Langkah Pertama

54 18 0
                                    

Sebelum berangkat menuju alam luas, aku cek kembali perlengkapan yang akan kubawa ini. Setelah menanti 4 tahun lamanya, akhirnya keinginanku akan segera tercapai pula.

"Sudah siap semua, Nak?" tanya ibuku memastikan kembali.

"Insyaa Allah sudah semua, Bu. Paspor dan Visa sudah Kila taruh di slempang ini. Amaan lahh." 

Hari ini adalah hariku untuk memulai perjalanan panjang menuju Britania Raya untuk menemui Kak Elang. Aku sudah sangat merindukannya. Aku sudah tidak dapat memendam perasaanku lebih lama lagi. Jadi, aku sudah sangat bertekad untuk melakukan perjalanan lintas benua pertama kalinya dalam hidupku.

"Kamu sudah berkeyakinan bulat untuk melakukan ini, Kila?" tanya ayahku.

"Sudah, Yah. Lagipun mubazir to kalau punya bakat menjelajah seperti ayah tapi tidak dimanfaatkan dengan baik? Mwehehe."

"Terus ini? Tawaran ini sungguh mau kamu abaikan gitu aja nih?!" Sekarang giliran abangku yang bertanya.

"Ya ampun, Bang Aji, bukannya Kila udah bilang ya kalau tawaran kerja di observatorium bisa ditunda dan diterima kapan saja? Nanti setelah Kila pulang dari ini juga bakal Kila terima kok. Selow aja kali, Bang!"

Ya, aku adalah lulusan jurusan Astronomi di ITB. Dan ilmu itu sangat berguna apalagi saat aku mau berjelajah seperti ini. Aku tidak mau menyia-nyiakan bakat yang diturunkan ayahku padaku begitu saja. 

Aku juga pecinta alam, gemar mendaki dan berjelajah, bahkan aku sudah pernah sampai ke puncak Jaya Wijaya di Papua. Ketahanan kakiku sudah sekuat ayahku, kekokohan bahuku sudah sekekar bahu ayahku, maka dari itu aku ingin memanfaatkannya untuk menyusul Kak Elang di Britania Raya.

Kenapa harus dengan backpacker? Bukankah lebih simpel jika langsung terbang aja ke sana?

Hmm... Sebenarnya, aku bukan mencari kemudahannya, tapi aku ingin mencari pengalamannya. Bukankah akan lebih berkesan jika memberikan hadiah langsung dengan usahanya? Itu akan lebih mengena di hati daripada memberikannya dengan cara yang simpel.

Setelah kupastikan semuanya aman, aku mulai berpamitan dengan keluargaku. Ayah, Ibu, dan Abangku mulai menitikkan air matanya terenyuh.

Meski fajar belum sepenuhnya muncul, tetapi aku sudah bersiap untuk memulai langkah. Aku sudah menghafal setiap benda yang kubawa dan di mana saja ia kuletakkan. 

Carrierku yang berukuran 70 liter ini masih terbilang cukup longgar, karena aku hanya membawa barang-barang yang serba praktis dan dan ringan. Sebab aku pergi berkelana bukan untuk berwisata, jadi aku hanya membawa baju sederhana dengan training yang tidak terlalu tebal, serta jilbab ganti.

Sedangkan benda-bendapenting seperti paspor, visa, KTP, ATM, ponsel, dompet, charger, dll kuletakkantersendiri di tas selempang pinggangku. Agar aman, kugunakan perlindungan gandaseperti kunci gembok berupa pin di resleting tas itu. 

Dan juga, aku memilih tasselempang ini karena sangat berkualitas, tidak mudah disobek, anti air, sertaterdapat alat pelacak mini yang ayah buatkan di dalamnya, sehingga aku dankeluargaku dapat memantau sejauh mana aku telah melangkah. 

Tas itu, ayahku yang buatkan. Sebagai penjelajah ulung dan mantan backpacker juga, ayah tau banyak apa yang harus kusiapkan dan kubawa.

Kulihat sinar matahari mulai menyingsing, tanda aku harus segera beranjak dan berpisah dari keluargaku.

"Hati-hati ya, Nak," ucap ibu sambil memelukku yang kesekian kalinya. "Jangan lupa memberi kami kabarmu."

"Iya, Bu." Melihat semua orang menangis menjadikanku tak kuat untuk membendung air mata lagi.

Jejak 175 HariWhere stories live. Discover now