7

23.2K 2.3K 22
                                    

Kaluna POV

Aku terbangun dari tidurku karena HIP, alias hasrat ingin pipis yang tidak bisa lagi aku bendung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku terbangun dari tidurku karena HIP, alias hasrat ingin pipis yang tidak bisa lagi aku bendung. Ketika aku bangkit dari ranjang, aku menemukan Ervin sedang melakukan ibadah sepertiga malamnya. Aku memandangnya dalam diam, bahkan aku melupakan HIP sementaraku. Aku yakin mataku yang minus 2 ini benar benar melihat Ervin menitikan air matanya ketika ia beribadah.

Oh Tuhan, aku ingin memeluknya, aku ingin dia membagi rasa sakit yang ia rasakan denganku. Aku tau ia berusaha tampil kuat menghadapi hidupnya yang keras dan tidak mudah. Bahkan pekerjaan haram yang ia lakukan itu hanya untuk membiayai pengobatan ibunya.

Hasrat ingin pipisku memutuskan kembali hadir sebelum Ervin menyelesaikan ibadahnya, aku buru-buru masuk ke kamar mandi untuk menuntaskannya. Ketika aku keluar, aku sudah menemukan Ervin sedang melipat sajadahnya dan duduk di ranjang. Aku bingung harus membuka obrolan apa dengannya. Karena aku tidak terbiasa dengan kehadiran orang lain di kamarku apalagi itu lawan jenis.

"Eh Vin, udah selesai ibadahnya ?"

Aku melihat Ervin tersenyum kepadaku sambil menganggukkan kepalanya, "sudah Lun, kamu juga mau ibadah ?"

Deg !!!

Jantungku berhenti sepersekian detik mendengar pertanyaannya. Karena yang wajib saja aku masih bolong bolong melakukannya, walau aku berkeinginan memperbaiki ibadahku setiap hari, tapi sepertiga malam masih jarang aku lakukan karena setan di dalam diriku masih begitu kuat aku rasakan dominasinya untuk mengajakku menggambar peta setiap malam daripada mengucap puji dan syukur atas semua nikmat yang Tuhan berikan di hidupku.

"Enggak, tadi kebelet pipis", jawabku singkat sambil menuju ke ranjangku lagi.

"Oh..."

Hanya jawaban "oh" yang aku dapatkan dari Ervin. Sungguh sia sia basa basiku padanya barusan.

"Vin...", aku memanggilnya, dan ia menolehkan wajahnya kepadaku. Dan demi Tuhan, wajahnya sebening ubin masjid malam ini.

"Ya"

" Nanti kalo mau ibadah, ajakin aku ya".

Aku melihat perubahan raut muka Ervin, seperti shock atau kaget yang terlihat di sana ketika mendengar kata kataku barusan.

Kemudian dia merubah posisi duduknya untuk duduk lebih dekat denganku. Kini dia duduk di sebelahku dan menatap wajahku dalam. Rasanya aku ingin mengubur wajahku di dalam bantal saja saking malunya di tatap Ervin seperti ini.

"Lun", kata Ervin sambil mengambil tangan kiriku dengan tangan kanannya, kemudian menaruhnya di atas paha nya yang kencamg dan berotot itu.

Aku mendongakkan wajahku, menatap wajah Ervin yang masih fokus pada wajahku, lebih tepatnya adalah mataku.

"Sekarang aku imam kamu, insyaallah aku akan ajak dan ingatkan kamu terus tentang ibadah Lun. Kita akan lakuin ini bersama sama. Kita perbaiki diri kita bersama".

Aku masih belum bisa berkata kata atas ucapan Ervin barusan. Bibirku rasanya kelu sekali.

"Aku selalu bersyukur ke Tuhan karena ngirim kamu buat aku. Aku enggak tau gimana jadinya aku kalo enggak pernah kenal sama kamu", katanya sambil tertawa getir dan pandangannya kini memandang smart TV yang ada di kamarku ini. 

Aku mengubah posisiku, kini aku duduk menghadapnya, dan Ervin pun kini menatapku kembali. Aku menarik tangan kiriku dari genggaman tangan kanan Ervin, kemudian aku angkat kedua tanganku, kini kedua telapak tanganku berada di kedua belah pipi mulus Ervin yang putih, bersih dan bebas dari jerawat apalagi komedo ini.

Aku tatap dalam dalam mata Ervin
"Vin, apapun yang kamu rasakan, kamu bisa bagi sama aku, biar beban kamu sedikit berkurang", kataku pada Ervin yang masih menatapku.

Ervin masih diam di depanku, tidak mengeluarkan sepatah katapun dari bibirnya yang pink itu.

"Kalo kamu sakit, aku juga bisa rasain Vin, walau kamu enggak pernah cerita, tapi aku tau".

Aku mengatakan itu sungguh sungguh dari dalam hatiku setelah kejadian lunch bersama keluarga Ervin dulu setelah acara lamaranku dengannya.

Tidak ada jawaban dari Ervin, yang aku rasakan kini hanya aroma mint segar yang menyapu indera penciumanku, sedangkan bibirku kini telah menempel dengan bibir Ervin yang hangat, kenyal dan pink yang begitu pas jatuhnya di bibirku. Seakan bibir Ervin memang tercipta hanya untuk bibirku.

Oh Tuhan, aku tidak tau jika rasa bibir Ervin senikmat ini, aku merasakan Ervin membuka mulutnya sedikit dan mengulum bibir bawahku. Aku memejamkan mataku untuk merasakan pemberian Ervin padaku. Tanpa sadar aku membuka mulutku, memberikan akses pada bibir Ervin untuk meneruskan aksinya. Ervin menciumku lembut .

Entah bagaimana aku merasakan ciuman itu adalah ungkapan rasa hatinya padaku. Tanpa aku sadari kini kedua tanganku sudah berada di dalam genggaman tangan Ervin. Dia meremas kedua tanganku tidak terlalu kuat, namun aku merasakan kini kami adalah dua yang menjadi satu. Aku merasakan ada air yang membasahi pipiku. Ketika air itu jatuh ke bibirku, rasa asin yang aku rasakan adalah sebuah jawaban bahwa Ervin menitikan air matanya ketika menciumku.

Akhirnya aku adalah orang yang memutuskan ciuman itu lebih dulu, karena aku merasa kehabisan oksigen, dan bila aku nekad untuk terus menciumnya, aku menakutkan ada perasaan lain di diriku yang muncul untuk memilikinya sepenuhnya.

"Asin", kataku setelah aku membuka mataku bersama dengan Ervin yang juga membuka matanya.

Ervin tertawa di depanku. Kemudian aku merasakan kedua ibu jarinya mengusap pipiku. Membebaskan pipiku dari sisa air matanya yang masih ada di sana.

"Kalo manis ya gula Lun", katanya padaku.

Setelah tawa Ervin reda, kami kembali ke posisi tidur kami masing masing. Kami tidur saling berhadapan dengan tangan Ervin yang memegang tanganku, seakan Ervin tidak akan melepaskan diriku untuk selamanya. Padahal kenyataannya kami akan berpisah setahun lagi.

🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

Suami Bayaran (END)Where stories live. Discover now