Lembar Terakhir

1.3K 255 42
                                    

Jantung (Y/n) berdetak sangat kencang. Pasalnya, hari ini merupakan hari yang paling tidak ditunggu oleh (Y/n). Hari yang merupakan topik pikirannya sejak beberapa hari yang lalu. Bahkan, ketika hari itu telah tiba, (Y/n) masih tidak bisa mengondisikan jantungnya agar tetap berdetak dengan normal. Justru jantungnya berdetak semakin menggila kala ayahnya keluar dari ruang kelasnya.

(Y/n) tidak menanyakan apapun kepada ayahnya pasal nilai rapornya selama setengah semester ini. Yang menjadi masalahnya bukanlah raut wajah ayahnya saat ini, melainkan reaksi yang akan ditunjukan oleh pria paruh baya itu ketika mereka tiba di rumah.

Kaki kiri (Y/n) melangkah masuk ke dalam mobil sebelum ia menutup pintu mobil dengan rapat. Di kursi penumpang depan, Manjirou tampak duduk di sana dengan tenang. Sementara, ayah mereka menyetir di balik kemudi. Keheningan seketika menyelimuti mereka bak awan hitam yang mendadak menghiasi cakrawala hari ini.

Sejak tadi, (Y/n) tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Tangannya saling memilin sejak tadi. Keringat dingin pun sudah mengalir di dahinya dan di tangannya akibat dari ia terus-menerus memainkan tangannya.

Hingga akhirnya mereka pun tiba di rumah. Bangunan yang selama ini sudah melindungi (Y/n) dari hujan dan panasnya matahari selama lima belas tahun, kini tampak menyeramkan dari luar. Mungkin saja itu hanya karena pandangan (Y/n) yang berlebihan.

Bahu gadis itu ditepuk dari belakang. Ia sontak menoleh. Manik hitamnya bersitatap dengan manik hitam milik Manjirou kemudian. Seolah memberikan kekuatan kepada sang adik, Manjirou pun melemparkan senyuman menenangkan. Ia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka hanya akan tahu ketika mereka masuk ke dalam dan bertemu dengan ayah mereka di sana.

"Tenang saja, (Y/n). Ada aku di sini."

(Y/n) mengangguk seraya mencoba untuk tersenyum. Berusaha menunjukan keberaniannya di depan sang kakak. Namun, senyuman itu justru terlihat sangat dipaksakan dan berakhir tidak enak dilihat. Manjirou tersenyum maklum dan terus menenangkan adik perempuannya itu.

"Ayo kita masuk," ajak Manjirou. Ia pun melangkah masuk lebih dahulu sembari menggenggam erat jari-jemari (Y/n). Memberikan kekuatan tak kasat mata yang hanya bisa dirasakan oleh sang adik.

Ketika mereka tiba di dalam, ayah mereka telah duduk menunggu di ruang keluarga. Pria itu duduk di sofa dan menunggu kedua anaknya ikut duduk di hadapannya.

"Nilaimu masih belum memuaskan, (Y/n)."

Perkataan pembuka itu telah memunculkan pikiran-pikiran negatif di dalam kepala (Y/n). Genggaman tangannya dengan tangan Manjirou sontak mengerat. Seolah meminta untuk diberikan kekuatan yang lebih agar ia bisa bertahan hingga akhir.

"Bukankah Tou-san sudah berkata padamu sebelumnya? Yang Tou-san inginkan adalah nilai seratus, bukan sembilan puluh. Kau juga menjawab akan berusaha lebih, 'kan?" cecar ayahnya.

Sementara (Y/n) hanya bisa menatap nanar nilai rapor yang tergeletak di atas meja di hadapannya. Hasil perjuangan selama setengah semester miliknya.

"Tou-san tidak membutuhkan perkataan atau janjimu saja, melainkan sebuah bukti konkret yang bisa dilihat secara langsung. Kau seharusnya sudah tahu tentang itu, (Y/n)." Pria itu menghela napas. Ia merasa lelah karena selama ini (Y/n) hanya terus berjanji, berjanji, dan berjanji. Tidak ada usaha yang anak perempuannya itu lakukan.

"Cukup, Tou-san."

Sebuah suara menginterupsi percakapan mereka. Sebelumnya, Manjirou hendak membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu. Namun, tindakannya itu terhenti ketika ia melihat Shinichiro berdiri di sana lengkap dengan pakaiannya yang rapi. Menandakan ia baru saja kembali dari kantornya.

