PART TWO

7 1 0
                                    

"Tidak mau."

Sebelumnya, Alana sudah menduga bahwa Nina-temannya, tidak akan mau menerima pekerjaan yang ia tawarkan, ditambah dengan kenyataan bahwa sahabat sejak kecilnya ini sudah melamar pekerjaan di Runway–salah satu perusahaan media terbesar, sekaligus rival dari salah satu perusahaan milik keluarganya yang bergerak di bidang yang sama. Alana tidak akan pernah membiarkan Nina bekerja disana, dan ia akan pastikan hal itu saat ini juga.

"Ayolah, tidak ada salahnya menjadi asisten artis. Kamu pernah bekerja sebagai asisten Nancy sebelumnya. Menjadi asisten artis tidak jauh berbeda dengan itu," Nina tidak yakin otak Alana berada dalam kondisi yang baik saat ini, dengan geram ia berkata, "Menjadi asisten artis yang memiliki seorang anak tentu saja berbeda dengan menjadi asisten Nancy!"

"Tapi aku dengar Nancy juga memiliki seorang anak kembar."

"Yang diurus oleh seorang Nanny, Alana! Gosh, apa saat ini kamu secara tidak langsung menyuruhku menjadi seorang Nanny? Are you serious?" Nina pusing memikirkan tawaran temannya yang tidak masuk akal. Menjadi asisten merangkap nanny? Please, hidupnya sudah terlalu banyak beban untuk ditambahkan pekerjaan rangkap seperti itu.

"Kamu hanya menjadi asisten pribadi Mario, Kanina. Tugasmu hanya mengurus kebutuhan Mario dan sesekali menggantikan tugas Mario menjaga anaknya ketika ia tidak bisa."

Nina menggeleng kuat. "Jangan memaksaku, Al. Berinteraksi dengan anak kecil saja aku tidak pernah dan kamu berharap aku bisa mengurus seorang anak kecil? You ridiculous."

"Aku sudah bilang kamu hanya menjaganya bukan mengurusnya!" Alana kehabisan akal untuk membujuk temannya untuk menerima tawaran darinya. "Fine, kalau kamu tidak mau menerima tawaranku, tidak apa. Tapi tolong jangan bekerja di Runway, aku akan mencarikanmu pekerjaan yang bisa membuatmu tidak bekerja di Runway."

Kanina yang ingin segera menyelesaikan perdebatan mereka hanya mengangguk, "Baiklah, aku tunggu kabar baik darimu."

###

Kanina sadar bahwa saat ini ia sedang mengkhianati sahabatnya sendiri ketika dengan sukarela ia memasuki lobby Runway dan melakukan wawancara pekerjaan bersama dengan kepala HRD mereka. Theresa Alken–kepala HRD Runway, mengatakan bahwa pengalaman miliknya yang tercantum pada dokumen yang ia serahkan, sangat sesuai dengan posisi yang ia inginkan dan kemungkinan ia akan diterima di perusahaan ini sangat besar. Dirinya merasa sangat bersalah akan hal ini.

Nina berjalan sambil menempelkan ponselnya ditelinga. Ia baru saja berada diluar gedung ketika suara Alana terdengar lewat ponselnya, "Tumben kamu meneleponku." Nina meringis pelan mendengar perkataan Alana, "Aku sedang berada diluar, ayo makan siang bersama. Kamu mau makan apa?"

Selama beberapa detik Nina tidak mendengar suara Alana dan ia yakin temannya sedang kebingungan ditempatnya, "Makan siang di kafetaria kantorku saja. Hari ini tema menunya adalah Jepang."

###

Nina duduk di area outdoor kafetaria kantor manajemen milik Alana. Kafetaria yang terletak di lantai dua ini memiliki area outdoor yang berada di balkon luas yang memperlihatkan kemacetan Jakarta siang ini. Dirinya baru saja selesai memesan sushi sebagai menu makan siangnya dan duduk sembari menunggu makanannya dan Alana datang. Nina mengeluarkan iPad miliknya dan mulai menyibukkan dirinya dengan benda tersebut.

Alana akhirnya muncul beberapa saat kemudian, namun Nina menyambut kedatangan Alana dengan kening mengerut. "Siapa ini?" tanyanya pada Alana yang baru saja tiba di mejanya. Alana datang dengan menggandeng seorang anak laki-laki yang membuat dirinya bertanya-tanya. "Kenalkan, ini Marvel," Alana menyebut nama anak kecil tersebut pada Nina, "Dan Marvel, dia Kanina, temanku," kata Alana, kali ini mengenalkan Nina pada Marvel.

Nina mengangguk pada Marvel yang hanya menatapnya tanpa berbicara. "Maafkan, Marvel anak yang pemalu, terutama pada orang asing yang baru ia temui," sekali lagi Nina hanya mengangguk tanda mengerti, "Apa kamu sudah memesan?"

"Sudah."

"Baiklah, kalau begitu aku akan ke dalam untuk memesan makanan. What do you want to for lunch, buddy?" Alana bertanya pada Marvel.

"Chicken Katsu and Sushi."

