Bab 2 ~ Ajakan Mina

316 92 2
                                    

"Tentu saja," Mina menjawab pertanyaan Wester sambil menatap dalam-dalam, seperti ingin membaca apa yang ada di benaknya.

Gadis itu meraih sebilah pisau miliknya yang tadi diperhatikan Wester, yang tampak sedikit berdebu, lalu mengelapnya dengan kain.

"Kenapa? Kamu ingin menjadi pedagang?" dia bertanya.

"Mmm ... ya ..." jawab Wester ragu. Kemudian suaranya mengeras, jadi terdengar lebih meyakinkan, "Kenapa tidak? Sebagai pedagang aku bisa pergi ke banyak tempat, 'kan? Ke tempat-tempat yang menarik?"

Walaupun sebenarnya ia tidak yakin dengan hal itu.

Pada dasarnya ia belum pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Mungkin ia mengatakan ini hanya untuk menutupi kegelisahannya.

"Ya, begitulah. Di luar sana banyak tempat yang menarik," jawab Mina.

"Kamu sudah pernah pergi ke mana saja?" tanya Wester.

"Ke negeri Tavarin di barat, Haston di selatan, lalu Terran di timur. Di Tavarin banyak makanan dan baju-baju bagus. Di Haston ada banyak senjata dan baju-baju zirah yang tebal dan hebat. Tetapi, dibanding mereka, Terran adalah negeri yang terbesar dan terkaya. Semuanya ada di sana, semua yang belum pernah kamu lihat. Suatu hari nanti kamu mesti ke sana. Sayangnya aku belum sempat pergi lebih jauh ke Melbrond, atau Maltan. Kabarnya di sana lebih menarik. Di Maltan bahkan ada binatang-binatang aneh."

"Binatang aneh?"

"Semacam kuda terbang, dan ular terbang."

"Apa? Itu ... itu mengerikan!" Wester bergidik.

Mina mengangkat bahunya dengan gaya sedikit meremehkan. "Kata orang-orang sih tidak. Tidak berbahaya, maksudnya. Aku malah ingin melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri. Bukan cuma mendengarnya dari cerita-cerita. Ya, mungkin setelah dari sini, Tuan Buschan akan membawa kami ke sana. Uh, aku jadi tidak sabar!"

"Kalian ... akan ke barat setelah ini?" tanya Wester, mulai tertarik.

"Kuharap begitu."

Wester termangu.

Pergi ke negeri ular terbang, bayangkan itu. Mungkinkah ia bisa ke sana suatu hari nanti? Atau ke negeri-negeri yang lainnya?

Mina menatapnya lekat-lekat, lalu mendekatkan tubuhnya. "Kamu mau ikut? Ya sudah, ikut saja." Dia mengedipkan matanya.

Wester melongo.

Apa maksud gadis itu? Dia mau mengajaknya pergi?

Tidak, dia pasti cuma bercanda. Mina cuma menggodanya.

Lagi pula, hal itu tidak mungkin.

"Bagaimana ... bagaimana caranya? Aku tidak mungkin pergi. " Wester menggeleng-geleng. "Ayahku bisa marah besar. Ia tidak akan mungkin membiarkan aku pergi. Tidak sampai aku bisa memanggil angin!"

Mina langsung tertawa. Menertawainya, lebih tepatnya.

"Kalau begitu kamu tidak akan bisa pergi dari Lembah Heiszl sampai kapan pun. Sampai mati kamu akan tetap tinggal di tempat menyeramkan ini."

Wester terdiam. Kini ia mulai takut membayangkannya. Membayangkan ia akan berada di desanya yang penuh dengan penyihir sampai ia tua.

Mina menatapnya terus, seolah tahu kerisauan yang dirasakan Wester, kemudian menyeringai. "Hei, bagaimana kalau kamu kabur saja?"

"Hah? Kabur?"

"Iya, bersamaku. Bersama kami. Lusa, saat kami pergi dari sini, kamu bisa sembunyi di keretaku. Jangan khawatir. Tidak akan ada yang tahu."

"Ayahku pasti tahu, dan sehabis itu aku pasti dihukum!"

"Ya jangan sampai ketahuan!" Mina menutup ucapannya, sebelum kemudian pergi karena dipanggil temannya untuk membantu orang itu membereskan barang dagangan.

Sementara Wester kesal mendengarnya. Enak saja Mina ngomong begitu.

Ucapannya itu sembarangan, dan juga berbahaya.

Sekaligus juga, terus terang, menarik.

