Chapter 23

172 27 3
                                    

Bagas si Pemandai besi itu kulihat masuk ke rumah Meisarah seenaknya. Dadaku bergemuruh. Rupanya lelaki petani itu mengabaikan peringatanku kemarin.

"Ini tidak bisa dibiarkan, Kapt, pemandai besi itu harus tahu sedang berhadapan dengan siapa?" ujar Waode. Ya, kau benar Waode.

"Memangnya apa yang bisa kapten kita ini lakukan, lihatlah pemandai itu dia sangat kuat, aku yakin dia tidak akan mampu melawannya."

"Maksud kau apa Son? Aku takut sama pemandai besi itu? Cih, sepuluh orang seperti dia, aku tak takut."

"Yakin, Kapt?"

"Oh, kalian menantang, ya? Okay, akan kubuktikan." Bergegas aku keluar dari mobil.

Dengan jalan cepat aku berjalan menuju rumah Meisarah. Bersamaan pula, pemandai besi bernama Bagas itu membuka pintu. Aku tercekat, mematung di halaman rumah Meisarah. Kenapa pemandai besi ini tubuhnya berotot sekali, sih? Apa dia pernah pergi ke salon sepertiku?

"Hai, Bung, kau yang kemarin, kan?" Pemandai besi ini sok kenal sok dekat denganku.

"Kenapa di sini saja? Ayo masuk!"

What? Memangnya siapa dia menyuruhku masuk ke rumah Meisarah. Mentang-mentang tunangannya.

"Ayo, Bung, masuklah!" Bagas menarik lenganku. Kulihat Meisarah berdiri di ambang pintu, ketilka melihat kedatanganku, dia langsung masuk ke dapur.

"Duduklah, Bung!" Bagas dengan ramah mempersilakanku duduk.

"Siapa Bagas?"

"Temannya Meisarah, Bu." Ibu calmer-ku keluar dari kamar ayah calmer-ku. Lekas kusambangi dan kucium tangannya.

"Apa kabar, anak muda?"

"Saya baik, Bu. Bagaimana Bapak dan Ibu?"

"Kami baik-baik saja."

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Bagas.

"Tentu saja, dia, kan, sebelumnya pernah ke sini?"

"Oh, iya, kemarin dia juga ke rumah Bagas, Bu."

"Oh, jadi kau sudah sampai ke tempat pemandaian kakaknya Meisarah? Kau benar-benar teman Meisarah rupanya?"

What? Kakak? Aku terdiam mematung. Jadi, Bagas adalah kakaknya Meisarah. Aku gigit bibir, sial. Aku sudah mengancam Bagas. Ah, ini sangat memalukan.

Apa yang harus kulakukan? Tubuhku terasa beku.

"Silakan duduk, Bung!" Lagi-lagi Bagas mempersilakanku duduk dengan begitu ramah.

***

Setiba di rumah, kupanggil Son dan Waode.

"Kalian ingin aku turunkan jabatan, hah?!"

"Ampun, Kapt! Kami mengakui kesalahan kami. Tolong maafkan kami!"

"Sudah berapa kali kalian mendapatkan informasi selalu tidak vailed? Pertama saat Meisarah membuat tempat belajar, kalian bilang membuat makam. Lalu, kedua, Bagas kalian katakan tunangan Meisarah ternyata dia kakaknya. Apa ini? Apa kalian ingin main-main denganku?"

"Tidak, Kapt. Sungguh kami tidak main-main. Ini murni kesalahan."

"Sekali lagi kalian melakukan kesalahan, sebaiknya kalian pergi dari sini. Dan jangan berharap dapat promosi sampai kapan pun itu."

"Siap, Kapt!"

"Tapi kalau bukan Bagas, siapa anak camat itu?"

Di Antara Takdir dan TabirWhere stories live. Discover now