Siapapun pasti akan tersenyum mendengar suara Marvel yang terdengar menggemaskan, termasuk Alana. "You have big appetite. Baiklah, kamu tunggu disini bersama Nina, okay?" setelah mendapat anggukan dari Marvel, Alana beranjak kembali masuk ke dalam ruangan untuk memesan makanan.

Nina yang saat ini ditinggal berdua bersama Marvel tidak tahu harus bersikap seperti apa dan akhirnya memilih untuk diam saja dan fokus pada iPadnya. "Tante gambar apa?" Sebuah suara dari sisi kirinya membuat ia menoleh kaget pada Marvel yang saat ini menatapnya polos. "Tante?"

"Tante."

"Tante?" Kali ini Nina menunjuk dirinya dan Marvel mengangguk masih dengan tatapan polosnya. "Ok, first of all, don't tante me, okay?" Marvel mengedipkan matanya beberapa kali pada Nina lalu berkata, "Tapi tante kan temannya tante Alana, Papa bilang aku harus manggil tante Alana dengan tante."

"Yeah, itu karena Alana adalah tantemu, dan aku bukan tantemu, jadi jangan panggil aku tante, mengerti?" Marvel yang masih bingung dengan kata-kata Nina mengerutkan dahinya.

"Lalu tante ini apa?" Nina semakin risih mendengar Marvel memanggilnya dengan sebutan itu. "Aku adalah temanmu, jadi kamu harus memanggilku dengan namaku. Nina, panggil aku dengan namaku."

"Nina?"

"Yes. That's right. Nina, bukan tante." Nina merasa puas setelah Marvel akhirnya berhenti memanggilnya tante. "Tapi, kata Papa aku tidak boleh memanggil orang yang lebih tua hanya dengan nama saja," kata Marvel sedikit cemberut. "Marvel, right? Baiklah Marvel, berapa umurmu, buddy?" Marvel mengangkat sebelah tangannya lalu membuka tangannya memberitahu Nina umurnya. "Lima tahun? Untuk ukuran anak yang baru berumur lima tahun, kamu cukup pintar membalas kata-kataku, Marvel."

"Ibu Guru juga bilang kalau aku anak yang pintar. Nilai sekolahku juga selalu sempurna kata Papa." Nina baru saja ingin membalas kata-kata Marvel ketika ia kembali bersuara, "Tapi kata Mommy aku nakal, karena sudah mencoret mejanya dengan cat air."

Ia tidak tahu bagaimana harus merespon ucapan anak ini. Marvel mengatakan kata-kata itu dengan lesu dan sedih. Dan Nina bukanlah pakar anak kecil yang memahami bagaimana berhadapan dengan kesedihan anak kecil. "Kenapa kamu mencoret meja dengan cat air?"

Marvel mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk lalu menatap Nina, "Aku tidak sengaja, saat itu aku sedang menggambar di buku gambarku tetapi tanpa sengaja kuasku terkena meja. Setelah itu Mommy membuang kuas dan cat airku dan melarangku untuk menggambar lagi. Padahal itu semua hadiah dari Papa, karena Papa tau aku suka menggambar." Marvel bercerita panjang lebar pada Nina seolah ia sedang curhat pada temannya. Tanpa mereka sadari, Alana sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Di samping Alana berdiri seorang laki-laki yang mengenakan topi berwarna hitam.

Nina yang mendengar cerita Marvel sedikit kesal dengan Ibu anak ini. Bagaimana mungkin seorang Ibu tidak mengetahui hobi anaknya. "Kalau begitu Mommy mu adalah orang yang jahat." Sekali lagi Marvel tidak mengerti dengan kata-kata Nina, begitupun dengan Alana dan laki-laki disampingnya yang sedikit terkejut dengan kata-kata Nina.

"Kenapa Mommy jahat?" Nina menyilangkan kedua tangannya di dada lalu menatap Marvel, "Karena Mommy mu tidak tahu kamu suka menggambar. Harusnya kamu mencoret seluruh meja milik Mommy mu, supaya dia tahu kalau kamu suka menggambar."

Alana mendengus tidak percaya pada Nina dan laki-laki disampingnya hanya diam tetapi terlihat sudut bibirnya sedikit tertarik keatas saat mendengar saran tidak masuk akal yang Nina berikan pada Marvel. Tanpa mereka duga, Marvel justru tertawa dan berkata, "You're so silly, Nina. Kalau aku mencoret seluruh meja milik Mommy, ia akan jauh lebih marah dan mungkin akan menghukumku."

Nina terdiam sesaat lalu kemudian mengangguk-angguk mengerti, "That make sense. Ah, Mommy mu orang yang tidak seru. Aku benci orang tua yang suka menghukum. Apa baiknya menghukum anak kecil, hanya membuat kita tidak memiliki masa kecil yang indah." Nina berkata pelan pada dirinya sendiri tanpa tahu bahwa Marvel mendengarnya. Ketika Marvel ingin berbicara, sebuah suara berat dan dalam mengagetkan Nina dan marvel, membuat kedua orang tersebut membalikkan tubuh mereka.

"Apa kamu sedang mencoba mengajari anakku menjadi anak yang nakal?"

Don't Mess With The DrummerWhere stories live. Discover now