11. Panti Asuhan

1.1K 130 67
                                    

Abel pikir, ia sudah mengetahui semua tentang Atlantas. Namun, ternyata tidak. Abel belum sepenuhnya mengetahui ttentang Atlantas. Cowok berparas tampan itu selalu saja penuh kejutan.

Abel merasa kagum sekaligus kesal.

“Kak Abel, apa yang terjadi di depan sana?” Pertanyaan itu melucur bebas dari mulut Kiara, salah satu penghuni Panti Asuhan yang saat ini Abel kunjungi.

Lamunan Abel buyar. Cepat-cepat ia menoleh ke samping. Melihat Kiara yang duduk tegap dengan pandangan lurus. Namanya Kiara, baru berusia 6 tahun, dan ia sudah menyandang tuna netra sejak lahir.

Sesaat, Abel tertegun. Pertanyaan polos itu membuat Abel merasa iba. Dengan penuh kasih sayang Abel mendaratkan telapak tangannya di atas kepala Kiara, mengusap-usap pelan.

“Kiara bayangin aja ada beberapa anak kecil di depan sana. Semuanya tertawa riang sambil kejar-kejaran. Terus ... ada rumput berwarna hija—”

“Hijau, kan?” potong Kira cepat, menebak.

“Kiara benar!” seru Abel senang.

“Sangat menyenangkan.” Seulas senyuman timbul di wajah manisnya. “Kiara bisa bayangkan itu semua. Terima kasih Kak Abel.”

Abel mengangguk. “Kalau ada apa-apa bilang aja, ya. Kak Abel ada di sisi Kiara, kok.”

“Sekali lagi terima kasih, Kak.” Pandangan Kiara lurus ke depan. Walaupun begitu Kiara tetap tersenyum lebar. Seolah-olah ia sedang memperhatikan teman sebayanya yang tengah bermain.

Hati Abel seperti diiris-iris. Kiara yang malang. Tidak seharusnya Kiara mengalami ini semua. Kiara itu masih terlalu dini, di mana seharusnya ia bermain-main, bukan duduk terdiam seperti ini tanpa mengetahui apa yang terjadi di depan sana.

“Minum.”

“Eh?” Abel tersentak. Cepat-cepat ia membalikkan badan dan menemui Atlantas yang berdiri di belakangnya dengan rambut acak-acakan.

“Terima kasih.” Abel mengambil segelas air putih dari tangan Atlantas. Lalu menyuruh Atlantas agar duduk di sisi kiri Kiara, karena ia sudah berada di kanan.

“Tadi gimana? Dapat nggak ularnya?” tanya Abel.

“Sudah. Ternyata sarang mereka ada di gudang.”

“Syukurlah. Abel nggak bisa bayangkan kalau ular-ularnya berkembang biak di sana lebih lama lagi. Kasihan nyawa anak-anak panti jadi taruhannya.”

“Iya.”

“Kak Abel, apa sekarang ada Kak Atla?” tanya Kiara menggebu-gebu.

“Iya,” jawab Atlantas terlebih dahulu. Tanpa ba-bi-bu lagi ia mengangkat badan Kiara dan memangkunya.

Abel yang melihat itu tersenyum. Rasanya sangat hangat. Dada Abel berdesir. Apakah ini clue gambaran jika di masa depan ia berumah tangga dengan Atlantas. Membayangkannya membuat Abel tersipu malu.

“Aroma Kak Atla itu khas,” ucap Kiara tiba-tiba. “Dari awal, aroma Kak Atla nggak pernah berubah. Tetap wangi, aroma favorit Kiara.”

Diam-diam Abel mengangguk setuju.

“Aroma sampo Ara juga tidak berubah,” ungkap Atlantas. Ara memang panggilan Kiara dari orang-orang Panti.

Inilah hal yang tidak Abel ketahui sama sekali dari Atlantas. Ternyata, dari beberapa tahun yang lalu Bandidos beramai-ramai mendirikan sebuah Panti Asuhan di daerah Jakarta Selatan. Bermodal uang seadanya, dan donatur tetap dari keluarga Anji, membuat Panti Asuhan bisa berdiri tegap sampai detik ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 26, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Atlantas & ArabellaWhere stories live. Discover now