VI : Krisis

6 1 0
                                    

Setelah memasuki bangunan yang adalah rumahnya, Kayn berjalan dengan cepat menuju kamar, bahkan dia mengabaikan para pelayan dan kakaknya yang menyapa, langsung mengunci pintu begitu sampai. Dia berjalan menuju balkon hanya untuk merenung dan menghela napas berat menghadapi masalah yang baru saja dia perbuat.

Malam ini masih tenang, tapi tidak ada yang menjamin besok masih akan sama. Sementara itu, Verze yang telah menghapal letak kamar Kayn, beranjak untuk mengelilingi bangunan besar ini, secara bertahap mulai mengumpulkan informasi mengenai orang-orang yang memiliki kuasa atau pangkat yang tinggi.

Keesokan harinya, peristiwa mengenai penyakit yang tidak diketahui sudah muncul di kalangan masyarakat, tentu itu berasal dari kecelakaan kemarin, tapi tidak ada yang tahu mengenai itu kecuali Kayn dan Leina. Tabib kerajaan turun tangan untuk melihat, namun menjelang tengah hari, dia justru ikut terkena penyakit yang tidak diketahui itu. Kejadiannya membuat banyak warga geger, bahkan menjauh dari orang yang terkena penyakit.

Itu adalah seorang pemuda yang menularkan penyakit tidak diketahui pada tabib kerajaan. Awalnya dia mengeluh sakit di seluruh tubuhnya, namun beberapa jam setelahnya ruam ungu terbentuk di tubuhnya dan mulai menghitam secara perlahan. Kini kerajaan tengah mencari tabib lain untuk mengobati pemuda itu dan tabib kerajaan supaya tidak menyebar ke banyak orang. Kayn yang mendengar berita itu bergegas keluar kamar, ingin bertemu Leina.

"Kayn, kamu mau kemana?" Seorang wanita dengan gaun ungu dan kipas yang menutupi mulutnya mencegat Kayn tepat setelah dia keluar dari kamar.

"Keluar," kata Kayn singkat.

"Kamu tidak bisa."

"Tapi, Putri Grace-"

"Tidak bisakah kamu memanggilku kakak?" potong Putri Grace.

Kayn tidak menjawabnya, melainkan langsung masuk kembali ke kamarnya dengan bunyi 'brak' ketika menutup pintu. Putri Grace menghela napas lalu kembali berjalan dengan beberapa pelayan.

Setelah memastikan bahwa Putri Grace telah pergi dari depan kamarnya, Kayn segera membuka laci dan mengambil bola kecil yang terbuat dari kaca dengan asap biru gelap yang berputar di dalamnya. Dia memecahkan bola itu ke lantai, kemudian asap segera menelannya dengan cepat. Verze terkejut dan buru-buru memasuki asap tersebut.

Ketika dia kembali merasakan pijakan di bawah kaki, dia bergidik merasa belum terbiasa dengan teleportasi aneh ini. Sedangkan Kayn bergegas menuju ke gua, tempat Leina bermalam.

"Leina?" Ujar Kayn sambil berjalan ke dalam gua.

"Ya, disini."

"Ayo keluar, ini mengenai aku yang menimbulkan wabah itu," ucap Kayn dengan wajah bersalah.

Mereka berdua berjalan menuju tepi sungai dan duduk untuk membicarakan masalah yang tengah terjadi. Tidak perlu khawatir dengan orang yang menguping karena kawasan hutan ini terkenal dengan binatang buasnya yang berbahaya.

"Kamu sudah mendengar tentang wabah itu?"

Leina mengangguk dan merenung dalam diam, sementara Verze duduk di bawah pohon sambil memejamkan matanya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Tanya Kayn, nada cemas terdengar dari suaranya, seperti yang diharapkan, tentu saja dia tidak bisa menjadi tenang begitu saja ketika sebuah bencana terjadi karenanya.

Waktu telah dihabiskan begitu banyak, namun tidak ada dari mereka yang menemukan solusi untuk saat ini. Dan mereka kembali dengan lesu, tanpa menghasilkan apapun.

Hanya ketika Kayn sampai di halaman rumahnya, dia berhenti seakan melupakan sesuatu, namun itu bersamaan dengan seseorang yang berdiri di depannya.

"Kamu keluar." Jelas, perkataan itu tidak mengandung pertanyaan sama sekali, dan Kayn terdiam sejenak, sebelum kembali berjalan menuju kamarnya, mengacuhkan setiap orang yang menyapa seperti biasanya. Samar-samar dia bisa mendengar keributan di ruang makan, sangat disayangkan mereka tidak mendapat satupun perhatian dari Kayn untuk melihat apa yang terjadi.

