• || Chapter 4 || •

Começar do início
                                        

"Lo kenapa, Mei?" sela Aira cepat keluar dari kelas karena mendengar namanya disebut.

"Cubit gue!" titah Meira mengulurkan lengan kirinya ke arah gadis tersebut.

Tanpa berpikir panjang, Aira mencubit lengan Meira bagian atas dengan keras.

Meira meringis ia merasakan sakit begitu hebat. "Gilaa, Aii. Cubitan Lo kayak gigitan singa!" ucapnya mengelus-elus lengannya.

"Lo pernah digigit singa?" tanya Fawwaz kembali membuka suara.

Gadis itu dengan polosnya mengangguk mantap. "Barusan," jawabnya asal. Kini ia percaya, bahwa sahabat terbaiknya masih bernyawa. Ia tersenyum manis ke arah lelaki itu, meninggikan tubuhnya dengan menjinjit rendah, lalu mengacak pelan rambut Fawwaz gemas. "Masih hidup ternyata," gumam Meira di sela-sela kegiatannya.

Aira dan Fawwaz menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah. Entah kenapa kegilaan Meira mulai kumat.

"Makan obat dulu ya, Dek. Kasihan otaknya," gurau Aira, ia merangkul Meira membawanya ke dalam kelas.

"Gue emang gila kali, ya? Kok bisa ya Ai, Fawwaz mau temenan sama gue," gumam Meira memainkan gelang putih di pergelangan tangan kirinya.

"Jangan kebanyakan mikir. Minum dulu tuh minuman dari Kak Arman, tadi dia titip satu buat lo," potong Aira yang tengah sibuk dengan tugasnya.

Ditengah-tengah menikmati minumannya, ia tiba-tiba terpikir soal hubungan sahabatnya dengan kakak kelas yang satu itu. "Gimana lo sama Kak Arman?" tanyanya penuh keseriusan. 

Aira menghembuskan napasnya malas, lalu berucap, "Meii.. bukan gue engga suka sama itu orang, tapi.. gue masih ragu buat jatuh cinta sama orang lagi. Gue udah dipatahin dua kali, kepergian abang gue, juga temen kecil sekaligus cinta pertama gue. Gue engga percaya cinta."

Cukup panjang, dan cukup jelas bagi otak lemot milik Meira.

"Tapi ini beda, Ai. Engga setiap cinta ngecewain kok. Engga salah juga kalau lo mulai bangun cinta lagi, ya.. contohnya bareng Kak Arman. Sebenernya gue engga maksa lo buat sama Kak Arman, gue juga ngerti, cinta itu engga bisa dipaksa. Sedikit demi sedikit, gue yakin lo pasti bisa," jelas Meira mencoba membujuk Aira, supaya tidak terlalu keras ketika berhadapan dengan orang lain. 

"Kalau lo masih sama kayak dulu. Coba deh, lo pikirin Kak Arman udah nunggu lo hampir mau empat tahun. Engga salah kalau lo pelan-pelan buka hati," tambah Meira meyakinkan. 

Aira mengangguk pelan dan paham. Ia menyerapi kata perkata yang Meira lontarkan. Trauma engga akan nyelesain semuanya. Karena di sana terdapat rasa takut, rasa takut kalau engga dilawan, engga akan ada ujungnya. 

Hari itu, Aira berpapasan dengan Arman yang tengah mengeluarkan motornya dari parkiran. Arman seperti biasa, menawarkan tumpangan untuk gadis spesialnya. 

"Kak, gue kangen sama Arine juga Mama," tutur Aira tak siap menatap matanya dan menerima respon darinya. "Eh, maaf. Tante Sintia maksud gue," sambungnya memperbaiki.

"Gue udah bilang, jangan sungkan buat panggil nyokap gue Mama," ujarnya membuatku tersipu malu. "Tumben lo engga ngomel," komentar Arman ragu. 

Aira terdiam sejenak. Ia masih menundukkan kepalanya khusyuk. "Gue barusan dapet pencerahan kayaknya. Pengen ngomel sih, cuman engga enak marah-marah terus."

"Akhirnyaaa cewek gue luluh juga! Engga sia-sia gue nunggu hampir empat tahun."

Penantian yang berujung bahagia adalah harapan semua orang. Penantian yang berujung kecewa adalah kekhawatiran semua orang. Menanti orang yang kita cintai, tak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Belum lagi, selalu banyak cobaan.

Você leu todos os capítulos publicados.

⏰ Última atualização: Jan 08 ⏰

Adicione esta história à sua Biblioteca e seja notificado quando novos capítulos chegarem!

AlstroemeriaOnde histórias criam vida. Descubra agora