60 | Tak Biasanya

Start from the beginning
                                    

Lemparan demi lemparan terdengar dari kamar Bella, siapa lagi kalau bukan perbuatan perempuan itu. Sejak rencana Tiana gagal total dijalankannya, sikap Bella semakin menjadi gila. Kadang dia tertawa bahkan detik selanjutnya lantas menangis tersedu-sedu, kadang pula dia akan bergojet ria lalu detik berikutnya dia akan mengamuk seperti yang dilakukannya saat ini.

Tiana meringis begitu netranya menandai suasana kamar Bella yang kacau, banyak pecahan kaca di sekitar lantai, alat make up jutaan rupiah milik Bella berhamburan di sekitar ranjang. Baju, tas, dan sepatu puluhan jutanya juga ikut menjadi korban keganasan Bella.

Seminggu sudah berlalu, keadaan Bella memburuk. Tubuhnya jauh lebih kurus dengan perut mulai membesar yang menurut perkiraan dokter sudah memasuki tiga bulan.

Bukan tak pernah Bella memberitahu tentang kehamilannya padanya tetapi lelaki paruh baya malah menolak bertanggung jawab, padahal Bella tidak keberatan menjadi istri ketiga atau keempat yang jelas status anaknya jelas, pernah juga dia berniat menggugurkan kandungannya, saat tiba di klinik aborsi dia melihat dengan mata kepalanya sendiri seorang pasien merenggang nyawa akibat pendarahan pasca mengeluarkan secara paksa janin dalam perutnya.

Sontak Bella ketakutan, dia tak ingin mati konyol seperti itu. Maka jalan satu-satunya dia mencari lelaki yang bisa dijadikan ayah dari anaknya, dan saat tak sengaja bertemu Darius, hatinya bergetar lembut, entah mengapa membayangkan Darius, dirinya, dan anak yang dikandungnya berada dalam satu keluarga bahagia. Apalagi sejak Lena mengatakan Darius sepertinya belum move on darinya, harapannya melambung tinggi, kepercayaannya semakin meningkat mengingat bagaimana dulu Darius mencintainya setengah mati.

Tetapi Bella melupakan sesuatu jika perasaan manusia bisa dengan cepat berubah seiring berjalannya waktu, terutama Darius. Maka ketika harapannya tak sesuai ekspetasinya dia malah terpuruk, jatuh sejatuhnya.

"Bell." Tiana mendekat saat merasa Bella sudah tenang, dengan hati-hati duduk di pinggir ranjang tepat di samping Bella. Dia memberanikan menyentuh pundak Bella. "Kita ke rumah sakit, ya," bujuknya pelan, pasalnya sekarang telapak kaki Bella mengeluarkan darah segar, belum lagi tangannya juga berdarah. Perempuan itu bukan hanya harus diperiksa secara batin tetapi juga mental.

Bella menggeleng lantas menoleh. "Gue mau Darius, Ti. Bawa gue ke Darius sekarang."

"Iya, nanti ya. Setelah pulang dari rumah sakit kita ke Darius."

***

"Lo kelihatan nggak sehat, Sal?"

Salwa tersentak. "Hah?"

Keifani, Theana, Amara kompak menghela napas panjang.

"Ngelamun lagi deh, lo kenapa dah?" tanya Amara gemas.

"Nggak pa-pa." Salwa tersenyum menyakinkan.

"Nggak pa-pa nya cewek itu berarti ada apa-apanya, yakan?" Kali ini Theana menyipitkan matanya, curiga. Sedang Keifani hanya diam mengamati ekspresi Salwa. Dia sadar ada yang janggal dengan kelakuan Salwa sejak tadi, sahabatnya itu orangnya pendiam tetapi diamnya kali ini membuat dia merasa aneh.

"Sal, kalau ada masalah lo boleh cerita sama kita-kita," sela Keifani mengenggam tangan Salwa.

Salwa tersenyum lemah. "Gue beneran nggak pa-pa, Beb. Hanya gue lelah aja, belum lagi masalah Abil yang baru aja keluar dari rumah sakit."

Ya, Sabil---anak kedua---Salwa baru aja keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu. Hanya demam biasa tetapi membuat Salwa kelabakan apalagi Sabil rewel karena nggak bisa mengisap ASI sang ibu. Keifani tak begitu tahu, tetapi mendengar Salwa sempat frustrasi, dokter menyarankan agar Salwa tidak banyak pikiran.

"Jadi Abil lo titipin di rumah nyokap?" Salwa mengangguk.

"Iya, makanya gue nggak bisa lama-lama nih. Takutnya Abil nyariin."

Amara mengangguk. "Ya udah, gue juga udah mau balik." Dia melirik jam tangannya sebentar. "Nyokap gue makin hari makin cerewet apalagi tahu kalau kalian bertiga udah punya pasangan masing-masing sedangkan gue masih betah sendiri. Nyokap bahkan berencana menjodohkan gue sama anak temannya. Oh, gosh! Gue bisa gila lama-lama."

Ketiga sahabatnya tertawa melihat frustrasinya seorang Amara, seperti sadar akan sesuatu Theana lantas protes. "Eh, siapa bilang gue udah punya pasangan? Jangan fitnah woi!"

"Eh! Terus yang bareng lo di Kokas kemarin siapa ya?" tanya Amara menggoda.

Theana tersipu. "Teman kakak gue."

"Oh Mas Radya, pantas lo jatuh cinta sama doi. Mas Radya gantengnya nggak ketulungan, Cuk." Amara berdecak kagum.

Selama ini Theana hanya menceritakan sosok Radya---yang merupakan sahabat kakaknya---sekaligus orang yang diam-diam dia cintai. Dia tak pernah sekalipun menunjukkan foto atau mempertemukan dengan temanya secara langsung.

"Tapi tunggu bentar, lo lihat gue di Kokas, kenapa nggak negur?"

Amara mengangkat bahunya acuh. "Gue buru-buru, soalnya ke Kokas juga jemput Nyokap abis arisan."

Theana manggut-manggut mengerti.

"Terus gimana?" tanya Amara penasaran.

Kening Theana mengukik bingung. "Gimana apanya?"

"Gimana rasanya jalan sama cowok idaman lo?"

"Biasa aja! Lagian nggak ada spesial kok, kami ke Kokas cuma nemenin dia beli kalung untuk nyokapnya."

Amara bertepuk tangan heboh. "Itu tandanya sinyal tahu, lo gimana sih?"

"Hah?"

"Beb." Bersamaan dengan itu panggilan Salwa membuat Amara mengurungkan niatnya melanjutkan ke-kepoan-nya pada Theana. "Gue balik duluan ya, Abil kayaknya mulai rewel."

Amara menepuk jidatnya. "Gue ah, mau balik. Bareng aja, Sal."

Setelah pamit singkat disertai cipika-cipiki, Salwa dan Amara beranjak dam menghilang di balik pintu resto.

Sedang Keifani dan Theana saling pandang. "Lo ngerasa Salwa aneh nggak?" Keifani mengangguk.

Dia merasa aneh, Salwa seperti menyimpan beban yang berat. Tetapi apa pun semoga masalah Salwa cepat selesai.

***

BERSAMBUNG

Nah tuh jawabannya yang kemarin pada hujat mas uus, tenang aja kok mas uus sekarang udah lebih baik dari kemarin lagian bucinnya ke kei itu lebih parah daripada ke bella 🤣


Vote dan komennya ya 🥰


See you next part

Loveable Ties (TAMAT) Where stories live. Discover now