Bab 7 Mendekati Cahaya

6 2 3
                                    

Benarkah cahaya itu ada?

Ada.

Allah yang hadirkan.

Bagaimana cara mendapatkannya?
Dekati.

Kemudian?

Tunggu langkah selanjutnya.

Baiklah.

"Ingat, Nak. Jangan makan ikan, ya, sekeras apapun kamu ingin mencoba." Ibu melihat ke dalam bola mata Jayyida yang tampak cerah bahagia di sana. "Ibu enggak mau kamu kenapa-kenapa. Kalau kamu sakit, segera hubungi Ibu, ya." Ibu mengusap kepala Jayyida sambil berkaca-kaca. "Ibu tidak mengharapkan apapun, yang penting kamu sehat."

"Ayi janji enggak akan pernah sakit. Ibu jangan khawatir, ya." Jayyida berusaha tersenyum untuk mengusir kesedihan dan kecemasan ibunya. Ia tunjukkan raut wajah lega dan bahagia akhirnya bisa melanjutkan sekolah.

Jayyida mendapatkan izin Bapak untuk menerima beasiswa dari Ketua Yayasan Fatihah dan memboehkannya juga untuk tinggal di pesantren. Meski disetetujui di ujung penghabisan libur semester dan membuatnya telat satu minggu masuk sekolah, Jayyida tetap bersyukur. Yang penting ia bisa lanjut sekolah. Ibu dan Bapak mengantar Jayyida ke Pondok Pesantren Fatihah. Itu sudah lebih dari cukup untuknya.

"Kalau butuh sesuatu, kamu tinggal bilang ke Kakakmu, ya. Nanti Mila akan sampaikan ke Ibu," ucap Bapak.

"Terima kasih, Pak. Jayyida menyalami tangan keriput kedua orang tuanya. Hatinya tiba-tiba sendu ketika menyadari ia sudah harus berpisah dengan keluarganya. "Mohon doanya."

Diciumnya kening sang puteri oleh Ibu dengan penuh keharuan. Jayyida tidak pernah meninggalkan rumah, kecuali sekolah. Kini, puterinya harus tinggal jauh untuk waktuyang lama. Namun, sebagai Ibu, ia harus berbesar hati menerima keadaan ini, untuk tujuan mulia puterinya.

***

Jayyida terduduk di lantai sambil memperhatikan teman-teman sekamarnya yang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Ada Rindu, anak kelas VII, tengah mebolak-balik buku, membaca mata pelajaran besok. Ada Anya di atas tempat tidurnya. Siswa kelas XII sibuk dengan buku novelnya . ia membaca sambil berbaring. Risna tengah menghapal ayat Al-Qur'an. Dari yang Jayyida dengar, siswa kelas IX itu sedang menghapal Surat An-Nazi'at. Syafira, teman sekelasnya, tengah memakai krim putih di wajah, yang tidak Jayyida tahu apa sebutannya. Di hadapan Syafira berserakan produk kosmetik dan ia membiarkan lemarinya terbuka. Sehingga Jayyida bisa melihat isi lemarinya.

Jayyida melirik pada lemarinya. Ia tengah merapikan pakaian dan barang-barang pribadinya. Belum sempat ia rapikan, karena harus bertemu Pak Kiai Arsyad dan mengantar Bapak ibu pulang terlebih dulu.

"Semoga betah di sini, Kak," ucap Rindu. Gigi ompong depannya tampak saat ia tersenyum, manis sekali. "Aku belajar dulu, ya, Kak. Maaf tidak bisa bantu beres-beres."

"Tidak apa-apa. Silakan lanjutkan," sahut Jayyida. Ia membalas senyuman manis Si Kecil Rindu.

Teman yang lain pun ikut menyapa Jayyida. Mereka semua meminta maaf tidak dapat membantu.

"Maaf, Ayi. Lemari itu isinya barang pribadi. Makanya aku enggak mau ganggu privasi kamu. " Syafira juga mengungkapkan maafnya dengan wajah datar. ia tidak ingin masker di wajahnya rusak untuk saat ini.

Jayyida hanya bisa mengangguk. Ini hari pertamanya di Pondok Pesantren. Jadi, ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan dan berusaha untuk tidak mengganggu teman-teman barunya, terutama teman sekamarnya.

"Don't worry, Ayi. Aku datang." Tiba-tiba Sari sudah berada di kamar Jayyida. "Aku bantu."

"Kamu dari mana, Ri?" tanya Jayyida yang melihat baju, sarung, dan kerudung Sari tampak terkena cipratan air.

"Aku habis piket majelis dulu tadi. Bajuku basar begini, ini gara-gara Si Sapi Keriting tiba-tiba mainin selang air. Kena aku, deh," tuturnya dengan nada kesal. "Uh! Sebal aku sama dia."

