Bagian 1: Aaroon

8 0 0
                                    

Musim Panas Pertama

Siang sengit pada hari itu. Aku menenteng koper berwarna hitam ku bersama dengan tas ransel ku yang telah aku pakai selama bertahun-tahun dari masa perantauan pertama ku. Sekarang, aku telah sampai di tanah perantauan yang selanjutnya. Sebuah tempat menjadi yang imajinasi setiap umat manusia yang ada di muka bumi. Sebuah tempat "pelarian" yang telah aku impikan selama 7 tahun. Sebuah tempat yang telah membantu ku berjalan diatas tumpukkan duri dan api. Tempat dimana daun berwarna merah muda berjatuhan bersama dengan ribuan air mata yang berjatuhan setiap kali melihatnya.

Jepang. Ya. Jepang. Sebuah tempat yang memiliki julukan "Negeri Sakura". Tempat yang menjadi berbagai macam mimpi dan impian semua orang.

"Apakah disini ada tempat yang bisa saya tinggali" Wili bertanya.

Kakek tua itu menjawab "Tidak anak muda, tempat ini sudah penuh"

Berjalan bersama koper dan tas rensal yang besar membuat aku kelelahan.

Akhirnya. Aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah toko bunga. Toko bunga tersebut sudah terlihat bersejarah apabila dilihat dari interiornya yang masih berkayu. Hampir semua lantai dan dinding disana berkayu. Disana, terdapat seorang nenek tua.

Nenek tua itu seketika bertanya "Anak muda, maukah kau masuk kedalam sebentar dan meminum teh dingin bersama ku"

Segan rasanya. Namun, dikarenakan aku merasakan kehangatan dan kenyamanan dari seorang tua tersebut, akhirnya aku memutusukan untuk ikut bersamanya ke dalam.

Sejuk. Kata yang pertama kali terucap di hati. Bunga mawar yang merah menyala menandakan tanda cinta. Bunga melati yang melambangkan keanggunan. Bunga anyelir yang memiliki warna yang dapat tercium hingga masuk ke saraf-saraf tubuh. Tubuh seketika merasakan kenyamanan yang tiada henti. Selama 20 menit mencari tempat untuk ditinggali, merasakan gejala penyakit yang sering timbul pada musim panas. Kepanasan.

Disuguhkan lah sebuah teh manis dingin dengan rasa yang hampir sama dengan minuman yang selalu aku beli selepas aku makan di pinggir jalan tempat dimana aku biasa menghibur diri.

"Apakah kamu bukan berasal dari negara ini?" Tanya nenek tua tersebut.

"Iya" Jawab aku dengan nada yang sengaja ku poleskan.

"Apakah kau mencari tempat tinggal nak?" Beliau bertanya kembali.

"Iya" Jawab ku kembali.

"Ikutlah dengan ku nak" Nenek tua tersebut seketika menarik tangan ku. Bingung. Itu lah yang datang pertama kali ke benakku. "Mau dibawa kemana aku?". Aku yang baru tinggal di negeri orang selama satu setengah jam, hal tersebut membuatku bingung.

"Apakah aku akan disakiti?"

"Apakah aku akan dimarahi?"

"Apakah aku akan ditipu?"

Banyak sekali pertanyaan yang datang ke kepalaku. Akhirnya, aku dibawa menaiki tangga yang bisa dibilang cukup berbahaya. Tangga tersebut terbuat dari besi yang sudah cukup berkarat. Aku dibawa mengintari 10 kamar. Aku dibawa ke kamar nomer 10 yang di terletak paling ujung.

Dibuka pintu tersebut. Gelap. Berdebu. Berkayu. Hal-hal tersebut yang datang menemani isi kepala dan hati ku. Kamar itu hampir semua bagian terbuat dari kayu. Dinding, lantai, lemari, hingga langit-langit yang terbuat dari kayu. Kayu-kayu tersebut masih terlihat kuat. Kokoh.

"Sudah lebih dari 10 tahun tidak ada yang menempati kamar ini, maukkah kau tinggal di sini"?

Penawaran menarik. Aku mulai memperhatikan setiap sudut di kamar ini. Apakah kamar ini bisa menjadi sebuah istana kecil yang akan membantu ku melawati segala hal kedepannya. Bisakah tempat ini menjadi teman baikku dikala aku ingin menangis, bahagia, bingung, dan tertawa. Bisakah menjadi penyejuk dikala negara ini sedang mengeluarkan hawa panas Bisakah menjadi penghangat dikala hati negara ini sedang dingin.

Hati kecil ku berkata. "Perfect".

"Aku ambil tempat ini nek" Jawab ku dengan penuh keyakinan.

Nenek tua itu tersenyum. Senyumnya penuh dengan makna. Aku bisa merasakan berbagai macam rasa dari senyum itu.

**

Suara mesin penghisap debu yang menggelegar memecah malam hari yang hening. Debu berterbangan seperti anai-anai di udara. Air membasahi lantai. Berkilauan. Segar rasanya, menghirup wangi lavender yang kudapatkan dari Nenek tua tersebut.

Dalam kamar itu, hal yang menjadi singgahsana kecil ku ialah jendela kecil yang memiliki tempat untukku bersantai. Keheningan malam mulai menyelimuti. Sebagian besar waktu malam ku habiskan disinggahsana ku ditemani oleh air putih hangat.

Menghangatkan.

Menenangkan.

Sendiri.

Namun, kesendirian mengingatkan ku akan kesalahan. Dosa. Masa lalu. Bertahun-tahun, hati dan pikiran tidak pernah berhenti berlari dari hal itu. Mata tidak bisa lagi menampung air mata. Hal yang aku pelajari dari selama aku hidup, bahwa laki-laki boleh menangis. Laki-laki boleh lemah.

Aku manusia. Manusia pendosa. Berbuat salah tidak apa-apa. Itu adalah rahasia kecil ku dengan tuhan.

KEBENARAN IMAJINASIWhere stories live. Discover now