Chapter 30

219 24 2
                                    

Ibu telah mengabarkan padaku jika Roy sedang menyelidiki suatu tempat. Di mana tempat itu sebuah desa terpencil. Dan di sana, keberadaan adikku Kanaya terdeteksi. Semoga saja Roy lekas menemukannya. Aku sudah terlalu rindu dengan adikku. Dia pasti menjadi gadis yang cantik saat ini.

Astaga, aku hampir lupa dengan Meisarah. Hari ini aku ingin menemuinya. Son dan Waode mengatakan kalau Meisarah tidak bekerja tapi dia sedang mengantar adiknya Nisya mengaji ke seberang.

Aku harus sudah berada di seberang sebelum dia sampai. Son dan Waode mengayuh sekoci. Sekoci yang kusumbangkan untuk warga. Karena aku perlu, jadi kupinjam lagi.

"Cepat dong! Kalian gimana, sih? Masa kalah sama Meisarah."

"Memangnya Kapten bisa mengayuh lebih cepat?" ujar Son.

"Iya, kaya dia bisa saja, ya?" timpal Waode.

"Sudah-sudah, jangan banyak nanya, kayuh cepat!"

Aku menggaruk-garuk pundakku. Selama seminggu ini aku merasakan gatal di area pundak, entah apa yang terjadi? Apa karena tidak cocok air di sini? Atau Son dan Waode mencuci bajuku tidak bersih.

Setiba di seberang, kami naik. Son dan Waode lekas bersembunyi sesuai arahanku.

Tak jauh kulihat Meisarah sudah hampir sampai. Aku memperbaiki kerah bajuku. Apa sudah keren? Tentu saja keren, secara cuma aku cowok tampan di kampung ini.

"Hai, Nisya!" Saat Nisya naik ke tebing. Dia sangat cantik dengan kerudung putihnya.

"Hai, Kak!" Dia turut menyapaku.

"Semangat!" ujarku. Nisya hanya tersenyum dan berlalu pergi. Di belakangnya Meisarah sudah membawakan tasnya.

"Meisarah?" panggilku. Dia berhenti.

"Terima kasih." Dia menoleh. Seolah mengatakan, 'terima kasih untuk apa?'

"Terima kasih sudah memberiku ramuan." Dia tersenyum lalu pergi. Cuma begitu, coba, kalian bayangkan. Aku berterima kasih padanya, dia cuma senyum saja. Dia, kan, bisa mengatakan, 'iya, sama-sama pangeranmu. Jaga kesehatanmu!' kan, bisa begitu?

Kepulangannya Meisarah adalah yang kutunggu-tunggu. Ramai anak-anak berlarian ke pelabuhan. Mereka naik perahu masing-masing. Sementara Meisarah masih berbicara dengan guru mengaji Nisya. Cukup lama, entah apa yang sedang dia bicarakan?

Son dan Waode memberi kode, apakah sudah siap? Aku mengacungi jempol.

Nisya berlari ke pelabuhan.

"Hai, Nisya!" Sapa Son dan Waode yang baru saja datang.

"Kami boleh ikut perahumu, enggak?"

"Boleh, tapi tidak boleh lebih dari tiga."

"Enggak kok. Kak Son, Kak Waode, dan kamu." Dia mengernyit. Awas saja kalau Son dan Waode tidak berhasil.

"Kak Mei gimana?"

"Kak Mei sama kakak saja, " sanggahku. Dia mengernyit lagi.

"Boleh, ya!" Son dan Waode memohon. Akhirnya Nisya setuju. Sepertinya anak itu cukup paham. Son dan Waode turun membawa Nisya turun.

Tak lama kemudian, Meisarah datang.

"Nisya!"

"Kak Mei."

Meisarah mulai turun.

"Jangan Kak Mei. Perahu kita bisa tenggelam kalau kak Mei naik ini juga," kata Nisya. Meisarah mengangkat kembali kakinya. Good Job Nisya. Emmuacch, calon adikku tercinta.

"Kenapa kalian naik perahuku?"

"Gimana lagi Meisarah. Kami tidak bisa bertiga naik sekoci itu," ujar Son menunjuk sekoci yang kunaiki. Aku mendecap. Son melakukan kesalahan lagi. Dasar tidak bisa dipercaya. Sekoci ini bisa mengangkut lima orang, bodong.

"Ya, makanya aku dan Waode naik perahumu bersama Nisya. Dan kau dan Kapten naik sekoci."

Meisarah geleng-geleng tak percaya.

"Tolong keluar dari perahu saya!"

Meisarah terlihat panik, aku mendekatinya.

"Meisarah kau bisa ikut denganku." Aku meraih pundaknya.

"Jangan sentuh saya!" Dia menyentak lenganku. Aku, Son, dan Waode terkesiap dengan suara Meisarah yang terdengar marah. Son dan Waode langsung turun dari perahunya.

Meisarah langsung menaiki perahunya dan melepas tali jangkar, lalu mengayuh dengan sangat cepat. Dia meninggalkan kami begitu saja. Mengapa Meisarah? Aku telah berlayar ke banyak tempat, mengetahui kedalaman laut yang kulalui tapi hatimu adalah palung terdalam yang tak dapat aku tebak sedikit pun.

Di Antara Takdir dan TabirWhere stories live. Discover now