Bab. 14. Bimbang

309 47 33
                                    

Segelas kopi yang sedari tadi ia pesan telah menjadi dingin akibat terlalu lama terabaikan. Cairan itu hanya berada di sana, mengikuti bagaimana sang wadah berbentuk tanpa setetes pun menyentuh kerongkongan kering milik seorang wanita yang kini tengah galau tersebut.

Ia merasa dingin, namun sekaligus tak ingin pulang. Ia hanya tak ingin menelan kesedihannya sendirian. Dengan kayu-kayu dari badan meja makan, atau peralatan dapur platinum yang hampir tak pernah ia sentuh karena lebih sering menghabiskan waktu di St. Mungo.

Setidaknya, di taman ini ia ditemani oleh beberapa ekor burung dara yang ber-uhu senang sambil mengais beberapa butir biji-bijian di antara karpet salju tipis yang sedari tadi mulai menghujani kota dan seisinya.
Pandangannya masih kosong. Bahkan jemari tangannya masih gemetar mengingat tawaran gila yang beberapa jam lalu diucapkan oleh Lucius Malfoy. Bagaimana bisa laki-laki itu berpikir ia akan sudi merawat Voldemort yang baru saja bangkit dengan fisik ringkihnya?

"Kenapa harus aku?"

Pertanyaan itu telah ribuan kali berputar-putar di dalam otak tanpa tahu apa jawabannya. Udara menjadi semakin dingin, Adara mencengkeram mantel coklat miliknya semakin erat, namun sedikitpun ia tak ingin beranjak dari sana. Sengaja ia membiarkan diri hanyut di bawah guyuran salju yang turun semakin menggila. Ia ingin mendinginkan otak dan hatinya yang terus saja bergejolak.

"Kau bisa hipotermia!"

Adara mendongak. Tak ia rasakan lagi tetes bunga salju yang sebelumnya menyiram puncak kepala, tergantikan oleh sebuah payung hitam bergagang kepala ular berwarna silver di ujungnya.

"Ayo pulang," ucap suara itu lagi. Adara masih saja enggan. Ia benar-benar tidak ingin pulang.

"Kau bisa kedinginan, healer."

Suara itu kini terdengar lebih lembut. Tak ada nada memerintah atau menuntut. Hanya terdengar suara memohon dan khawatir yang mengalun di antara berat nan teduhnya suara milik lelaki bernetra sama teduhnya itu.

"Kenapa kau di sini?" tanya Adara. Suaranya bergetar, menahan dingin, menahan tangis, menahan segala kepedihan yang hingga kini masih menyesaki dadanya.

"Aku melihatmu di rumah, lalu mengikuti mu ke sini diam-diam," ucapnya. Masih memegang gagang payung, ia turut mendudukkan diri di atas kursi taman yang telah terlapisi hamparan es putih.

"Bukankah kau seharusnya masih di Hogwarts?" timpal Adara. Lelaki di sampingnya kembali membuka suara. "Ayah meminta agar aku dipulangkan terlebih dahulu. Banyak orang tua yang melakukan hal yang sama setelah berita kematian Diggory dan penangkapan Crouch Junior tersebar di Daily Prophet," ucapnya.

Hati Adara kembali mencelos, pikirannya semakin tak karuan. Seperti sebuah kilas balik, ia kembali mengingat kejadian demi kejadian sial yang menimpa dirinya. Kematian bocah tampan, si Cedric Diggory, sidang pemecatannya, pencabutan izin praktek, penawaran merawat Voldemort dan bergabung menjadi bagian dari mereka, belum lagi koran konyol Daily Prophet, entah apa yang akan ditulis oleh koran itu tentangnya. Adara merasa sebentar lagi ia akan gila.

"Kau harus pulang, healer," ucap Draco.

Adara terkekeh sinis, "siapa yang kau panggil healer itu, ha? Tidak ada lagi seorang healer di sini."

Draco menggaruk kepalanya yang tak gatal, benar juga, pikirnya. "Lalu apakah sekarang aku boleh memanggilmu Adara? atau... Nyonya Malfoy? Sepertinya opsi ke dua lebih baik."

Adara memalingkan pandangannya. Naga pirang di sampingnya ini memang ajaib. Kepribadian hangat, mata biru laut yang teduh, senyum memikat. Naga yang satu ini agaknya memang sempurna.

Good Healer [Healer Adara]Where stories live. Discover now