anak-anak yang merupakan pelaku dari insiden itu berteriak keras menghampiri [Name] disertai tangisan, mencoba membangunkan [Name] yang masih berbaring di tanah.

Iie, daijobu. Jangan menangis, aku baik-baik saja.” Tubuh mangaka muda itu berganti posisi menjadi duduk. Bukannya berhenti mengangis, anak-anak itu justru menangis semakin keras.

Bagaimana tidak? Melihat dahi [Name] yang lecet dan mengeluarkan sedikit darah, juga hidung mimisan adalah pemandangan terburuk yang mereka pikirkan. [Name] yang memang pada dasarnya tidak bisa mengakrabkan diri dengan anak-anak, kebingungan. Jujur ia tidak tau bagaimana cara menenangkan anak-anak ini dari tangisan.

“Akh—Kumohon, jangan menangis! Aku baik-baik saja, okey? Lihatlah, Nee-san tak apa!” Seru [Name] tanpa sadar dan membuat anak-anak itu menangis lebih kencang, lagi.

“Astaga, sekarang apa yang harus ku lakukan?” keluh gadis surai gradasi itu frustasi.

Beruntung, sepertinya ada seseorang yang berbaik hati membantu [Name] keluar dari situasi sulit ini. “Are? [Name]? Apa yang kau lakukan disini?” Suara baritone yang hangat penuh perhatian menyapa indra pendengaran [Name].

Hwaaaa—Omi-san, tasukete!

⋆。  𝒮𝓊𝓂𝑒𝓇𝒶𝑔𝒾 𝒯𝑒𝓃𝓂𝒶   。⋆

“Yosh, yosh, jangan menangis lagi. Lanjutkan permainan kalian, biarkan aku yang merawat Nee-san ini, okey?”

Anak-anak serempak mengangguk. Mereka meminta maaf kepada [Name] setelahnya bubar meninggalkan  kedua manusia berbeda gendre itu sendirian.

“Terima kasih banyak untuk bantuannya, Omi-san! Aku benar-benar tidak akan melupakan kebaikanmu.” Senyum [Name] mengembang. Walau dengan wajah babak belur dan hidung yang tersumbat tisu, senyuman [Name] masih sama, menyilaukan seperti matahari.

Pria yang dipanggil Omi itu hanya tertawa. “Tidak apa, jangan mengatakan hal seperti itu.”

Fushimi Omi, seorang mahasiswa jurusan fotografi. Hubungan Omi dan [Name] cukup dekat, semua itu adalah penyebab dari kesukaan mereka dengan fotografi. Gadis bermarga Yumeno itu memang menyukai fotografi, sebab [Name] bisa menemukan berbagai macam inspirasi dari foto-foto yang ia ambil.

Omi adalah orang pertama yang menemukan bakat fotografi dalam diri [Name]. Berterima kasihlah pada mantan anggota geng motor wolf itu. Kalau bukan karena Omi, [Name] tidak akan mengetahui bakat tersembunyinya ini sampai kapanpun.

Omi tersenyum lembut. “Ah, kita juga harus membersihkan luka di dahimu. Mungkin ada baiknya kau ikut aku pulang, aku akan membersihkan luka mu di dorm.”
Senyum mangaka muda itu semakin lebar. Mama Omi memang yang paling terbaik!

⋆。  𝒮𝓊𝓂𝑒𝓇𝒶𝑔𝒾 𝒯𝑒𝓃𝓂𝒶   。⋆

“Eh, Omi-san tinggal di sini?”
Omi mengangguk. Pria yang lebih tua beberapa tahun dari [Name] itu membuka pintu dengan hati-hati, karena posisi tangan yang penuh dengan tas belanja.

Hati [Name] gundah. Jujur ia sedikit takut masuk ke dalam. [Name] bukan orang bodoh yang tidak mengetahui ditempat apa ia berdiri saat ini. [Name] takut tidak bisa menahan perasaan yang meluap-luap dalam dirinya.

Tadaima.
“Ah, Omi-san, Okaerinasai, padahal baru saja aku ingin menghubu—OMAE?!
Wajah itu. Ekspresi itu. [Name] merindukannya. Merindukan tatapan mata tajam yang menyebalkan. Ia sudah tidak tahan lagi. Perasaan rindu ini sudah tidak bisa ia tampung.

BRUK

[Name], seorang mangaka yang selalu tersenyum cerah, jarang sekali melihat ekspresi cemberut terpasang pada wajahnya atau bahkan tidak pernah sama sekali. Semua itu berkat topeng yang selama ini [Name] pertahankan.

Sayang sekali, kini topeng itu telah pecah. Hancur berkeping-keping.

Tangis [Name] pecah. Gadis bersurai gradasi dua warna itu memeluk erat pemuda dihadapannya. Menyalurkan perasaan rindu sekaligus emosi lain yang ia pendam selama beberapa tahun terakhir.

“HWAAA—TEN-CHAN!”

【To be Continue】

Hope & Dream Project Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang