Bab 9 Cahaya yang Hilang

Mulai dari awal
                                    

"Jayyida yang Hapal Al-Qur'an itu, ya? Dia udah pindah ke asrama, lho." Rofi juga ikut nimbrung dan duduk di ranjang yang berhadapan dengan Syafi. "Mau nomor teleponya, dong, mumpung hari jum'at ini.

Syafi tidak menjawab. Ia terlalu malas untuk mengobrol sekarang.

"Jangan pelit, dong, Syaf." Nafi, siswa kelas dua belas masih menunggu jawaban Syafi. "Kan kita juga mau jadi temannya.

Syafi mengangkat ujung bibir atasnya.

"Jangan bilang enggak punya, lu, ya." Rofi, si Ketua OSIS menggelitik telapak kaki Syafi. "Enggak percaya."

Syafi spontan bereaksi. Geli.

"Apa, sih? Datang-datang ributin Si Ayi." Syafi tampak kesal. "Gue gak punya nomor teleponnya dia. Nomor sepatunya gue punya. 38." Syafi bangun dari tempat tidurnya dan beranjak meninggalkan kedua kakak kelasnya. "Kalian cari sendiri, deh."

"Ngambek, Syaf. Lagi ngidam?" Nafi tertawa melihat tingkah kelas adik kelas paling kecil di kamarnya. "Hei! jangan kabur!"

"BT!" Kenapa tiba-tiba tuh anak cewek jadi terkenal begini, ya.dulu enggak pernah nyangkol sekali pun si Jayyida disebut." Syafi menggaruk kepalanya tak gatal. "Pasti gara-gara pembukaan class meeting itu.

Syafi kesal, nama Jayyida terdengar tidak hanya di kamar, tapi juga saat melewati lorong kamar-kamar santri. Mereka penasaran dengan Jayyida yang muncul tiba-tiba dengan Hapalan Al-Qur'annya dengan Kiai Arsyad. Idola baru setelah Syafira, si perfect visual.

"Kak Syaf, salamin ke Kak Jayyida, ya kalau besok ketemu di kelas." Amir, siswa kelas VII lewat di hadapan Syafi sambil menenteng seember cucian kotor.

"Ogah! Ini lagi anak bau kencur ikut-ikutan heboh." Setengah melotot dua bola mata Syafi keluar utuk si anak agar berhenti mengganggunya. "Ada apa dengan dunia saat ini?"

Ponselnya berbunyi mematikan kekesalannya pada Amir. Amir segera berlari begitu telpon masuk milik Syafi muncul.

"Apa, Kak?"

Syafi menerima telepon dari Kakaknya. Raut wajahnya bertambah masam mendengar sang kakak bertutur di telepon.

"Bilangin Mama, aku juga enggak butuh Mama. Mama urusin aja kerjaannya. Aku cuma butuh uangnya." Mata Syafi berkaca-kaca. Ditutupnya panggilan itu dengan kasar.

Mood buruknya sejak malam tadi belum juga reda. Pantas saja ia tak bisa tidur semalam. Mama yang ditunggunya batal lagi menjenguknya. Mama belum pernah sekalipun datang untuk melihatnya. Sibuk rapat, sibuk kunjungan, dan sibuk lainnya. Semua kata sibuk itu membuatnya muak.

"Mama yang sibuk, gue yang capek. Capek hati," batinnya.

Hari jum'at adalah hari kasih sayang di pesantren Fatihah ini. Orang tua atau keluarga santri akan memenuhi rumah singgah di pondok pesantren untuk menjenguk anak-anak mereka. Dan Syafi belum pernah mendapatkannya.

Ia selalu iri dengan teman-temannya yang mendapatkan peluk hangat keluarganya saat bertemu di hari Jum'at. Ludahnya selalu mencair saat melihat para orang tua membukakan nasi timbel. Timbel anak santri walapun hanya dengan sambal terasi dan ikan asin, lebih nikmat daripada daging tapi bukan tangan mama yang buat. Ia cemburu.

"Lama-lama nyesel juga enggak jadi kabur," keluhnya. "Ngapain gue di sini kalau masih uring-uringan begini." Syafi terduduk sendiri di balkon depan kamarnya berharap angin membawa terbang kekusutan hatinya.

Termenung ia sendirian diantara renyahnya suara tawa santri kecil dan obrolan santri kelas senior. Ia tak tertarik untuk ikut menjadi bagian dari kesenangan itu.

Sejak kecil, Syafi telah terbiasa ditinggal orang tuanya bekerja. Orang tuanya berangkat saat Syafi masih tidur di pagi hari. Malam hari ketika Syafi sudah tidur, orang tuanya baru sampai rumah. Diantara itu, segala kebutuhannya dipenuhi oleh pengasuh dan asisten rumah tangganya. Kakak-kakanya dulu sekolah. Pulang sore dan tak punya cukup waktu untuk bermain. Penyendiri adalah Syafi sejak dahulu.

Keluarganya kurang memedulikan Syafi saat semua baik-baik saja. Baru ketika Syafi beranjak remaja. Masalah menimpa Syafi tak pernah luput. Ia ikut tawuran saat kelas tiga SMP. Merokok, membolos, mem-bully adalah kelakuannya yang membuat sekolah menyerah. Dan mengembalikannya ke orang tua. Untuk membuat Syafi tidak terjerumus lebih jauh dari masa kelamnya, orang tuanya mengirimnya ke Pondok Pesantren fatihah, alaih-alih merangkul dan lebih memperhatikannya.

Syafi lebih marah karena ia mera dibuang. Oleh karena itu, di semester awal masa sekolahnya di pesantren, berkali-kali ia mencoba kabur. Namun, belum pernah berhasil. Keamanan pesantren jauh lebih canggih dari pada otaknya. Kunci dan petugas keamanan di setiap gerbang tak membiarkannya lolos. Terakhir kali saat Syafi berhasil lolos, ucapan panjang Jayyida menghentikannya. "Orang baik" ini yang terpatri di otaknya. Namun bukan itu saja. Ayat Al-Qur'an yang dilantunkan Jayyida saat itu menghangatkan hatinya. Bak oase tersiran air sejuk, hatinya merasa tenang. Akhirnya, ia memutuskan untuk benar-benar bertahan di pesantren.

"Gue enggak mau kayak Mama Papa yang hanya kaya akan materi tapi miskin hati . sehingga enggak ada kasih sayang yang mampu mereka berikan. Jangankan ngajarin ngaji, salat pun mereka enggak pernah nyuruh gue. Gue juga gak tahu mereka salat apa enggak. Tahu urutan wudu atau enggak. Dan itu nyakitin gue," gumam Syafi. Ia menatap sawah hijau yang terhampar di depan matanya. Menyejukkan.

"Gue mau lanjut di sini. Karena tubuh gue enggak cuma punya perut, tapi ada tangan, kaki, hati, jantung, otak, dan lainnya. Jadi gue enggak cuma butuh makan buat perut gue, tapi gue butuh asupan untuk hati nurani. Biar nanti enggak nyakitin orang. Enggak kayak Mama sama Papa.

"Mama Papa kerja juga buat masa depan kamu, sayang," Kalimat Mama muncul dengan cepat.

"Bulshit!" Syafi mengepal. "Masa depan yang mana kalau kerjanya kayak kerja rodi begitu. Mereka enggak pernah mikir kalau di rumah ada gue. Anaknya."

"Ya Allah. Kuatkan. Kuatkan." Syafi memejamkan kedua matanya sambil menengadah ke langit.

Bersamaan dengan itu, muncul lagi ucapan Jayyida di memorinya.

"Aku mau banget jadi orang baik. Dengan begitu, aku enggak akan nyakitin orang lain. Laki-laki harus baik, Syaf. Mereka akan punya anak isteri. Kalau tidak baik, mau diapakan anak isterimu nanti. Dilenyapkan lebih baik dari pada disakiti."

Bulu kuduk Syafi merinding ketika otaknya menekan pada kalimat terakhir. "Akan seperi itu, kah, kalau gue jadi orang jahat. Ngeri banget kata-kata si Ayi. Dia disakiti siapa emangnya?"

"Syaf mandi!" teriak Rudi dari jendela kamar. "Cepetan mumpung ada bilik yang kosong."

"Nanti aja mau jum'atan!" seru Syafi. Ia biarkan rambut lepek, keringat acem, wajah lusuh pada dirinya sekarang. "Bosan ganteng, gue."

Bantal lecek Rudi melayang ke wajah Syafi.

Tentang JayyidaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang