02. Pesona Bang Rian.

5.4K 682 26
                                    

Hubungan Haidar dengan keluarganya tidak terlalu bagus. Alasan dia jauh-jauh sekolah di luar kota juga karena menjauhi orang tua dan dua saudaranya.

Setiap hari kedua orang tua Haidar ribut, mendebatkan masalah yang terkadang sepele. Ibu berkata, ayahnya kekanakan dan susah dinasehati. Padahal jika diperhatikan lebih lanjut, ibunya juga kekanakan dan tidak mau dinasehati.

Kakak laki-laki Haidar nyaris tidak pernah pulang ke rumah. Dia sama muaknya dengan sang adik, tidak betah jika terus menyaksikan barang-barang yang dibanting setiap orang tuanya ribut.

Sesekali saat menginjakkan kaki di rumah, ayah langsung memarahinya. Memberi sumpah serapah dan mengatai kakak lelaki Haidar sebagai anak tidak berguna. Setelah itu, pasti ibu yang disalahkan karena tidak becus mengurus anak.

Kakak perempuan Haidar juga setiap hari menangis. Dia anak yang paling setia dengan ibu. Haidar sering melihat sang kakak tengah berbicara dengan ibu sambil terisak. Mungkin tidak tahan dengan suasana rumah.

Kakak laki-laki Haidar pernah meminta ibu untuk cerai dengan ayah, tapi ibu menolak. Alasannya karena kasihan dengan anak-anak, padahal jauh lebih kasihan kalau ibu dan ayah tidak segera berpisah.

Pemuda tan itu merebahkan diri di atas kasur. Dia mainkan ponselnya sebentar, lalu berganti pakaian setelah merasa gerah. Haidar sempat memesan delivery ayam sebelum berganti baju, jadi dia akan menunggu sambil istirahat sebentar.

Dua puluh menit terlewatkan, Haidar nyaris saja ketiduran jika ponselnya tidak berdering. Driver delivery sudah sampai di depan kost.

Dengan langkah yang tergesa-gesa, Haidar keluar dari kamar, menuju pintu utama bangunan. Di luar pagar sudah berdiri pria dengan seragam berlogo restorant ayam yang lumayan populer, di tangan kanannya terdapat satu kantung plastik yang Haidar yakini sebagai makan malamnya. Haidar menerima bungkusan ayam, lalu memberi uang pada pria tersebut.

Setelah driver tadi pergi, Haidar yang hendak kembali masuk ke dalam terkagetkan oleh bola yang menerobos masuk ke dalam pagar kost. Pemuda itu melihat ke arah bola sebentar, lalu menoleh ke arah bola kaki ini berasal.

Jantung Haidar berdegup kencang kala retinanya menangkap seorang pemuda yang menghantui pikiran beberapa hari ini. Laki-laki itu mengenakan kaus putih oblong dan celana training hitam pendek, keringat nampak jelas membasahi rambut juga sekujur tubuhnya.

Harusnya Haidar mencium aroma keringat yang apek, tapi kenapa malah aroma mint segar dari Rian yang kini berdiri di depan pagar sambil mengembangkan senyum.

Haidar membatu.

"Maaf dek. Tolong ambilin bolanya, ya."

Kaki Haidar lemas. Dia nyaris terduduk di atas permurkaan semen saat rungunya menangkap suara berat nan khas dari orang di depan sana. Untungnya otak Haidar segera memerintahkan tubuh untuk mengambil bola yang menggelinding ke balik salah satu pot bunga. Haidar serahkan bola tadi pada Rian.

"Oke, makasih ya." Rian menerima bola yang diberikan, lalu melemparnya ke arah lapangan tempat ia bertanding setiap sore. Sudah menjadi kebiasaan Rian sejak masih di sekolah dasar.

"Eh, bang. Mau minum ga?" Secara impulsif Haidar menahan Rian yang hendak melangkah pergi. Pemuda yang lebih tua menoleh.

Dilihatnya Haidar menyodorkan satu minuman es yang tadi sekalian dia beli dengan ayam. Selanjutnya Rian menggeleng, "Ga usah dek, tadi gua udah bawa minum dari rumah. Lagian ga bagus minum es sehabis olahraga." Selanjutnya Rian berlari kecil ke arah lapangan, karena orang-orang disana sudah menyoraki namanya.

Haidar menepuk jidat, "bego anjir. Habis olahraga kan memang ga boleh minum es." Dia langsung melangkah cepat untuk masuk ke kamar, berteriak dengan wajah yang tertutup bantal.

BANG RIAN [renhyuck]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