MAGANTARA - 05. TRAUMA

Depuis le début
                                    

“Sakit, jangan pegang!” Tama refleks menjauh kan tangan Naka dari perut, menggenggamnya.

“Perut kosong, kurang tidur, terlalu sering minum kopi, sering telat makan dan kelelahan.” Naka menjabarkan apa saja penyebab Tama sakit perut. “Pola hidup gak sehat.” komentarnya.

Tama mengendus. “Gak gitu, gue jarang minum kopi. Cuma hari ini ada dua jadwal meeting, gue gak enak kalo gak minum. Di tambah ini, Lo juga buatin gue kopi.” Jelasnya entah buat apa.

“Sakitnya karena gue?”

“Gak juga, cuma kebetulan gue tepar nya di rumah lo.” Jarinya mengelus punggung tangan Naka. “Bantu gue ke kamar.”

Naka gelagapan, dia menatap horor  Tama yang mengedip jahil. Dia takut khilaf kalo terus berdekatan dengan cowok ganteng, hatinya takut luluh. Tapi, kasihan. Mau gak mau Naka mengangguk.

“Wow, ayah ganggu nih?”

Sayangnya, sebelum Naka memapah tubuh bongsor Tama. Kedatangan Banu mengalihkan perhatiannya, gadis itu tersenyum lebar, berlari menghampiri sang ayah dan meninggalkan Tama yang  ancang-ancang berdiri.

“Gue ke dapur ambil air panas, ke kamarnya di bantu Ayah, ya?” Naka balik badan.

Laki-laki itu mengendus. Nakayla terlalu Bucin ke Banu. Niatnya ingin modus jadi sirna. “Selain Samuel, saingan gue juga bapaknya.”

Banu tergeletak, dia pernah mendengar putra bungsu Magantara. Ini yang katanya pendiam? Terlalu serius? Ternyata aslinya sengklek, nyatanya seorang Artama Magantara orang yang suka ceplas-ceplos. Persis seperti Jordan, Ayahnya.

“Nanti saya kasih tips biar bisa dekat sama anak saya.” Ujarnya menepuk pundak Tama beberapa kali.

***

“Udah mendingan?”

Naka membuka pintu, berjalan mendekat mengamati wajah teduh Tama yang terpejam. Harusnya dia pergi tapi kakinya malah semakin berjalan mendekat, dan berakhir berjongkok di sisi ranjang.

Menatap Lamat wajah damai Tama yang tampak lelah, terlihat dari kantung matanya yang sedikit menghitam.

“Gak ada mirip-mirip nya sama Dokter Samuel. Beda jauh, apalagi sikapnya.” Ujarnya.

Setelah meletakkan beberapa tablet obat, dia beranjak. Masih setengah berdiri, lengangnya sudah di tahan lebih dulu.

“Gue kira mau di cium.” Tama memicing.

“Lo frontal ke semua cewek?”

Si empu terlihat mengingat-ingat, sebelum terkekeh geli. “Sejauh ini cuma lo, sih.”

“Pasti lagi taruhan sama Dokter Sam, gak mungkin tiba-tiba gini.”

“Sebenarnya iya,”

Tadi Naka cuma bercanda, tapi siapa sangka dia dapat jawaban mengejutkan. Emang aneh, seorang Artama rela buang waktunya cuma buat kembaliin name tag. Anehnya disini Naka malah kecewa.

Perlahan tangannya mengepal, Naka siap menonjok wajah laki-laki di depannya. Namun, selang beberapa detik. Bukannya melanjutkan Tama malah ikut berdiri, memojokkannya di antara tembok dengan tangan yang menahan di kedua sisi.

“Lo umur berapa?” Tanyanya seduktif. Bahkan dengan lancar, Artama menahan kedua lengannya yang hampir mendarat sempurna ke wajah.

Naka menelan ludahnya takut, kakinya melemas. Jika saja Tama tak menahan bobot tubuhnya, di pastikan dia ambruk ke lantai. Bahkan tatapan tajam tanpa gentar nya sudah hilang entah kemana.

“Bener kata Om Banu, Lo galak tapi sebenarnya penakut.”

Tama tergelak, tangannya yang bebas dia gunakan untuk mengapit hidung Naka dengan dua jari. Ternyata menggoda Naka sangat menghibur, wajah ketakutannya persis seperti bocah SD yang mau di Culik.

“Nanti kalo ada orang gak kenal ajak ngobrol jangan mau, takutnya di culik.” Guraunya.

Naka sama sekali tak menanggapi, dia cuma diam menyaksikan cowok di depan menertawakannya. Rasanya seperti flashback pada dirinya waktu kecil, sering di tertawakan karena ketidaksempurnaan yang di miliki.

Saat itu Naka sering di ejek karena cuma punya Ayah, itu yang membuat nya kurang membuka diri. Sampai sekarang mungkin, gaya pertemanannya cenderung kaku.

Itu juga salah satu alasannya menjauhi keluarga Magantara. Dia enggan berurusan dengan awak media, kepercayaan dirinya tipis.

“Lucu banget, sampai-sampai Lo buat gue ketakutan. ”

Suara Naka bergetar, setitik air mata kemudian menetes saat kelopak mata itu mengerjap, di rekam jelas oleh Artama. Dengan helaan nafas berat, Naka perlahan mendorong tubuh Tama sedikit menjauh.

Mendongak. “Jangan lupa obatnya di minum, istirahat yang cukup, Pak Artama yang terhormat.”

***

Vous avez atteint le dernier des chapitres publiés.

⏰ Dernière mise à jour : Aug 09, 2023 ⏰

Ajoutez cette histoire à votre Bibliothèque pour être informé des nouveaux chapitres !

MAGANTARAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant