Cruella DeVille~2

17 8 0
                                    

🍃🍃🍃


Suara alunan merdu piano terdengar di dalam sebuah apartemen yang hanya diterangi cahaya bulan dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka. Tidak lama kemudian suara seorang gadis melantunkan lagu mulai terdengar.

Somewhere over the rainbow🎶
(Di suatu tempat di atas pelangi)
Way up high🎶
(Tinggi di atas sana)
There's a land that I head of once🎶
(Ada suatu tempat yang pernah kudengar)
In a lullaby🎶
(Di dalam lagu nina bobo)

Somewhere over the rainbow🎶
(Di suatu tempat di atas pelangi)
Skies are blue🎶
(Langit berwarna biru)
And the dreams that you dare to dream🎶
(Dan mimpi-mimpi yang berani kau impikan)
Really do come true🎶
(Sungguh menjadi kenyataan)

Where trouble melts like lemon drops🎶
(Dimana masalah meleleh seperti tetesan lemon)
Away above the chimney tops🎶
(Di atas puncak cerobong sana)
That's where you'll find me--"🎶
(Di situlah kau kan menemukanku--)

Brak!

Pintu yang tiba-tiba terbuka itu seketika menghentikan jemari gadis itu dari piano, bahkan suara merdunya pun ikut terhenti. Tatapan matanya berubah tajam, siap memutilasi siapapun.

"Stella!" Brian yang berdiri didepan pintu segera berjalan menghampiri Stella yang masih setia duduk di depan piano. "Astaga! Kau kemana saja? Aku bahkan keliling kota New York mencarimu."

Tak!

Tubuh Brian menegang saat sebuah pisau buah tiba-tiba melayang di udara dan hampir saja menganainya. Baru saja pria itu ingin melayangkan protes, tiba-tiba saja Stella sudah berdiri di depannya.

"Sudah kukatakan untuk tidak menjadi lemah," ucap Stella penuh penekanan.

Brian hanya mengangguk sebagai jawaban, ia terlalu takut dengan Stella yang sekarang. Apakah terjadi sesuatu pada gadis itu tadi?

"Apakah terjadi sesuatu tadi?" tanya Brian hati-hati setelah melihat wajah Stella sudah mulai tenang.

"Mengakui kesalahan, membuat kekacauan dan kabur." Brian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Jawaban gadis itu sangat dan sangat membingungkan.

"Sebentar!" seru Brian sambil menatap Stella yang tersenyum manis menatapnya, seakan tidak terjadi apa-apa.

"Mengakui kesalahan, itu berarti kau mengakui kesalah di depan detektif itu," tebak Brian dan Stella menjentikkan jarinya, pertanda jawabannya benar.

"Membuat kekacauan, sudah kuduga kau yang membuat cafe itu seperti kapal pecah," tuding Brian dan lagi, gadis itu kembali menjentikkan jarinya.

"Kabur, sangat tidak elit dan itu adalah kebiasaan burukmu!" Bukannya tersinggung dengan ucapan Brian, gadis itu malah menghambur ke pelukannya.

"Yeyy ...! Aku berhasil loh, buat detektif itu takut," ucap Stella sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Apa gadis ini sudah gila? Kenapa reaksinya sangat terlihat santai tanpa beban apapun.

"Kau benar-benar sudah gila!" tuding Brian sambil berlalu pergi meninggalkan gadis itu yang mempoutkan bibinya seperti anak kecil.

🔪🔪🔪

Seorang pria berdiri di depan gerbang panti asuhan. Pria itu adalah Sean Chris Morgan. Sudah lama dia tidak lagi ketempat ini, terakhir kali dia kesini sekitar lima tahun lalu.


Seorang wanita paruh baya tampak menyambut kedatangan Sean yang masih menatap ke sekeliling taman panti asuhan.

"Mr. Morgan!"

Sean mengalihkan perhatian pada wanita paruh baya yang tadi memanggilnya.

"Aunty Martha!"

◾◾◾

"Jadi, anda di New York karena sebuah kasus?" Aunty Martha memulai percakapan. Saat ini mereka berdua duduk di taman panti asuhan.

"Iya. Aunty tidak perlu formal padaku. Biar bagaimanapun, aunty sudah seperti ibuku sendiri," ucap Sean.

"Baiklah. Kau pasti ke sini bukan hanya sekedar menjengukku kan? Apa yang kau inginkan?" Sean terkekeh, aunty Martha memang sangat mengenal dirinya dari siapapun.

"Aunty benar, aku ke sini ingin bertemu dengan Estella." Jawaban Sean seketika membuat raut wajah aunty Martha berubah. Sean mengerutkan dahinya melihat perubahan ekspresi wanita itu.

"Ada apa?" tanya Sean penasaran.

"Estella sudah tidak ada di sini."

"Apa seseorang mengadopsinya?"

Aunty Martha hanya menundukkan kepalanya, tidak tahu harus menjawab apa.

"Apa sesuatu telah terjadi?" tanya Sean semakin penasaran. "Aunty, katakan sesuatu."

Aunty Martha menghela napasnya lebih dulu sebelum menjawab. "Lebih tepatnya, kami memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa."

Sean membulatkan matanya terkejut.

T.B.C

Cruella DeVilleWhere stories live. Discover now