Lembar Pertama

1.7K 281 70
                                    

Sejak tadi pagi, (Y/n) sudah menyibukkan dirinya dengan kesibukan di dapur; membuat sarapan. Hal itu sudah menjadi rutinitas yang ia lalukan setiap hari dan setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Menyiapkan sarapan sederhana untuk dirinya dan kakak laki-lakinya, Chifuyu.

Baru saja (Y/n) memikirkan kakaknya itu, suara bariton miliknya sudah menyapa lebih dahulu.

"Ohayou, (Y/n)."

"Ohayou..." balas (Y/n) enggan.

Menyadari ada kejanggalan dalam sapaan (Y/n), Chifuyu pun bertanya, "Ada apa, (Y/n)?"

Kontan (Y/n) berbalik dan segera menjawab, "Tidak, bukan apa-apa." Lalu, ia membalikkan tubuhnya lagi.

"Ini sarapanmu. Aku bersiap ke sekolah dahulu," ujar (Y/n) cepat.

"Kau tidak ingin diantar denganku?" tanya Chifuyu sambil berharap (Y/n) mengiyakan tawarannya.

Namun, (Y/n) justru menggeleng. Membuat harapan Chifuyu lenyap seketika dan digantikan dengan keheningan yang melanda kala gadis itu pergi dengan tergesa-gesa. Meninggalkan Chifuyu yang diselimuti keheranan tentang perubahan sikap adiknya beberapa hari belakangan ini.

***

Selalu. Selalu seperti itu yang (Y/n) lakukan setiap pagi ketika ia bertemu dengan kakaknya, Chifuyu. Gadis itu selalu menghindarinya. Menjaga jarak dengan lelaki itu meskipun sebenarnya ia sendiri tidak ingin. Hanya saja, sebuah pemikiran lain yang mendadak muncul telah menutup mata dan pikirannya serta membuat dirinya yakin jika hal ini adalah yang terbaik bagi dirinya dan Chifuyu.

(Y/n) tidak ingin terlalu mengandalkan Chifuyu dan ia juga tidak ingin lelaki itu terlalu mengandalkannya. Bukan karena (Y/n) membencinya, melainkan karena gadis itu yakin jika keberadaannya saat ini menjadi sebuah penghalang bagi kakaknya itu.

Selama ini, Chifuyu selalu ada untuknya. Di saat (Y/n) terpuruk, Chifuyu ada di sana. Bahkan di saat ketika kedua orang tua mereka meninggal di saat yang bersamaan, kakaknya itu pun ada di sana. Memberikan (Y/n) kekuatan meskipun saat itu dirinya juga tengah terluka.

Seharusnya (Y/n) merasa bersyukur memiliki seorang kakak laki-laki yang amat baik seperti Chifuyu. Namun, bukannya pemikiran seperti itu yang muncul di dalam kepalanya, melainkan ia merasa dirinya menjadi beban bagi Chifuyu. Menjadi penghalang bagi lelaki itu.

"Matsuno-san?"

Merasa namanya dipanggil, (Y/n) sontak menjawab, "Hai, Sensei?"

"Apakah kau bisa menjawab pertanyaan ini?" tanya Sensei-nya itu.

(Y/n) pun mengangguk. Ia sudah sangat hafal tentang materi limit fungsi. Sudah berpuluh-puluh soal tentang materi itu ia kerjakan.

Langkah kaki (Y/n) berhenti tepat di depan papan tulis. Ia mengambil sebuah spidol dan mulai mengerjakan soal tentang limit fungsi itu dengan mudah. Bahkan mungkin gadis itu bisa mengerjakannya sambil menutup mata rapat. Tidak aneh jika (Y/n) meraih peringkat pertama paralel di sekolahnya.

"Sudah, Sensei," ucap (Y/n) tepat ketika ia menulis angka terakhir di papan tulis.

"Terima kasih, Matsuno-san."

Setelah itu, (Y/n) kembali duduk ke kursinya. Mengabaikan penjelasan Sensei-nya dan menatap ke luar jendela. Tepatnya ke arah burung-burung di angkasa yang tampak tengah terbang dengan bebas.

***

"Mengapa kau menyanggupi pertanyaan Sensei tadi pagi?"

Pertanyaan yang diselipi dengan rasa kesal serta amarah itu menyeruak masuk ke dalam telinga (Y/n). Yang ditanya menatap si penanya balik.

"Kau memanggilku ke sini hanya untuk menanyakan itu?" (Y/n) menaikkan sebelah alisnya. Ia rasa ia sudah tahu ke mana arah perbincangan ini berlanjut.

"Jawab saja pertanyaanku!" jerit Misa.

"Karena aku bisa menjawabnya dan tahu apa jawabannya," sahut (Y/n) enteng.

Misa, gadis bersurai panjang yang tengah berdiri di hadapan (Y/n) itu terlihat semakin tampak kesal.

"Kau itu selalu saja menghalangiku untuk mendapatkan peringkat pertama paralel. Mengapa? Mengapa kau selalu melakukan itu, (Y/n)?! Karena kau, ibuku selalu marah padaku karena mempunyai anak sepertiku!" cecarnya dengan tatapan nanar yang tertuju pada (Y/n).

(Y/n) tampak diam sejenak sebelum ia berkata, "Bukan salahku jika ibumu selalu marah kepadamu. Itu salahmu sendiri karena usahamu yang kurang. Kau memang bisa mengatakannya dengan mudah dan melampiaskan semuanya padaku. Namun, kau pun tidak tahu bagaimana usahaku selama ini, 'kan?"

Misa menggeram. Rahangnya mengatup dengan erat karena apa yang dikatakan oleh (Y/n) ada benarnya. Ia kesal. Ia kesal kepada dirinya sendiri juga kesal kepada gadis yang berdiri di hadapannya itu.

Tanpa disadarinya terlebih dahulu, Misa sudah lebih dulu menarik rambut sebahu milik (Y/n). Padahal gadis itu sudah memotong rambutnya hingga pendek sebahu agar tidak bisa ditarik ataupun dijambak. Jika ingin ribut, lebih baik ribut dengan saling hajar daripada saling menjambak rambut. Begitulah prinsipnya.

Tidak semudah itu (Y/n) menyerah dan membiarkan Misa menarik rambutnya hingga beberapa helai rambutnya putus dan menyisakan nyeri di beberapa titik. (Y/n) menarik tangan Misa yang masih menjambak rambutnya lalu ia menarik tangan Misa ke balik punggungnya sehingga mengunci pergerakan Misa dalam kurun waktu yang singkat. Kemudian, gadis itu menjatuhkan Misa ke atas permukaan tanah dan duduk di atas punggungnya.

"Cukup! Hentikan kalian berdua!"

Seruan itu membuat (Y/n) melepaskan kunciannya pada tubuh Misa. Seorang Sensei datang dan menghampiri mereka. Kemudian melerai mereka berdua.

Karena kedatangan Sensei itu, (Y/n) pun tahu satu hal; kini masalahnya kian bertambah rumit.

***

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Chifuyu MatsunoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang