• || Chapter 1 || •

25 6 0
                                        

Hari itu hari senin, hari yang paling dibenci setiap pelajar. Hari pertama setelah menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan. Belum lagi, harus mengikuti upacara, panas-panasan dan biasanya pelajaran di hari itu--paling banyak.

Meira mengepak beberapa buku ke dalam tasnya. Ia menaruhnya dengan rapih. "Beres juga! sekarang mandi," ucapnya bersemangat, entah kenapa sangat bersemangat.

Selesai bersiap, Meira menuruni anak tangga tak lupa menggendong tas cokelat dan membawa sepatu hitam putih di lengan kirinya. Ia berjalan menuju meja makan dengan senyum mengembang di wajah manisnya.

Meira mengoleskan selai kacang di atas roti tawar dan menyeruput sedikit air susu dari dalam gelas.

"Meiraa!" panggil seseorang berteriak di balik gerbang tinggi berwarna putih. Dengan cepat Meira memakai sepatunya, berpamitan dan mengeluarkan sepeda dari garasi. Menyimpan tas cokelat itu dalam keranjang sepedanya supaya meringankan sedikit beban dipunggung.

"Yok!" ajak Meira mulai mengayuh sepedanya ke atas ke bawah bergantian. Rodanya berputar dengan sempurna.

Meira memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda dan berjalan lebih dulu menuju kelasnya meninggalkan seseorang di belakang tubuh gadis tersebut.

Tangan terulur menghadang dan menghalangi jalan seseorang ketika ia akan menginjakkan kaki di lantai koridor. Ia meremas baju bagian lehernya dan menyeretnya ke halaman sekolah bagian belakang. Mendorongnya ke belakang sampai tubuh itu terbentur keras pada tembok.

Wajahnya menunduk ketakutan. Tempatnya sangat sepi, tidak ada yang dapat menolongnya, bahkan Meira sekalipun.

Ia menyadari ada sesuatu yang hilang ketika berjalan di sepanjang koridor. Gadis itu menoleh ke arah kanan dan kiri juga ke belakang, setelah menyadari Meira berlari cepat ke arah parkiran, terlihat jelas sepedanya terparkir di samping sepeda miliknya. Namun, pemilik sepeda tersebut tak menampakkan batang hidungnya.

Firasat gadis itu mengatakan bahwa seseorang yang ia cari sedang tidak baik-baik saja. Lusa, bahkan hari-hari sebelumnya terdapat luka dan memar di tubuhnya. Belum lagi, akhir-akhir ini ia selalu menolak ajakan Meira, entah itu untuk pergi ke perpustakaan, gramedia, rumah pohon atau bahkan hanya jalan-jalan di sekitar rumah saja.

Gadis tersebut melihat segerombolan lelaki yang baru saja keluar dari halaman belakang sekolah. Salah satunya tersenyum tipis, ada yang menatap Meira tajam dan ada juga yang tertawa kecil.

Curiga.

Setelah segerombolan itu menjauh dari tempatnya. Dengan cepat Meira berlari ke tempat yang dimana membuat Meira yakin ada seseorang di balik tembok tinggi tersebut.

Orang yang tengah ia cari, akhirnya ia temukan. Dengan memar dan luka di sebagian anggota tubuhnya.

"Waz!" ucap Meira berlari kecil ke arahnya.

Ya, itu Fawwaz. Ia meringis kesakitan. Menekuk dan memeluk kedua lutut, seraya menenggelamkan kepalanya.

Meira mendesis pelan merasakan ngilu di bagian tubuh lelaki itu. Ia mendudukkan diri di samping lelaki tersebut, menyenderkan tubuh ke tembok berwarna biru muda dan menengadahkan kepalanya.

"Lo kenapa bisa kayak gini? Ini kita baru seminggu loh sekolah di sini," tutur gadis itu berpikir keras. Meira mengulum bibirnya, menghembuskan napasnya dan menempatkan kepalanya di pundak Fawwaz.

Lelaki itu beranjak, pipinya memerah. Dengan cepat Meira membenarkan posisi duduknya menghadap Fawwaz, berharap lelaki itu menceritakan semuanya.

"Lo masuk aja, Mei! Engga terlalu penting kok. Gue mau ke toilet dulu," ucap Fawwaz beranjak dan berjalan lebih awal meninggalkan Meira.

AlstroemeriaWhere stories live. Discover now