"Mengapa kau sudah pulang, Shinichirou?" tanya ayahnya heran.

"Aku pulang lebih cepat hanya untuk melihat hasil perjuangan adik-adikku selama ini. Bukan untuk mencaci maki mereka kala mereka telah berusaha hingga detik-detik terakhir sebelum ujian," jawab Shinichiro tenang.

"Dari mana kau tahu jika selama ini mereka sudah berusaha? Selama ini, kau selalu pulang ketika hari telah larut malam. Tidak mungkin kau bisa melihat bentuk perjuangan mereka secara langsung, Shinichiro," balas ayahnya.

Shinichiro menghela napas. Inilah alasan lain mengapa ia malas bertengkar dengan ayahnya. Dikarenakan pekerjaan ayahnya yang merupakan seorang pengacara, tentu ia memiliki segudang jawaban untuk membuat Shinichiro kalah telak. Ditambah dengan sifat tidak mau kalah milik pria itu membuat Shinichiro merasa ia akan sulit untuk menang ketika tengah berargumentasi.

"Aku memang tidak melihatnya. Namun, aku percaya pada mereka. Aku percaya dengan kedua adikku sendiri jika selama ini mereka juga telah berjuang. Bukan berjuang demi aku ataupun Tou-san, melainkan untuk diri mereka sendiri."

Pada detik yang bersamaan, tangis (Y/n) pun pecah. Mengagetkan Manjirou dan Shinichiro saat itu juga. Manjirou sontak memeluk tubuh (Y/n). Membiarkan gadis itu menangis di dekapannya dan melemparkan tatapan penuh terima kasih kepada kakaknya.

***

"Sebenarnya, ada alasan mengapa Tou-san selalu menuntut kalian untuk menjadi yang sempurna," ujar ayah mereka ketika keadaan mulai tenang. (Y/n) pun sudah berhenti menangis meskipun ia masih waspada jika ayahnya akan kembali memarahinya.

"Ketika Tou-san masih bersama dengan ibu kalian, sama sekali tidak pernah Tou-san pikirkan jika kami akan berpisah. Tidak pernah sekalipun." Ia diam sejenak. Membiarkan anak-anaknya mencerna perkataannya.

"Suatu ketika, keadaan perlahan mulai memburuk. Tidak ada yang mengetahui kapan dimulainya, semuanya terjadi secara tiba-tiba. Seolah-olah pernikahan dua puluh enam tahun yang kami jalani baru saja terjadi kemarin. Tidak tahu siapa yang memulai, namun masing-masing dari kami memutuskan untuk berpisah."

(Y/n) mendengarkan dengan saksama. Tidak jauh berbeda dengan Manjirou dan Shinichiro. Mereka bertiga memang ingin mengetahui fakta di balik perceraian orang tua mereka. Ketika cincin pernikahan mereka dilepaskan dan dibiarkan diselimuti oleh debu.

"Tou-san merasa penyebab perpisahan kami adalah salah Tou-san. Karena Tou-san belum sempurna untuk menjadi seorang suami dan seorang ayah. Maka dari itu, Tou-san selalu menuntut kesempurnaan pada kalian agar kalian tidak menjadi orang yang sama seperti Tou-san."

Ia diam sejenak. Mengumpulkan keberaniannya yang tercerai-berai sebelum menatap anaknya satu per satu. Tatapannya behenti pada (Y/n). "Maafkan Tou-san atas apa yang telah Tou-san lakukan pada kalian selama ini. Maaf karena selalu memaksa kalian melakukan apa yang dianggap sempurna oleh Tou-san. Maafkan, Tou-san..."

Air mata sontak mengalir dari kedua pelupuk mata (Y/n). Tanpa ragu, ia langsung menghambur memeluk ayahnya. Membiarkan tangisnya pecah di saat yang bersamaan.

"Tidak ada manusia yang sempurna, Tou-san. Maka dari itu, Tuhan menciptakan manusia lain untuk menutupi kekurangan kita. Benar, 'kan?" ujar Shinichiro pelan seraya tersenyum. Ia ikut memeluk ayahnya setelah (Y/n) dan Manjirou.

Mau bagaimanapun, pria itu tetaplah ayah mereka. Seseorang yang pasti akan selalu menjadi ayah mereka, kapanpun dan di manapun.

Benar, bukan?

***

Masih ada Epilog ya minna(✿❛◡❛)

END ━━ # . 'Hi, Brother! ✧ Sano Manjirou a.k.a. MikeyWhere stories live. Discover now