1. A Host Life

2.2K 144 5
                                    

Tubuhnya bersimbah peluh, bangun terlambat ketika matahari sudah menatap garang kepada bumi itu bagi Rhys agak biasa. Dia selalu pulang lewat tengah malam, untuk bangun selepas fajar jelas tidak mungkin. Apalagi ketika malamnya dia minum sampai agak teler. Rhys mengerti kehidupan yang dia jalani ini bukan kehidupan yang baik dan sehat. Tapi bodo amat dengan semuanya, yang penting uang mengalir dan dia bisa bersenang-senang.

Rhys gemar minum, dan pastinya semua paham bila harga minuman keras yang legal itu tidak murah. Minimal kemasan botol dengan isi tidak sampai satu liter dia harus menyiapkan uang minimal lima ratus ribu. Sekarang sebagai seorang host club', dia bebas minum sebanyak yang dia mau tanpa membayar sepeser pun, bahkan dia dibayar dan mendapat prosentase keuntungan setiap dia berhasil membuat kliennya memesan sesuatu.

"Dasar kebo ... !" umpat Rhys begitu membuka pintu kamar dan menemukan sahabatnya, yang menginap di apartemennya itu masih saja telungkup di atas kasur.

"Berisik bruhh...!!" Willy segera menarik lagi selimutnya hingga menutupi semua bagian tubuh.

"Tidur terus macam beruang lagi hibernasi, olahraga biar seksi." Anjur Rhys yang menuju kamar mandi.

"Olahraga itu biar sehat Rhys, otak kau itu abis digadein kemana." Sembur Willy yang tidak jadi tidur, pusing setelah terbangun karena kaget.

Willy kembali merebahkan tubuhnya dengan malas, tadi malam mereka begadang dan tidur ketika hampir fajar. Bangun jam segini tentu mata Willy masih berat. Tapi sahabatnya itu malah sudah nge-gym segala, bangun jam berapa dia. Padahal katanya tadi malam Rhys minum lumayan banyak, dia menemani klien hingga 3x. Tiap hari minum begitu mungkin sebentar lagi syarafnya akan mulai putus dan livernya meledak. Entahlah, Willy cuma ingin tidur.

Apartemen milik Rhys lebih besar daripada apartemen miliknya yang cuma 1 kamar saja, sebagai owner dari salah satu coffee shop di lingkungan situ penghasilan Willy juga tidak kecil. Tapi usaha Willy berjalan dengan cashflow sedangkan Rhys cuma menjajakan dirinya. Tapi bagaimana pun itu mereka tetap sahabat baik, mereka berteman sejak berkuliah di salah satu universitas swasta terbaik di kota itu. Persahabatan yang tulus dan tidak lekang oleh waktu.

Willy seringkali menasehati Rhys, kalau dia sudah cukup tabungan sebaiknya investasi saja dan berhenti menjadi host club'. Tubuh manusia itu tidak bisa dipaksa bekerja dengan cara seperti itu. Memang dia sehat saja sekarang karena masih muda, bisa saja nanti 10 tahun kemudian organ dalamnya rontok satu persatu. Sayangnya Rhys cuma tertawa lebar ketika Willy ceramah. Dan Willy kembali cuma bisa menggeleng, Willy cuma bisa menasehati bukan menghakimi.

"Buset, mau kemana lagi?" tanya Willy terhentak kaget begitu melihat Rhys meraih kunci mobilnya.

"Salon, mo ikut?" tanya Rhys berbalik.

"Laki ini gaesss, ke salon buat apaan?!" Willy kembali pusing kepala.

"Rapihin rambut, make up dikit biar ganteng," jawab Rhys sambil mengaca.

"Dah kek banci aja tiap hari ke salon, pergi dah sono dempul sekalian tuh muka." Willy menyembur kesal.

"Aset ini enak aja main dempul, kalo ganteng kan ntar klien demen sama aku gimana sih," jawab Rhys tanpa pedulikan ocehan Willy.

"Serah...yang waras ngalah." Willy mengusir Rhys dengan tangannya.

Rhys pergi dengan bersiul mengejek meninggalkan Willy yang kembali memeluk bantal. Rhys bukan Willy yang sudah mempunyai bisnis yang mapan, kalau dia tidak bekerja keras bagaimana dia bisa mengikuti perkembangan zaman yang semakin konsumtif. Rhys bukannya matre, tentu bukan. Dia hanya memanfaatkan keadaan dan menyulapnya menjadi sumber penghasilan.

Twist Where stories live. Discover now