das Ende

88 43 153
                                    

Dalam bulan keempat sepeninggal Wira, kupikir ingatan-ingatan tentangnya kini mengabur. Semua yang dahulu tak ingin kulupakan, demi mengenangnya, demi menjaga cinta tetap utuh, memenuhi kesunyian di lembah keputusasaan. Semuanya masih ada, memenuhi kepala. Beberapa yang mendengar ceritaku ini menyumbangkan kata-kata penghiburan, beberapa lainnya menyangka aku berlebihan, dan bahkan ada lagi yang menganggap aku sudah gila. Ya, ya, aku sendiri tak mampu menyimpulkan pendapat-pendapat yang beragam itu. Ibarat jika diberi pertanyaan yang menimbulkan jawaban ya atau tidak, maka pilihanku berada di tengah-tengah.

Aku tak bisa mengungkap kebenaran dari cerita ini. Sebab sampai sekarang, bagiku segala-galanya adalah misteri gelap yang sulit diterima akal sehat. Mungkin satu-satunya yang bisa meyakini kebenaran cerita ini hanya aku. Sedangkan orang-orang yang membaca, mengikuti cerita ini mungkin dalam hati hanya dapat memberi sanjungan, betapa aku ini penulis ajaib yang dapat menjadikan imajinasi terasa nyata. Ingin kutemui seseorang yang benar memahami kejadian-kejadian yang kualami ini, seseorang yang tak sengaja berpapasan di tengah jalan denganku. Sekali melihat, ia akan mengerti dan mulai mengajakku bicara.

Mulanya aku bersikeras menolak menerima bahwasanya semuanya adalah kejadian yang benar-benar nyata. Tetapi pesan-pesan dilayangkan padaku beruntun dan terus-menerus. Kata-kata kasar dan dingin tak cukup menjadi pondasi benteng penghalang. Saat pertama aku berjumpa dengannya, benteng itu bukan lagi keinginan yang harus dikukuhkan. Salamnya kusambut hangat dan sesopan mungkin, senyumnya kubalas senyum. Saat itu dia di depan pintu kamarku, tanpa ragu, tanpa malu-malu, seolah ia kawan lama yang tengah berkunjung.

Kejadian yang bagai teka-teki ini menimbulkan kejadian-kejadian lain yang kemungkinan besar disebabkan oleh mimpi-mimpi serta imajinasi yang sengaja kuciptakan. Mungkin aku sendirilah sumber nestapa ini dan aku sendirilah yang sengaja tenggelam di dalamnya. Aku berusaha menggapai keadaan yang paling menyedihkan tanpa suatu alasan yang jelas melatarbelakangi. Lelaki yang tak kuketahui ada tidaknya itu telah begitu lama kurindukan. Terkadang aku hanya membaca pesan-pesan lamanya berulang-ulang demi mencari penjelasan mengapa semuanya menjadi seperti sekarang ini. Mengapa pula keadaan yang tak kumengerti ini membuatku takut? Aku bisa saja menganggap bahwa semuanya tidak pernah terjadi. Aku bisa saja mengabaikan segala-galanya seperti sikap acuh tak acuhku menghadapi dunia biasanya. Tetapi, tak ada alasan yang tepat untuk meninggalkan kesedihan yang belum selesai.

Saat kegelapan menurunkan jubah hitamnya, memayungi atap kota, ditambah ruangan sempit yang hanya aku sendiri di dalamnya, saat itulah kesedihan kembali membanjiri jiwa. Amukan yang ditujukan entah pada siapa atau mengapa aku harus. Perasaan-perasaan emosionil berakar dan tumbuh memenuhi celah-celah persendian. Sejujurnya aku hampir tak menemukan makna dari kemelaratan itu, atau memang tidak sama sekali. Aku tak menyalahkan siapa-siapa. Bukan dia, bukan mereka yang tidak percaya, bukan juga Tuhan.

Jika sebelumnya aku mencari-cari kesunyian, maka saat ini kesunyianlah yang mati-matian kuhindari. Aku menghindari kesunyian karena di dalamnyalah kemudian ingatan-ingatan dihidupkan. Aku datang ke keramaian ini karena membenci rahasia-rahasia Ilahi yang tak boleh kupecahkan. Adalah tidak benar aku ingin terus menginginkan kesedihan itu terus ada, sejujurnya itu melelahkan. Sejak sadar tengah kelelahan, aku sudah berusaha menghilangkan rasa sakit serta membangkitkan kualitas hidup yang mengalami kemerosotan. Terkutuklah kematian, terkutuklah kesedihan. Walau terkadang hal yang membuatku merasa sangat marah adalah kenyataan bahwa melupakan bukanlah perkara mudah. Aku mengatakan demikian karena hal ini benar kualami. Tetapi pada dasarnya kesedihan manusia sudah terbagi-bagi. Kesedihan karena cinta, kemiskinan, kehilangan dan lainnya. Sehebat apa pun kesedihan, seseorang tidak mungkin rela menyiksa diri berlama-lama larut dalam beberapa kesedihan sekaligus, demikian pula aku.

Dengan berakhirnya paragraf ini, berakhir pula cerita-cerita tentang Wira. Tentu saja dengan perasaan yang belum sepenuhnya lega. Namun aku berani berpendapat setelah kejadian-kejadian yang kualami ini, bahwa cinta adalah hal terindah yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa paling indah sekali pun. Siapakah Wira? Bagaimana aku mengenalnya? Mengapa dia terlibat dalan kehidupanku? Mengapa aku membenarkan keberadaannya? Mengapa aku percaya bahwa dialah cinta terakhir yang harus kujaga? Mengapa kemudian kepergiannya meninggalkan luka? Haruskah aku menyanyikan lagu sedih yang kuciptakan sambil mengeluarkan rintihan yang menyayat hati? Aku yakin air mataku tak bisa menggapai hatimu sekalian, tetapi mudah-mudahan cerita ini dapat mengisi waktu luang. Seperti yang pernah kukatakan, pendapatmu adalah hakmu. Jika kamu simpulkan cerita ini sebagai itu ya itu, jika ini, ya ini. Atas segalanya, terimakasih sudah sampai sejauh ini. 

Je hebt het einde van de gepubliceerde delen bereikt.

⏰ Laatst bijgewerkt: Feb 16, 2022 ⏰

Voeg dit verhaal toe aan je bibliotheek om op de hoogte gebracht te worden van nieuwe delen!

Bunga TidurWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu