Bab 4.2

18 3 1
                                    

🥀
"Yang paling ku benci adalah orang yang melukaimu.
Dan karena itu
aku benci diriku karena telah membuatmu terluka."
-Viandra-

~ Author POV ~

Vian terdiam saat Arin banyak mengutarakan isi hatinya sembari menangis sesegukan.

Vian mengepalkan tangan, ia tidak pernah menyadari hal sederhana yang ia pikirkan ternyata memiliki dampak besar bagi Arin.

Bagaimana kekasihnya itu benar-benar menjaga perasaannya dan ia mungkin melakukan hal yang sama jika dirinya menemukan Arin demikian.

Arin sudah kecewa tidak dijemput oleh dirinya, lalu membonceng wanita lain? Terlebih lagi Vian berniat menyembunyikan hal itu dari Arin?

Sungguh tindakan yang sangat bodoh.

Vian hendak meraih Arin dan merangkulnya, namun tangannya berhenti tepat saat akan meraih Arin.

Apakah dirinya terlalu egois?

Meminta Arin tetap bersamanya saat setelah melukai kekasihnya itu?

Tangan Vian meraih Arin sesaat Setelah sempat terhenti, ia tetap memilih merangkul Arin dalam dekapannya. Membiarkan Arin menangis sejadi-jadinya dipelukan.

Mempererat dekapan saat Arin menolak dan berusaha mendorong Vian.

Jika Vian membiarkan Arin, tentu hari itu akan menjadi hari terakhirnya bersama Arin.

Tapi Vian tidak ingin melepaskan dan kehilangan Arin, akan sulit baginya menghapus seluruh kenangan bersama Arin.

Vian pikir tidak apa-apa, Vian akan kembali menyembuhkan luka yang ia torehkan pada Arin dengan banyak hal yang membahagiankan kedepannya.

Vian hanya manusia, ia tidak mungkin bisa sempurna dan tidak melakukan kesalahan. Namun dirinya akan memperbaikinya, tanpa janji saja, tetapi bukti.

Vian sudah bertekad demikian.

"Kamu jahat, Yan." Lirih Arin disela tangis yang terdengar, Vian membiarkan seluruh kekecewaan yang Arin tahan selama ini meluap.

Membungkam mulut dan mendengarkan seluruh suara lirih Arin didekapannya, menunggu Arin lebih tenang untuk angkat bicara.

Arin merasa tidak sanggup lagi, bukan karena ia bertekad untuk melepas Vian. Tetapi saat dalam dekapan Vian, Arin mengerti betapa dirinya mudah goyah saat berada di sekitar Vian.

Arin merasa dirinya benar-benar bodoh. Kemanakah seluruh tekad yang ia bangun tadi? Katanya tidak akan goyah?

Tapi hangatnya dekapan Vian, hembusan nafas yang mampu membuat Arin perlahan menjadi lebih tenang.

Vian merasakan tangis Arin yang mulai meredup, bahunya naik turun dengan nafas yang lebih teratur.

Vian ingin membuka suara, tapi tidak ada yang bisa ia lontarkan lagi selain kata maaf dan penyesalan.
"Maafin aku sayang, maafin aku." Lirihnya.

Arin yang menangkap kata-kata tersebut ditelinganya hanya diam.

Tidak kunjung mendapat respon walaupun Arin sudah jauh lebih tenang. Vian akhirnya memegang tengkuk Arin, meraih kepala itu agar muncul dihadapannya.

Arin yang mendapati dirinya menangis tersedu-sedu seperti itu, agaknya sedikit malu. Ia tidak sanggup menatap bola mata Vian dan memutuskan memperhatikan kancing baju Vian yang ada dihadapannya. -ia hanya sembarangan menatap. Apapun, kecuali wajah dan bola mata Vian.-

"Sayang liat aku" ucap Vian lembut.

Tangan Vian mengusap lembut kedua kelopak mata Arin.

Arin dengan ragu-ragu menatap ke arah Vian, mendapati manik mata Vian menatap matanya dalam, membuat Arin diam tak bergeming.

"Maafin aku sayang," ucap Vian untuk kedua kalinya, memastikan bahwa kekasihnya itu mendengar dengan seksama perkataan yang ia lontarkan.

Berharap bahwa ketulusan dan penyesalan yang ia rasakan tersampaikan dengan baik.

"Jangan liat aku, mata aku bengkak. Jelek." Celetuk Arin setelah mereka bertatapan cukup lama dalam keheningan.

Mendapati ucapan tersebut, mata Vian terbelalak kaget setelah kemudian disusul dengan suara kekehan kecil. Bagaimana bisa Arin mengatakan hal yang menggemaskan seperti itu?

Vian kembali menarik Arin dalam dekapannya, mengusap punggung kekasihnya itu.

"Jadi kamu maafin aku kan?" Tanya Vian, memastikan.

"Nggak!!" Ucap Arin lantang, namun tetap membiarkan Vian mendekapnya.

"Yakin?" Tanya Vian jahil, membenamkan wajahnya di leher Arin dan mulai menggelitik Arin dengan wajah.

Arin mencubit perut Vian keras, sehingga erangan Vian terdengar jelas.

"Awww, sakit by." Protes Vian, meringis kesakitan.

Arin mendelik, "biarin, masih sakitan aku dari pada kamu." Ucapnya.

Vian menghembuskan nafas dalam, "ayok dong sayang." Pintanya dengan wajah memelas, "ngga gitu, aku udah minta maaf." Lanjutnya.

Arin hanya bungkam, di pikir lagi sudah cukup baginya terus mempermasalahkan hal tersebut.

"Mau aku ceritain lagi?" Tawar Vian pada Arin.

Arin hanya diam lalu menjawab "udahlah, dengernya bikin aku kesel." Membenamkan tubuhnya kembali kedalam pelukan Vian.

"Yaudah oke, tapi kamunya jangan ngambek terus." Vian mendekap Arin kembali dan mengusap lembut rambut Arin.

Mereka berdua diam cukup lama dalam posisi tersebut, atmosfer di sekeliling mereka menjadi lebih hangat dan tenang dari sebelumnya.

Setelah beberapa lama Vian pun mulai membuka bicara, "sayang makan yuk? Aku udah bikin makanan dan minuman kesukaan kamu. Esnya keburu cair." Ajaknya yang di saut dengan anggukan oleh Arin.

Arin membenarkan posisi duduknya dan menghadap didepan meja. Menatap hidangan kesukaannya itu membuat perut Arin bunyi.

Ternyata, menangis membuat Arin mengeluarkan banyak tenaga.

Vian mengambil sepiring kue coklat dan menyendoknya. "Aaaaa..." Ucapnya, menyodorkan sendok yang berisi potongan kue coklat ke hadapan Arin.

Arin membuka mulut, membiarkan Vian menjejal mulutnya dengan kue coklat.

Arin mengangkat kedua halisnya seraya berkata "kuenya enak seperti biasa"

Vian tersenyum, ia merasa sangat lega karena kekasihnya itu sudah kembali sedia kala. Vian bersyukur masih bisa mendapati Arin tetap disisinya.

Arin membiarkan Vian terus menyuapinya dengan kue, sesekali menyendok puding dan meminum Chocolate ice.

"Mau bikin nasi goreng?" Tawar Vian

Arin menatap Vian sejenak, "hmm boleh." Jawabnya

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 19, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Andai KAMU Jadi AKUWhere stories live. Discover now