• || Chapter 4 || •

13 0 0
                                        

"Ada Revan, Mei!" ucap Aira menepuk pelan pundak teman sebangkunya itu.

Terpaksa Meira beranjak, ia menghampiri Revan yang tengah menunggunya di teras kelas. "Apa?" 

Aira berdiri di samping Revan, menjadikan lelaki itu di posisi tengah. Aira menatap Revan tajam, mengangkat kedua alisnya berkali-kali bertanya. "Ada apa? Lo bisa engga sih, jangan ganggu Meira sehariiii aja!" pinta Aira penuh tekanan.

"Aduh, makanya jangan sibuk pacaran mulu. Gue mau kasih ini nih, biar engga ngantuk tuh temen lo!" balas Revan menjitak kepala Aira pelan, gadis itu meringis sambil mengelus-elus kepalanya kesakitan.

"Kesel boleh, tapi jangan main kekerasan fisik juga," dengus Aira kesal. Ia mengembungkan kedua pipinya, menatap Revan dengan tatapan penuh dendam.

Revan menyodorkan satu kantong plastik dengan minuman segar di dalamnya pada Meira yang tengah menahan rasa kantuk.

"Aaaa, makasih Van! Lo tau aja gue lagi aus," timpal Fawwaz dari belakang tubuh Meira.

Revan mendengus kesal. "Ishh, itu kan buat Mei. Main rebut-rebut aja!" gerutunya berusaha mengambil kembali kantong plastik yang telah Fawwaz sembunyikan di belakang tubuhnya.

"Meira itu sahabat gue yang paling baik, dia pasti ngasih inian buat gue. Yaa kan, Mei?" balas Fawwaz meyakinkan Meira.

Gadis itu mengangguk pelan, lalu ia membuka suara, "Buat Lo aja, abis latian, kan?" ujar Meira santai. Dengan balasan anggukan mantap dari Fawwaz.

"Ta-ta--"

"Ssttt, jangan bikin gue kesel juga," sela Meira menempatkan jari telunjuknya di depan bibir cherry milik Revan.

Lelaki itu menatap Fawwaz dengan tatapan tidak suka. Ia bergerutu tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat ia memalingkan pandangannya ke sembarang arah.

"Udah, Lo balik lagi ke kelas, Van. Lagian, nanti engga akan kena marah sama guru?" tanya Meira lembut. Ia mencoba menatap mata elang milik Revan, namun lelaki itu terus menghindar.

"Engga akan sih, paling dipanggil ke ruang BK," ucapnya sebelum melangkahkan kaki keluar dari lingkaran penuh kekesalan.

"Engga ada akhlak banget itu anak, sial!" umpat Aira memasuki ruangan kelas lebih awal. Meninggalkan Fawwaz dan Meira.

Fawwaz mendudukkan dirinya di tebing tembok berukuran pendek guna merubah posisi untuk menyeruput minuman dingin tersebut. "Lo engga masuk ke kelas, Mei?"

Meira menggeleng. "Ini gue masih mimpi atau emang lagi di dunia nyata sih?" ujar Meira mengerjap lalu memejamkan matanya cukup lama. "Ahh, kayaknya ini masih mimpi deh!" sambungnya.

Lelaki itu mengerutkan alisnya. Ia memandangi gadis di depannya dengan tatapan penuh pertanyaan. "Kenapa?"

"Kok gue bisa denger orang mati ngomong, ya?" celetuk Meira polos menatap Fawwaz dan bergidik ngeri. "Emang kayaknya gue punya kelebihan buat liat makhluk halus deh," ucapnya melipat kedua lengannya di depan dada tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari seseorang di depannya.

Fawwaz melirik ke kanan dan ke kiri bergantian dengan pelan. Ia merinding ketika Meira mengutarakan kata demi katanya. "Lo jangan nakutin gue dong," gumamnya mulai menghampiri gadis tersebut.

"Aihh, jangan deket-deket. Gue takut, Waz. Lo harusnya jangan gentayangan di sekolah. Lagian, yang nabrak lo itu supir truk, bukan kepala sekolah," celetuk Meira mencoba mendorong tubuh lelaki di sampingnya.

"Aiiii! Kenapa gue bisa pegang hantu!" teriak Meira berlari ke arah kelas.

Namun, kegiatannya terhenti ketika Fawwaz dengan cepat menahan lengan Meira untuk tetap di sampingnya. Karena nyatanya, ia juga merinding sendirian di koridor yang sangat sepi warga sekolah. "Lo engga mimpi, Meira. Gue belum mati, ishh--" dengus Fawwaz menenangkan Meira.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 08 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AlstroemeriaWhere stories live. Discover now