Chapter 7

5.9K 816 87
                                    

"Kajian ditunda minggu depan kok ya nggak ada yang ngabari. Udah di tengah jalan baru ditelepon." Arimbi menggerutu, meluapkan kekecewaannya. Sementara Arga dan Keyara duduk membisu di sofa.

Baik Arga maupun Keyara masih membatu. Mereka tak lagi terfokus pada perkataan Arimbi, tapi masih terbelit pada sensasi yang sebelumnya begitu mendebarkan. Keyara masih saja deg-degan dan masih bisa merasakan jejak ciuman Arga yang serasa membekas. Arga pun belum lupa pada momen singkatnya bersama Keyara yang meski hanya sebatas berciuman, tapi sudah mampu memberi kenikmatan yang luar biasa. Dalam hati pria itu merutuk, kenapa Sang Ibunda balik lagi ke rumah. Sedangkan untuk meminta haknya lagi, ia gengsi bukan kepalang.

Hingga malam menyapa, Keyara masih saja gugup. Entah harus bersyukur atau merutuk. Di satu sisi ia belum siap menyerahkan dirinya untuk Arga. Ia sadar benar akan statusnya sebagai istri Arga. Semesta seakan mengingatkannya bahwa ia pun harus memerhatikan hak suami atas dirinya di ranjang. Namun, di sisi lain ia tak ingin Arga menyentuhnya sebatas untuk membuktikan bahwa dirinya masih suci. Sebenarnya ia tak suka Arga meragukan kesuciannya. Itu sama menginjak harga dirinya.

Kedua insan itu kembali seperti orang asing. Arga yang lebih dulu berselonjor di ranjang sambil membaca buku melirik Keyara yang sudah berganti dengan gaun tidurnya, tapi masih mematung di ujung ranjang. Wanita itu tampak ragu untuk merebahkan diri di ranjang, sementara mata Arga tak lepas mengawasinya.

Arga kembali terbayang ketika sore tadi Keyara mengenakan bathrobe, lalu ia melepasnya. Saat ini, ia pun membayangkan gaun itu luruh dari tubuh istrinya dan ia kembali melihat keindahan di baliknya. Arga merutuki diri, tak seharusnya pikirannya dipenuhi fantasi panas bersama Keyara.

Keyara juga masih terbayang ketika Sang Suami menatap intens tubuh polosnya dan mencumbunya begitu rakus. Tentu, ada keinginan untuk mengulangnya. Namun, ia tahan diri. Ia pikir Arga akan tetep menceraikannya. Kenapa harus memadu kasih jika pada akhirnya mereka berpisah?

Keyara duduk berselonjor dalam rentang yang agak jauh, menyisahkan satu celah kosong di antara dirinya dan Arga.

"Mas ...." Keyara memberanikan diri mengawali percakapan.

Arga melirik sepintas. "Ya ...."

"Sepertinya kita harus kembali membuat kesepakatan. Dulu aku bilang sebelum berpisah, aku ingin kita memainkan peran kita sebagai suami istri sesungguhnya. Kita berpura-pura baik-baik saja. Ada satu hal yang tidak bisa kita lakukan." Keyara sedikit menunduk, "sepertinya kita harus menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal intim. Bukankah kita akan berpisah? Jika nanti aku hamil, bagaimana nasib anak dalam kandunganku?"

Arga sedikit terkejut. Ia tidak pernah berpikir akan kehadiran seorang anak. Egonya sebagai pria hanyalah ia ingin menjadi yang pertama, yang bisa memiliki Keyara seutuhnya. Terlepas apakah semua akan berujung pada perpisahan, ia rasa tak ada salahnya memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang dengan Keyara. Ia tahu, pikirannya sudah diracuni angan untuk memiliki Keyara seutuhnya. Namun, ia juga ragu apakah Keyara benar-benar wanita yang tepat untuk menemaninya hingga senja? Sedangkan di hatinya masih ada cinta untuk Mutia. Dan jika malam ini ia merayu Keyara untuk melanjutkan momen intim mereka tadi sore, ia merasa sama saja dengan merendahkan diri sendiri. Setahun ini ia membenci Keyara, bagaimana bisa hanya disuguhi tubuh polos istrinya, ia langsung melunak?

Arga hanya mengangguk. Hatinya memang kalang kabut, kecewa, rasa-rasanya ingin ia menerkam Keyara dan menyalurkan hasratnya. Atau ia harus mengulur waktu sampai nanti ia benar-benar memiliki Keyara seutuhnya?

Malam itu keduanya kembali asing, tidur saling memunggungi. Lupa bahwa sore itu mereka saling menyecap rasa, salurkan kehangatan meski hanya sekian menit. Kembali asing itu menyakitkan. Namun, Keyara menyadari, dia harus menyiapkan diri untuk benar-benar menjadi orang asing bagi Arga.

