Chapter 27

153 24 2
                                    

Pertarungan dengan Rajash dimulai hari ini. Ini bukan tentang hidup dan mati, ini tentang harga diri. Anak camat itu sudah menginjak harga diriku kemarin di hadapan Meisarah. Kali ini aku yang akan menginjaknya.

Son dan Waode berbagi pantau. Son bertugas memantau Meisarah, dan Waode bertugas memantau Rajash.

Berdasarkan informasi dari Son, Meisarah sedang membawa anak-anak pergi ke pematang sawah warga. Katanya, di sana Meisarah mengajari anak-anak cara mencintai alam. Aku bangga dengan Meisarah, dia benar-benar guru yang ideal tapi sayangnya dia tak mengajar di sekolah gara-gara kepala sekolah itu. Mengingat itu kembali, aku jadi kesal.

Ah, ya, sudahlah, sekarang pikirkan bagaimana caranya bersaing dengan Rajash. Berdasarkan informasi dari Waode, Rajash sedang menyusul Meisarah ke sawah dengan pura-pura membantu warga mendorong sawah untuk mendapatkan perhatian dari Meisarah. Cih, murahan sekali caranya.

Aku tak perlu menjadi Rajash. Lihat saja nanti!

Dari kejauhan, kulihat Meisarah bersama anak-anak yang berjumlah lima orang. Mereka tampak bahagia diajari Meisarah. akan kubuat anak-anak itu lebih bahagia lagi dengan kehadiranku.

"Son, kau sudah bawa itu, kan?"

"Siap, sudah, Kapt!"

"Berikan padaku!"

Aku berjalan menuju Meisarah. Sementara dari kejauhan kulihat Rajash mondar-mondir dengan traktornya. Sungguh manusia itu tidak jelas. Katanya membantu warga tapi area yang didorong cuma sekitar dekat Meisarah. Sampai hancur tanah orang.

"Dorong sini lagi, Rajash!" Para petani berteriak memanggil Rajash serta memberi kode untuk pindah dari area itu, namun dia tak menggubris, masih saja senyam-senyum ke arah Meisarah. Pun Rajash membuat kebisingan, Meisarah tetap fokus mengajari anak-anak. Meisarah acuh saja. Aduh, kasihan sekali anak camat itu.

"Paman Kapten!" Anak-anak berseru padaku.

"Hai!" Aku melambaikan tangan kepada mereka. Meisarah merasa keheranan dengan kedatanganku.

"Paman Kapten sedang apa?" tanya salah satu anak.

"Melihat bulan." Aku menunjukkan teropong jarak jauh yang berada di tanganku.

"Memangnya bisa?"

"Iya, dong. Kan ada alat ini."

"Aku boleh coba, Paman?" Teriak salah seorang anak perempuan.

"Aku juga mau."

"Aku juga!!!" Semua anak-anak berlari kepadaku.

"Baiklah, tapi dengan syarat, semua harus mendapatkan giliran. Tidak boleh rebutan."

"Siap, Paman Kapten!" seru anak-anak.

"Wah, pas banget, ya, teman-teman. Tadi, Bu guru menceritakan tata surya di atas sana. Sekarang kita bisa melihatnya langsung."

Teropong kuserahkan kepada Waode untuk mengaturkan jarak agar anak-anak bisa melihat bulan.

Sementara aku mendekati Meisarah.

"Kebetulan sekali," ujarku. Meisarah hanya tersenyum tipis.

"Apa kau sudah lama di sini?" tanyaku. Meisarah seperti biasa, dia diam. Rajash yang melihatku bersama Meisarah seperti jenggot kebakaran.

Tak lama kemudian, anak-anak selesai.

"Terima kasih paman Kapten sudah meminjami kami teropong."

"Sama-sama."

"Lain kali bolehkah kami meminjam lagi untuk melihat bintang?"

"Tentu saja boleh. Boleh banget." Dan itu akan membuatku semakin bertemu dengan bintang hatiku.

"Greeeengggs!" Tiba-tiba suara mesin traktor begitu kencang ke arah kami. Kenapa anak camat itu membawa traktor seperti orang kesurupan?

"Ayo pergi dari situ Meisarah!" Anak camat itu sudah gila, masa traktornya ditujukan ke arah kami.

Kutarik Meisarah berlari menghindar.

"Duugggg!" Belum jauh kami berlari, traktor itu terjungkang. Rupanya anak camat itu menambrak tanah tempusu. Si anak camat berkubang dengan lumpur. Kapok, itulah niat buruk mau mencelakaiku malah ketiban sial sendiri.

"Hahaha!" Anak-anak terpingkal-pingkal. Aku juga tertawa dan Waode. Lucu sekali, wajahnya penuh lumpur.

"Cukup anak-anak! Tidak boleh menertawakan kesengsaraan orang. Kasihan Paman Rajash. Ayo kita bantu!"

"Baik Bu Guru."

What? Meisarah menolong Rajash? Aku menoleh kepada Waode. Dia hanya menggendikkan bahu. I don't know.

Di Antara Takdir dan TabirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang