Bab 3 Aku Akan Berhenti Sekolah

Começar do início
                                    

Jayyida memajukan langkahnya tanpa suara dan mencapai gerbang. Ia melihat sosok yang dikenal. Sapi keriting. Sesuatu membuatnya tak bisa berpaling darinya. Mata menyala milik Syafi sedang tergenang banjir yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Biarkan aku pulang. Aku tidak mau dikurung di pesantren." Syafi masih berapi-api.

"Syafi, dengarkan Kakak. Kita tidak pernah membuang kamu," ucap seorang perempuan yang di sebut Kakak. Jayyida tidak bisa melihat wajahnya, punggungnya saja. "Kita mau lihat kamu jadi lebih baik sebelumnya. Kamu harus jadi anak yang baik. Kakak paham. Tidak mudah untuk kamu berada di pesantren ini. Tapi cobalah bersabar. Semua akan berlalu dan baik-baik saja."

"Untuk apa aku menjadi baik, jika keluargaku saja begitu buruk? Semua sibuk dengan urusan masing-masing," tepis Syafi. "Untuk apa anak baik jika kalian saja tidak bisa menjalani peran yang baik sebagai keluarga utuh."

Kakak Syafi tidak bisa mengatakan apapun mendengar tuntutan Syafi. Tampak air mata Syafi mulai turun dengan amarah masih bertengger.

"Apa Kakak sudah mampu menjadi Kakakku? Apa Papa pernah hadir di acara sekolahku? Atau Apakah Mama pernah membuatkanku sarapan? Kalian semua terburuk dari yang terburuk. Sekarang menuntutku harus menjadi anak baik? Kalian egois! Now get out of my face!" Syafi mendorong Kakaknya untuk menjauh. Ia kemudian memunggungi Sang Kakak.

"Syafi, dengerin Kakak kali ini saja. Kakak mohon." Kakak Syafi mengiba. "Tidak ada maksud untuk membuangmu, Dek. Jangan salah paham."

"Pergi!" Syafi tak ingin berpaling meski Sang Kakak berkali-kali memohon. Setelah itu, Sang Kakak pergi menuruti perintah adiknya.

"Kita memang buruk. Keluarga kita membusuk dan kamu tersakiti. Tapi kamu tidak boleh seperti kita," ucap Kakak Syafi sebelum benar-benar pergi.

Syafi bergeming.

Jayyida panik ketika Kakak Syafi membalikkan badannya dan melangkah keluar gerbang. Namun, ia agak tenang karena sama sekali Kakak Syafi berjalan tegak seolah-olah tak melihat kehadirannya saat melewatinya. Ia melihat Syafi sudah terduduk di rumput. Sebenarnya, ia bermaksud menenangkan pikirannya datang ke belakang sekolah ini. Tapi, ia berujung melihat pemandangan tidak mengenakkan.

"Seharusnya aku pergi saja dari sini. Tapi kenapa aku harus masuk sini?" rutuk Jayyida dalam hati. Ia tak ingin menemukan kecanggungan ketika Syafi menydari kehadirannya. "Ah, belum tentu Si Keriting itu tahu aku di sini." Jayyida maju diam-diam dan duduk di bangku panjang di bawah pohon jambu air. Tinggi dan rimbunnya daum pohon jambu itu menyejukkannya. Hingga siapapun yang berhasil duduk di bawahnya akan betah berlama-lama di situ.

Jayyida memejamkan mata meresapi kesejukannya. Lebih tepatnya mengundang agar sejuk itu datang dan menyembuhkan kepenatan hati dan kepalanya.

"Oi! Ayi. Ngapain di situ? Bolos?" seru Syafi dari kejauhan. ia berdiri dan berjalan ke arah Jayyida.

"Aish! Ganggu aja!" gumamnya kesal.

Tak lama kemudian, Syafi sudah duduk di samping Jayyida. "Ngapain di sini? Bentar lagi bel masuk," ucapnya. Nada bicara dan ekspresinya biasa, seolah tak pernah terjadi apapun. Meski begitu,bening yang menggantung di setiap helai bulu matanya masih terlihat oeh Jayyida.

"Aku mau bolos atau enggak itu bukan urusanmu," sahut Jayyida ketus.

