prolusio: viart farhanidar

Start from the beginning
                                    

Karena peristiwa yang menimpa Ayah tersebut, Viart menjauhi semua hal berbau seni—termasuk menghindar untuk berteman dengan seorang seniman. Dia yakin banyak seniman yang akan memuji namanya bagus, tapi Viart sama sekali tidak butuh itu sebab satu kata namanya bahkan mampu mengungkit rasa sakit hati yang telah lama tercipta.

"Nama yang bagus."

Ah, lagi-lagi Viart sudah menduga hal ini akan terjadi.

Viart hanya mampu menipiskan bibir dan mengangguk singkat sebagai respon ketika wanita berambut lurus itu tersenyum sangat tulus. Senyumnya sangat manis, seolah Viart bisa merasakan ada kiloan gula pasir mampir di lidahnya. Bagaimana pun, wajar dia tersenyum selega itu setelah Viart bantu untuk lepas dari bidikan para kakak tingkat buaya di Fakultas Teknik yang suka menargetkan kalangan adik tingkat cantik sebagai santapan hangat.

"Jurusan apa?"

"Teknik sipil."

Wanita berbibir peach itu mengangguk. Dia membawa dua buku di pelukannya. Yang satu novel dengan ketebalan sekitar tujuh ratus halaman, yang satunya lagi buku cetak yang dari judulnya menandakan kalau dia berasal dari Fakultas Bahasa.

Ini sudah dua minggu sejak perkuliahan berjalan intensif selepas OSPEK. Viart tipis-tipis pernah dengar bahwa wanita di hadapannya ini sempat viral karena didapuk sebagai mahasiswa baru paling cantik di kampus. Fotonya direpost di akun khas milik kampus yang hanya menampilkan wajah-wajah orang rupawan—dia dapat angka likes paling banyak, yang membuktikan seberapa banyak diakuinya kalau dia sungguhan paling cantik.

"Aku duluan, ya? Makasih banyak, Art."

Viart menunda berlalunya wanita itu, "Nama lo?"

"Jelita. Jelita Renjani."

Tanpa Viart sadari, itu jadi kali pertama panggilan Art yang keluar dari mulut seseorang tak membuat telinganya merasa benci.

"She's pretty, right?"

Viart mendapati Jami tiba-tiba sudah kembali ke tempat duduknya dengan membawa dua gelas jus jambu. Tak lama, ibu kantin menyusul datang menyajikan pesanan soto keduanya. Jami masih berharap Viart segera menjawab pertanyaannya sebelumnya ketika ekor mata pria itu tak lepas memandangi eksistensi wanita berkuncir kuda yang tengah tertawa di dekat pelataran fakultas mereka.

"Cakep ya, bro? Namanya Jelita. Masih maba tapi bayak yang naksir." ujar Jami lagi, berbicara seolah dia kakak tingkat padahal mereka satu angkatan.

"Gue tahu."

"Lah? Tumben?" kening Jami berkerut, "Tumben banget tau-tauan soal cewek cantik? Biasanya bodoamatan."

"Dia cewek yang gue selametin kemaren."

"Yang lo bilang lo pura-pura ngajak ngobrol dia pas dia mau lewat depan kating itu?"

Viart hanya mengangguk kecil. Ia mulai mengaduk sotonya ketika Jelita nampak memasuki ambang kantin Fakultas Teknik dimana wanita itu kemarin ketakutan digoda banyak tongkrongan mahasiswa. Kini Jelita ditemani salah seorang temannya yang lebih jangkung darinya. Kedatangan keduanya cukup menarik atensi seisi kantin sebab siapa juga yang tidak tahu Jelita Renjani? Maba cantik yang ramah, yang katanya juga seorang penulis punya nama. Dan satu lagi, dia berteman dengan Seli—maba paling bodygoals incaran para lelaki hidung belang yang kini menemani Jelita memasuki kantin FT.

Jami menyenggol kecil betis Viart dengan kakinya tatkala Viart baru mau fokus memakan sotonya. Tahu-tahu, kedua mahasiswi yang dijadikan pusat tertujunya pasangan netra seisi kantin itu sudah berdiri beberapa langkah dari meja Viart dan Jami. Senyuman itu terulas lagi. Untuk Viart yang manisnya masih sama seperti yang dia berikan terakhir kali.

Afterglow | In RepairWhere stories live. Discover now