Lembar Keempat

951 202 33
                                    

Lorong rumah sakit yang tampak hening kini diisi oleh suara sepatu (Y/n) yang beradu dengan lantai keramik. Gadis itu berlari dengan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Mengabaikan peraturan yang melarang seseorang untuk berlari di lorong.

Dua menit yang lalu, (Y/n) mendapat kabar jika Chifuyu telah dipindahkan ke ruang ICU setelah operasi yang berlangsung selama tiga jam tadi. Sebelumnya, (Y/n) sempat menunggu kakaknya di sana. Namun, ia memutuskan untuk pulang mengambil beberapa pakaiannya sebelum kembali ke sana dengan perasaan tak karuan bak mayat hidup yang tengah berjalan di tengah keramaian.

Langkah kaki (Y/n) berubah menjadi pelan ketika ia tiba di depan ruang ICU. Dari balik kaca, (Y/n) bisa melihat Chifuyu dengan alat-alat yang tak (Y/n) ketahui namanya berada di tubuh lelaki itu. Melihat bagaimana kondisi kakaknya, gadis itu sontak berjongkok. Mengeluarkan air matanya yang sejak tadi ia tahan. Membiarkan air mata itu mewakili perasaannya saat ini.

Seharusnya bukan Chifuyu-lah yang tertabrak. Seharusnya gadis itu yang berbaring di sana. Seharusnya sejak awal (Y/n) tidak pernah menjaga jarak dengan kakaknya itu. Terlalu banyak seharusnya dan seharusnya yang membuat (Y/n) kian menyesal. Menyesali keputusannya dan juga menyesali kebodohannya.

"(Y/n)."

Sebuah suara menginterupsi (Y/n) yang tengah menangis. Ia menengadahkan kepalanya untuk melihat wajah dari seseorang yang memanggilnya itu. Namun, bukannya merasa lega, justru perasaan tak senanglah yang menyelimutinya kala ia melihat wajah gadis di depannya.

(Y/n) mengusap air matanya kasar. "Ada apa?" tanyanya seraya bangkit berdiri. Menatap dingin ke arah Misa yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Misa tampak diam. Ia belum mengatakan apapun kepada (Y/n) yang sejak tadi menunggu perkatannya. Ketika (Y/n) berniat untuk pergi, Misa pun mencengkeram tangannya. Menahan (Y/n) untuk pergi dari sana.

"Maaf, (Y/n). Aku benar-benar minta maaf," ucap Misa menyesal.

(Y/n) pun berbalik dan menatap Misa yang tengah menunduk. "Untuk apa? Kau tidak salah apapun padaku."

Misa tampak ragu sesaat. Memikirkan cara yang tepat untuk mengatakannya pada gadis di hadapannya itu.

"Maaf karena..." Ia diam sejenak, menarik napas yang panjang lalu menghembuskannya, "karena ibukulah yang telah menabrak kakakmu."

***

"(Y/n)!"

Seruan itu tidak menghentikan (Y/n). Gadis itu sudah memantapkan hatinya. Tidak peduli dengan apapun yang akan menghalanginya.

"Jangan mengikutiku, Misa. Aku tidak butuh nasihat darimu," ujar (Y/n) ketus. Namun, Misa tetap memilih untuk mengikutinya.

Hingga akhirnya mereka tiba di atas rumah sakit. Di atas atap saat ini tidak terdapat orang lain selain mereka berdua. Angin yang cukup kencang menerpa tubuh mereka.

"(Y/n)! Apa yang kau akan lakukan?!" seru Misa panik bercampur terkejut kala ia melihat (Y/n) berdiri di atas dinding pembatas.

"Seharusnya ibumu menabrakku, Misa. Bukan kakakku. Seharusnya akulah yang terbaring di sana, bukan kakakku. Seharusnya sejak awal aku lebih baik seorang diri. Tanpa siapapun yang bisa menemaniku kala aku sedih maupun terpuruk. Benar, 'kan?" (Y/n) menatap nanar ke arah Misa yang berdiri di bawahnya.

"Jangan lakukan itu, (Y/n). Kumohon! Aku, aku meminta maaf sebagai perwakilan dari ibuku karena telah menabrak kakakmu. Kumohon, jangan pernah berpikiran untuk melakukan hal itu!" seru Misa yang tampak tak digubris oleh (Y/n).

(Y/n) tampak diam. Lebih tepatnya ia memilih untuk diam. Membiarkan Misa yang lebih waspada berjaga-jaga jika (Y/n) benar-benar akan melompat dari sana. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran (Y/n). Benar-benar tidak tahu. Toh mereka juga tak saling kenal karena Misa selalu menganggap (Y/n) sebagai rival-nya di sekolah. Alhasil, pikirannya tentang gadis itu hanya berupa bagaimana caranya merebut peringkat pertama paralel yang diraih oleh (Y/n).

Ya, itu awalnya. Namun, ketika Misa tahu (Y/n) bekerja di kafe bahkan ketika masa hukumannya berlangsung seketika membuat Misa merasa iba. Ia yakin rasa iba itu akan ditolak mentah-mentah oleh (Y/n). Terlebih gadis itu memiliki harga diri yang tinggi. Namun, Misa tetap akan mencoba. Sesulit apapun itu. Sama seperti ketika ia mencoba meraih peringkat pertama paralel.

Lalu, kejadian itu pun terjadi dalam satu kedipan mata. (Y/n) telah membiarkan dirinya jatuh bebas ke bawah, mengikuti arah gaya gravitasi bumi. Atau setidaknya seharusnya begitu. Namun, sayangnya tidak. Sebuah tangan menjulur ke arahnya. Menahan tubuhnya jatuh dari sana dan mencegahnya mati.

"Mengapa kau mencegahku, Misa?" tanya (Y/n) dengan tatapannya yang datar tertuju pada Misa. Gadis itu sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Misa. Mereka tidak saling kenal. Bahkan (Y/n) yakin Misa pun menganggap dirinya sebagai saingan yang harus ia kalahkan. Berbeda dengan gadis itu yang justru menganggap Misa tak ada di kelas mereka.

"Jangan lakukan itu, (Y/n). Kumohon!" pinta Misa dengan air mata yang perlahan mengalir.

"Mengapa?" Sebuah jawaban tiba-tiba terbesit di dalam pikiran (Y/n). "Ah, pasti karena perintah Sensei ya? Beliau menyuruh kita untuk menjadi teman setelah masa hukuman kita habis. Apakah kau merasa takut akan dihukum karena tidak dapat melaksanakan perintahnya?"

Namun, Misa justru menggeleng. "Bukan, bukan itu maksudku! Jangan berkata seperti itu, (Y/n)! Aku benar-benar tulus ingin berteman denganmu! Dari lubuk hatiku yang paling dalam!"

Seketika (Y/n) tertegun dengan perkataan Misa. Ini adalah kedua kalinya ia mendengar kalimat yang dapat menyentuh hatinya serta membuka pikirannya. Yang pertama adalah ketika Chifuyu menguatkannya dengan kata-kata lelaki itu kala mereka kehilangan kedua orang tua mereka.

Mengingat tentang Chifuyu, sebuah ide terbesit di dalam kepala (Y/n). Ia menatap Misa dengan lamat-lamat. Menunjukan keseriusannya saat ini.

"Jika kau adalah temanku, maukah kau melakukan suatu hal untukku, Misa?" mohon (Y/n) yang langsung segera diangguki oleh kepala Misa.

(Y/n) diam sejenak. Menatap lurus pada Misa yang menunggu jawabannya.

"Bunuh aku."

***

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Chifuyu MatsunoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang