Suara teriakan Gista memancing perhatian dari pengunjung mall. Prisa melirik sekitar seraya menelan ludah. Ia sama sekali tak bisa berpikir jernih, hanya rasa bersalah yang menyelubungi seluruh tubuh dan mengikatnya dengan lapisan kuat. Lidahnya terasa kelu, tak lagi mampu bersilat.
"Bukan gitu, Gis. Tadi aku—"
"Apa? Mau bilang apa? Mau bohongin aku lagi?" tukasnya semakin memberang.
"A-aku minta maaf, Gis. Tapi—"
"Aku benci Kakak!"
Sentakan kalimat terakhir dari Gista mengoyak hati Prisa menjadi serpihan kertas. Tubuhnya menegang, sesaat ia seperti kehilangan kesadaran. Baru kali ini, pertama kalinya, ada orang yang terang-terangan mengatakan kalau ia membencinya. Terlebih, kalimat itu keluar dari mulut gadis yang dulu begitu ingin dibantunya.
Gista berbalik dan meninggalkan Prisa dengan langkah terhentak. Mas Rayhan melotot pada semua bawahannya, terutama pada Prisa, kemudian meninggalkan mereka sambil memanggil-manggil sepupunya. Gema suara Gista masih menyisakan tatapan penuh tanda tanya dari orang yang berada di sekitar mereka.
"Gista!"
Suara serak Prisa keluar seiring kakinya yang mendadak lemas. Alih-alih mengejar gadis itu, ia malah terduduk di lantai mall yang dingin. Air mata tak lagi terbendung, meluncur deras membasahi pipi hingga tangan yang menutupnya. Dadanya begitu sesak hingga menumpahkan isakan yang tak sanggup tertahan.
"Udah, Pris. Nggak apa-apa," hibur Kak Tera seraya mengusap bahu Prisa.
Tak ada kata yang bisa keluar dari mulut Prisa. Hatinya hancur lebur, seperti kaca yang dijatuhkan dari lantai dua. Baru kali ini ia mendapat penolakan demikian hebat di tengah kehidupan yang ia rasakan nyaris sempurna. Bahkan, masalah pertamanya di perusahaan terjadi dengan sepupu CEO yang pasti menyulut kemarahan atasannya itu.
Kacau! Semua kacau!
"Bangun, Pris! Lo nggak mau jadi tontonan, kan?"
Suara Kak Livi menyentak Prisa, mengembalikan kesadaran akan posisinya. Ia membuka tangan yang menutup wajah dan dari balik bayangan air mata, tampak lebih banyak orang yang melihatnya duduk di lantai. Masih tergugu, ia berupaya bangkit dan menahan nyeri yang terasa seperti menusuk dada.
"Ki-kita mau ke mana?" tanya Hana terdengar gugup.
"Kita pulang aja. Prisa pasti capek, dia butuh istirahat. Ayo!" perintah Kak Livi.
Dengan bantuan Kak Tera dan Hana, Prisa berjalan dengan sisa tenaga yang terkuras habis. Emosi yang berkecamuk dalam hatinya membelitkan rasa bersalah, bercampur dengan penyesalan karena sudah melakukan kebohongan yang paling dibencinya. Kini ia yang harus menelan akibat dari perbuatannya. Rasa malu yang menyergap akibat menjadi bahan tontonan turut menambah daftar kegamangan hatinya.
Setibanya di kamar indekos, ketiga teman Prisa turut menemani dan menghiburnya. Mereka mengatakan kalau dalam pertemanan, satu kesalahan adalah hal yang wajar saja dilakukan. Apalagi mereka semua manusia, pasti ada salah dan lupa. Begitu pula Prisa. Meskipun dikenal sebagai gadis paling bersinar di Friendera, ia juga hanyalah manusia biasa.
Namun, semua yang dikatakan temannya berbeda dengan apa yang Prisa rasakan. Kesalahannya ini telah mencoreng daftar kelakuan baiknya, terlebih di hadapan Mas Rayhan. Ia masih mengharapkan bisa kembali memenangkan predikat best employee dan mendapat hadiah berupa uang untuk pengobatan ayahnya. Ia bisa saja kehilangan kesempatan itu, bahkan parahnya lagi, ia bisa saja harus meninggalkan pekerjaan. Oh, ia tak bisa membayangkan jika harus luntang-lantung dan memulai pencarian pekerjaan dari awal. Bagaimana ia bisa memberikan nafkah untuk keluarganya di kampung jika ia tak bisa mempertahankan pekerjaan?
Terlebih lagi, bagaimana dengan Gista? Ia baru saja susah payah mengubah gadis yang dulu minder itu menjadi lebih berani. Dia bahkan bisa meyakinkannya untuk memperbaiki diri, meraih nama baik di depan orang tuanya. Kepercayaan gadis itu juga sudah berhasil didapatkan. Bahkan, Mas Steve selalu meyakinkan bahwa bisa mendekati gadis itu adalah sebuah keberuntungan. Ia bisa mendapat koneksi dari perusahaan besar dan memperoleh banyak pemasukan.
Meskipun begitu, apakah salah jika Prisa juga bisa merasa lelah? Tiga hari terakhir ia merasa seperti baby sitter Gista yang mengasuhnya di kantor. Gadis itu tak melepaskannya bahkan untuk sekadar buang air ke kamar mandi. Sarapan, makan siang, dan makan malam harus selalu dilakukan bersama, dengan dia yang menentukan menunya.
Gista bahkan tak membiarkannya untuk mengobrol dengan teman-teman, selalu menyela dan mengambil alih dirinya untuk kembali dalam lingkaran dengan radius maksimal satu meter. Sikapnya yang terus menerus menempel tentu membuat jengah, apalagi jika dilihat oleh orang lain yang langsung menatap dengan ekspresi janggal. Bahkan, kemarin dia mengubah panggilan menjadi 'Kak Pica', supaya lebih akrab dan manis katanya. Namun, alih-alih terdengar manis, malah tanggapan orang lain—terutama Kevin—seperti ingin muntah mendengarnya.
Setelah semua yang dia lakukan, apakah salah jika Prisa berpikir bahwa tingkah laku Gista sudah berada di luar batas orang aneh pada umumnya? Mengapa ia tak boleh sekadar ingin menjauh dan mengusir kepenatan otak dari kelelahan mengayomi sosok cuek yang dalam beberapa hari berubah seperti bayi manja?
Kepala Prisa seolah akan meledak karena memikirkannya.
Ketiga temannya menawarkan diri untuk menginap dan menemani Prisa. Namun, ia menolak dengan halus karena tak tega membiarkan mereka berdesakan di kamar sempit ini. Terlebih Kak Livi yang biasa tinggal di apartemen mewah, walaupun dia sendiri mengatakan tak masalah. Akhirnya, Prisa mengatakan sedang ingin sendiri agar semua temannya tak merasa sungkan untuk pulang.
Sendirian, pikiran buruk kembali menghampiri otak Prisa. Ia tak mau membiarkannya dan mencari alternatif untuk menenangkan pikiran. Mungkin dengan menceritakan pada Mas Steve, bebannya akan sedikit hilang. Paling tidak, pacarnya itu juga harus tahu masalahnya dan bisa membantunya menghadapi Mas Rayhan keesokan hari.
Sambungan telepon baru diterima Mas Steve setelah tiga kali Prisa mendengar nada sambung tanpa jawaban. Napasnya terdengar memburu, mungkin kesal karena Prisa membangunkannya yang sedang terlelap. Saat Prisa hendak mengurungkan niat meneleponnya, dia melarang dan berkata siap mendengarkan. Akhirnya, Prisa menceritakan semua yang terjadi. Namun, tanggapan kekasihnya itu sungguh di luar dugaan.
"Gimana, sih? Kan, udah aku bilang kamu harus dekat-dekat Gista! Sekarang malah cari masalah sama dia dan Rayhan!"
YOU ARE READING
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...
Part 23: Trouble Started
Start from the beginning
![Copycat [END]](https://img.wattpad.com/cover/279696329-64-k899740.jpg)