"Sssttt." Jayyida menutup bibir Sari dengan jari telunjuknya. "Udah malem. Jangan marah-marah. Kamu ganggu teman-teman di sini yang lagi belajar."

Sari menoleh ke sekeliling kamar Jayyida. Ia tunjukkan nyengir malu saat menyadari tiga pasang mata yang menatapnya. Segera ia tahu bahwa omelannya mengganggu mereka. Ia lekas meinta maaf seblum diusir dari kamar ini.

"Sapi Keriting itu siapa, Kak?" tanya Rindu, polos. "Emang ada, ya sapi rambutnya keriting. Rindu belum pernah lihat." Ia bergantian menoleh pada Risna, Sari, dan Jayyida.

Sari dan jayyida terdiam. Mereka bingung bagaimana harus menjawab.

"Sapi keriting yag dimaksud Sari itu Syafi. Temen sekelas Kakak," Jawab Syafira. Kalimatnya tampak kurang jelas, karena ia harus mempertahankan masker wajahnya.

Rindu tertawa cekikikan mendengar jawaban Syafira. "Kok Sapi Keriting? Kak Syafi, kan, ganteng."

"Ganteng dari Hongkong!" sungut Sari. "Cowok super jail begitu dibilang ganteng. Bandel mah, iya."

Jayyida segera menghentikan tingkah temannya. Ia harus segera menyelesaikan pakaiannya agar tersimpan rapi di lemarinya.

"Dikit amat, Ay, pakaianmu." Sari terheran-heran.

"Memang harus berapa banyak bajunya?" Jayyida tak ingin terprovokasi sahabatnya soal pakaian. Lagipula ini pakaian yang ia punya. Pakaian terbaik dan layak untuk dipakai di pondok pesantren. Hanya pakaian lusuh yang ada di rumahnya.

"Ini cukup buat kamu pakai selama di sini?" tanya Sari lagi.

"Dicukupin aja. Kalau kotor bisa dicuci. Asal jangan sampai rusak," sahut Jayyida dengan santai.. ia harus segera menyelesaikan ini. Kalau tidak, Sari akan memberikan pertanyaan konyol seputar barang bawaanya.

"Akhirnya kamu datang juga ke asrama, tinggal di sini lagi. Seneng banget aku." Sari memeluk Jayyida dengan senang. "Tapi sayang banget kita enggak sekamar." Dikerucutkannya bibir tipis itu tanda kecewa.

"Bersyukur, Sari. Jangan ngeluh terus. Nanti aku balik lagi ke rumah, nih." Jayyida menepuk kening Sari dengan telunjuknya.

"Oke." Sari duduk tegap.

"Ya udah. Ini udah malem. Lama-lama kamu di sini, ganggu kita mau tidur." Jayyida mengusir sahabatnya untuk segera keuar kamar. Ia merasa tidak enak dengan teman sekamarnya karena terus berisik sejak tadi. "Ganti baju dulu sebelum tidur. Hati-hati masuk angin."

Sari memberikan lambang jari telunjuk menyentuh jempol dengan bentuk bulat tanda "Oke". Jangan sampai telat bangun subuh, ya. Kalau enggak jama'ah resikonya piket kamar mandi dua minggu. Aku enggak mau jadi inem lagi."

Jayyida tertawa melihat tingkah kocak sahabatnya. Ia menutup mulutnya menahan tawa. Ia melihat teman-temannya sudah akan bersiap tidur. Ranjang susun sudah terisi oleh masing-masing penghuninya. Tinggal ia yang masih berada di depan lemarin.

"Yang tidur terakhir tolong matikan lampunya, ya." Syafira menarik selimut dan menutupi wajahnya yang telah bersih dari masker.

"Baik," sahut Jayyida. Ia berjalan menuju saklar lampu di dinding di dekat pintu keluar. Lampu mati setelah ia pencet tombol off di saklar dan naik ke ranjang miliknya.

Namun, Jayyida belum bisa matanya terpejam wajah telah berbaring sempurna. Ditatapnya langit-langit kamar yang gelap karena pikirannya belum bisa ditidurkan. Ada keluarganya di otaknya. Malam ini ia tidur tanpa suara Faiz dengan rengekannya. Malam ini ia terpejam tanpa wangi goring bawang ibu. Malam ini tanpa asap obat nyamuk kamarnya. Malam ini,..

Ah....

"Ya Allah, tolong jaga keluargaku. Jangan tepikan kesusahan dan madharat pada orang yang kusayangi di sana," batinnya berdoa. "Ibu, Ayi tidur di sini, ya.."

Tentang JayyidaWhere stories live. Discover now