Namun dibalik itu, suasana di ruang makan semakin memanas, bahkan terdengar suara membanting dari dentingan sendok dengan piring. Di meja makan yang panjang, makanan yang tadinya penuh telah berkurang sebagai tanda mereka telah memakan sebagian, seluruh orang yang duduk di sana mengenakan setelan formal dengan senyum tanpa arti, jelas tampak sangat palsu dan kehati-hatian tersembunyi di dalam mata mereka.

Seorang pelayan dari istana memasuki ruangan dan mengumumkan bahwa sang raja memanggil Ellis, yang adalah istri ke-lima nya dan ibu dari Kayn untuk mengunjungi istana segera.

Ellis yang mendengarnya terdiam sesaat sebelum mengundurkan diri dari ruang makan dan bersiap menuju istana. Sebenarnya dia sudah menduga hal ini, tepat dua tahun yang lalu ketika semua anggota di istana gempar dengan perubahan Kayn yang akhirnya diputuskan untuk tinggal terpisah dari istana. Ellis mengikuti anaknya untuk tinggal terpisah, dan sang raja enggan ketika mengetahui Ellis akan mengikuti anaknya, namun dia tidak mengatakan apapun. Setelah bersiap, Ellis pergi mengetuk pintu Kayn.

"Ibu, ada apa?" Kayn tidak terkejut melihat ibunya yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama.

"Bersiaplah, kita akan pergi ke istana," ucap Ellis dengan lembut.

"Aku tidak akan-"

"Ibu menunggumu di kereta." Ellis memotong perkataan Kayn, kemudian pergi dengan pelayannya.

Kayn menutup pintu dan berjalan menuju lemari pakaian untuk berganti, dia tidak bisa menolak lebih jauh pada ibunya yang merawatnya dengan 'baik' selama ini.

Hanya setelah sampai di istana kerajaan, Kayn mengepalkan kedua telapak tangannya, merasakan tekanan kuat ketika orang-orang memandangnya, dia memang sudah terbiasa, namun akan berbeda ketika berada di tempat yang membuatmu trauma sejak kecil.

Kayn dan ibunya berjalan dan memasuki aula kerajaan, yang mana telah duduk sang raja di tahtanya. Seorang pria paruh baya yang memiliki beberapa rambut putih di kepalanya, namun masih terpancar aura keagungannya. Ketika pertama kali melihat Ellis, sorot kerinduan terpancar di kedua matanya, dia bahkan baru menyadari kehadiran Kayn setelah mengucapkan salam.

"Kami menghadap yang mulia," ucap Kayn dan ibunya bersamaan sebagai salam.

"Ellis, kenapa kamu membawanya kemari?" tanya sang raja.

"Karena Kayn adalah putra saya, yang mulia."

Sang raja terdiam beberapa saat sebelum mengubah topik pembicaraan.
"Ellis, aku yakin kamu sudah mendengar tentang wabah yang menyebar baru-baru ini."

"Iya, yang mulia."

"Karena kamu adalah salah satu peracik ramuan terbaik di kerajaan, aku harap kamu bisa membantu kerajaan ini segera."

"Dengan senang hati, yang mulia."

Brak!

"Yang mulia! Tolong maafkan saya yang mulia! Saya tidak bersalah! Saya dijebak oleh perdana menteri, yang mulia! Mereka bekerja sama untuk menggulingkan anda yang mulia!" Seorang pria berteriak dan memohon ampun kepada sang raja dengan kedua tangan yang telah diikat rantai besi.

Kayn memperhatikan memar ungu yang terlihat dari lengan kanannya, sudah dipastikan seseorang telah menyiksanya sebelum membawanya kemari. Pengawal yang membawa pria itu menarik baju pria itu, menutupi memar yang terlihat beberapa saat lalu.

"Panggil kepala pengawal untuk menyelidikinya," ucap sang raja.

"Dia tidak bersalah," ucap Kayn.

"Siapa yang memberimu-"

"Bagaimanapun anda menyelidikinya, dia tidak bersalah." Kayn memotong perkataan sang raja dengan mata tegas.

"Panggil kepala pengawal."

Kayn membuang wajahnya, memilih untuk mengawasi pria yang dituduh. Semakin dia melihat, raut wajah pria itu semakin aneh, lalu Kayn melihat ruam ungu menyebar dengan cepat di tangannya.

"Tunggu, dia ...."

"Kamu terkena wabah itu, sialan." Pengawal yang membawa pria itu mengumpat dan menjauh dengan tergesa-gesa.

TBC
A/n : Btw, gimana chapter kali ini? Chapter selanjutnya akan memasuki puncak masalah bagian ini, so tunggu ya ....

Jangan lupa vote dan comment.

23/10/21
1116

Heir of TimeWhere stories live. Discover now