Saat Wester berjalan pulang ajakan Mina itu terus terngiang-ngiang di benaknya. Walaupun belum pernah serius memikirkannya, sejak dulu ia punya keinginan suatu hari nanti bisa pergi ke negeri-negeri lain di luar sana. Namun, tentunya bukan sekarang, dan bukan dengan cara kabur dari ayahnya.

Karena jika ia sampai nekat pergi, ayahnya pasti akan menyuruh orang mencarinya, sampai ke ujung dunia sekalipun. Setelah itu, nasib Wester mungkin akan menjadi lebih buruk dibanding Jonar, bocah tetangganya, yang dihukum harus pergi ke Hutan Ungu yang mengerikan untuk 'belajar' tentang kesopanan, hanya gara-gara anak itu terus memperhatikan burung-burung yang berterbangan kala gurunya sedang mengajar di depan kelas.

Tidak, sebaiknya ia tidak memikirkan hal itu lagi.

Ia pulang dan malam itu ia berhasil melupakannya.

Namun keesokan harinya, ia tak bisa lagi menghindar.

Apalagi setelah pembicaraan yang terjadi saat makan malam.

Seperti biasa, Wester makan malam bersama ayah dan kedua kakaknya.

"Jiwa Yang Agung memberkati. Etieret. Elier." Weidross sang ayah menutup doa sebelum makan, kemudian seperti kebiasaannya ia memejamkan mata, membiarkan udara hangat mengalir ke sekelilingnya.

Wester yang duduk tepat di seberang ayahnya itu mengangkat wajahnya sejenak, melirik ke arah kedua kakaknya di sebelah kiri dan kanannya, lalu kembali menatap sayuran dan buah-buahan di atas meja.

Biasanya semua makanan ini selalu membangkitkan seleranya. Wester dikenal sebagai tukang makan, satu hal yang mungkin membuat tubuhnya bisa tumbuh lebih tinggi dan lebih kuat dibandingkan anak-anak sebayanya. Namun, kali ini pikirannya tidak lari ke makanan atau perut, melainkan ke hal lain yang lebih menarik dan sore ini terus membuatnya gelisah.

Tadi sore Mina bilang, rombongan pedagang akan pergi dari Lembah Heiszl besok pagi. Ke Haston di selatan, negeri para prajurit, lalu setelah itu akan terus berkelana sampai ke negeri Maltan di Dunia Barat.

Bayangkan. Maltan! Wester tidak yakin ia akan suka dengan hewan-hewan aneh semacam kuda terbang atau ular terbang; bisa jadi ia justru akan lari ketakutan jika melihat mereka. Namun, pastinya ada banyak hal lain yang menakjubkan juga di negeri itu. Negeri yang konon daratannya begitu luas, terbentang jauh dari padang rumput hingga ke tepi lautan.

Seperti hari sebelumnya, Mina kembali mengajak Wester untuk kabur. Wester kembali menolak tawaran itu. Karena ... ya gila apa? Mana mungkin ia berani kabur dari ayahnya saat ini, dan berhenti dari kelas, hanya untuk pergi melihat negeri-negeri yang jauh? Ayahnya bakalan murka.

Dan apa yang bisa dilakukan Wester di luar sana, sebagai seorang anak penyihir yang ternyata tidak punya kemampuan sihir? Ia akan menjadi tertawaan atau bahkan bulan-bulanan, jika orang-orang sampai tahu kalau ia berasal dari Lembah Heiszl. Ia mungkin tidak akan selamat.

Namun, di sisi lain, kenyataan bahwa selama seharian ia gelisah memikirkan hal ini, sampai membuatnya kehilangan selera makan, tentunya berarti sesuatu. Mungkin karena pada akhirnya ia menyadari, ia tidak ingin selamanya tinggal di Lembah Heiszl. Di negeri ini, seseorang dihormati dan disegani hanya jika memiliki keahlian sihir, dan karena ia begitu bodohnya dalam hal itu, sudah jelas nanti ia bakalan masuk ke dalam golongan orang-orang yang paling tidak terhormat. Benar-benar memalukan.

Wester tahu ia harus pergi dari Lembah Heiszl suatu hari nanti, dan kalau ia bisa pergi sekarang, kenapa harus menunggu nanti?

Belum tentu nanti akan ada kesempatan langka lagi seperti saat ini.

"Wester, kamu tidak makan?"

Suara berat ayahnya mengembalikan Wester dari lamunan.

Valley of WizardsWhere stories live. Discover now