"Ketus banget, Neng. Masih marah pasal bola tempo hari? Baru kali ini ada ketusin gue. Biasanya dibayar pake senyum dikit, cewek-cewek malah balik klepek-klepek sama gue." Syafi memamerkan kepedeannya.

"Gue, gue, gue! Sakit di telinga." Jayyida mengorek-korek kuping yang tertutup kerudung bergo putihnya.

"Nanti elu jatuh cinta kalau gue ngomong pake aku-kamu."

Di mata Jayyida senyum itu menyebalkan. "Kamu masuk kelas, gih, sana. Jangan ganggu. Merinding lama-lama deket kamu." Jayyida mengusap-usap lengannya seperti kedinginan.

"Jahat banget, Ay. Lu pikir gue dedemit. Biarin gue di sini lah bentar aja," kata Syafi memelas. Ia menunduk. "Gue cuma mau duduk, kok. Suer, deh." Syafi mengangkat Jari victory-nya.

Jayyida terdiam melihat wajah palsu dan sok tegar milik Syafi. Ia tahu, Syafi tidak beneran menggodanya dan murni ceria. Matanya sendu dan memerah. Setelah itu, tidak ada sepatah kata pun di antara keduanya. Hening. Hanya semilir angin terbang seolah berbisik pada pohon bamboo dan bergosip tentang mereka berdua.

"Jadi orang jahat itu akan nyakitin orang lain, Syaf." Jayyida memecah keheningan. "Orang baik akan selalu menyelamatkan orang sekelilingnya. Memang enggak mudah buat jadi baik, tapi hasilnya adalah kebaikan itu akan bertahan lama dan bahkan selamanya." Ia menatap Syafi yang mengerutkan kening tanda ketidakmengertian dengan ucapannya, Ia tak peduli. "Orang sekolah untuk memperbaiki kualitas hidup. Jadi orang baik. Itu benar."

Jayyida menatap sepatu dengan tali dekilnya. Sedang Syafi masih menatapnya. Ia menunggu apa yang akan diucapkan Jayyida lagi.

"Sejak kapan lo di sini? Denger gue sama Kakak berantem?" rahang Syafi mengeras.

"Walaupun sekolah dan pesantren itu tidak selalu jadi jaminan akan menjadikan seseorang itu baik, setidaknya orang itu telah menjalani proses menjadi orang baik dan ditunjukkan mana yang baik dan buruk." Jayyida tidak menghiraukan pertanyaan Syafi. "Kebaikan itu akan selalu dalam hati. Sewaktu-waktu ia akan bangkit bantu hidup kita. Itu yang aku yakini."

"Kamu ngomong apa, Ay?" tanya Syafi lirih. Kalimat Jayyida yang panjang masuk ke hatinya walaupun ia tidak mengerti.

"Aku mau banget jadi orang baik. Dengan begitu, aku enggak akan nyakitin orang lain." Jayyida teringat Bapaknya sehingga pedih hatinya datang lagi. "Laki-laki harus baik, Syaf. Mereka akan punya anak isteri. Kalau tidak baik, mau diapakan anak isterimu nanti. Dilenyapkan lebih baik dari pada disakiti." Jayyida bangun dari duduknya.

Syafi terpaku dengan kata-kata Jayyida padanya. Ia pikir temannya sudah ngelantur terlalu jauh. Ia masih terdiam saat Jayyida sudah pergi meninggalkannya sendirian di bawah pohon jambu itu. Semakin lama ia renungkan, semakin disadarinya sesuatu. Kalimat terakhir Jayyida yang mengejutkan. "Jayyida kenapa?" batinnnya. Setelah itu ia sadar telah ditinggalkan sendirian.

"Ay, tunggu!" seru Syafi. "Tumben nyebut gue Syaf."


Bersambung..

Hai, terima kasih sudah membaca ceritaku.

Terima kasih masih membaca lanjutan cerita ini.

Terima kasih atas kritik dan sarannya. Aku terharu. huhuhuhuhu.


Ceritain, dong gimana menurut kamu cerita ini.

Vote-nya boleh? (Pasar dua bola mata Upin Ipin) 

Tentang JayyidaOnde histórias criam vida. Descubra agora