******

Pagi cerah ini, ada sesuatu yang konyol melintas di benak Arga bahwa Keyara akan keluar kamar mandi dengan mengenakan bathrobe. Namun, nyatanya istrinya telah berganti pakaian di dalam kamar mandi. Arga mencelos. Ia pikir akan mudah membentuk Keyara menjadi istri yang benar-benar patuh dan menerima segala perlakuannya termasuk ketika dia mencoba menyentuh dan mencium Keyara. Faktanya, wanita itu menegaskan kesepakatan untuk tidak saling intim satu sama lain. Ia berpikir, Keyara mulai menunjukkan taringnya. Arga menduga, penyebab perubahan Keyara  adalah karena wanita itu tahu bahwa Arga berminat padanya atau karena ada laki-laki lain yang menyukai dirinya.

Arga semakin senewen tatkala melihat Keyara tampak lebih segar dengan sapuan bedak dan lipstik warna nude. Tiba-tiba bayangan Andra melintas sekelebat.

"Sepertinya kamu lebih fresh dari biasanya. Ini karena kemarin aku cium atau karena nanti bisa ketemu sama wali murid yang duda itu, ya?"

Keyara terperanjat. Arga yang sebelumnya irit sekali bicara, jarang membuka percakapan, kini menjadi lebih aktif. Namun, kata-katanya begitu pedas dan tanpa kontrol. Tentu Keyara tahu bahwa wali murid duda yang dimaksud Arga adalah Andra. Keyara menoleh ke arah Arga dan menajamkan pandangannya.

"Aku biasa berpenampilan seperti ini. Mas Arga saja yang tidak memerhatikan."

Arga tersenyum sinis. "Biasanya kamu tidak semodis ini. Kamu sedang ingin mencari perhatian laki-laki lain?"

Keyara menguatkan diri untuk bersabar menghadapi Arga. Laki-laki yang sebelumnya selalu cuek ini, sekarang berubah drastis. Ia lebih banyak bicara, tapi selalu menyudutkan dan mencari-cari kesalahan Keyara.

"Kenapa dari kemarin Mas Arga selalu menyudutkanku? Seolah-olah aku ini perempuan ganjen dan cari-cari perhatian ke laki-laki lain. Aku punya harga diri, Mas. Sekalipun Mas Arga nggak merhatiin aku, aku nggak akan serendah itu mencari perhatian laki-laki lain."

Keyara semakin tak memahami akan sikap Arga yang kian menyebalkan. Arga bungkam seribu bahasa. Entah kenapa ia selalu ingin meluapkan kekesalannya pada Keyara.

Arga mengalihkan tatapannya pada ujung ranjang. Mendapati spot satu itu kosong tanpa pakaian kerjanya, ia kembali beralih menatap Sang Istri.

"Kamu tidak menyiapkan pakaian untukku?"

Keyara melirik ujung ranjang. Pagi ini dia memang tidak menyiapkan pakaian untuk suaminya.

"Aku boleh libur sehari, 'kan? Hari ini saja aku libur, besok aku siapkan kembali."

Arga kesal karena Keyara seakan tak lagi memprioritaskannya. Bukankah wanita itu yang meminta untuk berperan menjadi suami istri sesungguhnya? Kenapa kini ia seperti tengah menciptakan jarak?

"Bukankah kamu bilang untuk berperan sebagai suami istri sesungguhnya? Kamu juga bilang ingin menciptakan kenangan yang baik sebelum kita berpisah? Kenapa kamu jadi seenaknya begini?" Arga kecewa, tapi ia berusaha memelankan suara agar tak terdengar oleh bundanya.

Keyara mengembuskan napas sejenak.

"Aku pikir-pikir sudah saatnya kita belajar untuk menjadi asing satu sama lain. Bukankah nanti akan sangat menyakitkan ketika kita berpisah, di saat itu pula kita mulai terbiasa dengan kehadiran pasangan kita?"

Arga mengernyitkan alis. Ia kadang tak memahami jalan pikiran Keyara. Namun, ia juga membenarkan perkataan istrinya.

"Aku sedang belajar untuk itu," ucap Keyara datar.

Arga membisu. Ia pikir, ia harus memberi Keyara pelajaran. Ia tak akan peduli pada Keyara, tak akan lagi bicara dengannya, dan benar-benar menganggap wanita itu asing. Ia yakin Keyara tak akan bertahan. Pada akhirnya ia akan kembali dengan mata sendu dan menggantungkan harapan padanya.

Sumpah itu nyatanya hanya sekadar wacana. Diam-diam Arga mengikuti Keyara yang telah lebih dulu berangkat ke Taman Kanak-kanak. Laki-laki itu semakin kesal, ketika ia mengawasi Keyara dari seberang jalan. Benar dugaannya, Andra mengantar putrinya dan ia melihat laki-laki itu berbincang dengan Keyara.

******

Pendek aja, lg banyak kerjaan. Tim mana kalian? Key-Arga atau Key-Andra?

Karakter Keyara pasti ada perkembangan. Meski di awal tertindas, tapi dia bukan karakter yang cengeng dan pasrah. Dia kuat dan tahu bagaimana cara menghadapi Arga.

Behind the TearsWhere stories live. Discover now