"Sumpah, mai. Sadar. Lo tu harus putus-"

"Tapi, ini suami saya." Mereka berlima kompak menempelkan tangannya di mulut mereka. Aku tertawa melihat reaksi mereka. Aufar yang sedari tadi hanya diam saja itu kini tersenyum miring.

"Su-su-suamii?! Gila Lo! Suami Lo ganteng bener! Boleh kenalan gak sih?" Kayla berteriak histeris. Kenapa dia harus mengucapkan kata "Ganteng" sih. Kepercayaan diri pria disampingku ini bisa meningkat.

"Gue Kayla. Kayla Kohl." Perempuan itu mengulurkan tangannya kepada Aufar untuk berkenalan. Aku menoleh kearah Aufar yang belum juga membalas uluran tangan Kayla.

Aufar melepaskan tangannya dari tanganku lalu menelungkup kan tangan didepan dadanya. "Arga." Katanya membuatku membulatkan mata.

Kejadian ini bisa dikategorikan keajaiban dunia ke 10 tidak, sih?. Kayla menjatuhkan tangannya lalu tersenyum kecut.

"Gue ke toilet dulu!" Pamit Kayla dengan wajah sedikit memerah, mungkin dia malu karena ukuran tangannya tertolak. Perempuan berambut pirang itu meninggalkanku diikuti dengan teman-temannya yang lain. Aku hanya tersenyum lalu menggeleng-gelengkan kepala.

"Daebak! Belajar dari mana, kamu, mas? Kok bisa kayak gitu?" Kataku lalu menggandeng lengan pria itu menuju tempat duduk yang sudah disediakan. Aufar tertawa.

"Dari kamu. Waktu first time kita ketemu." Jawabnya lalu tersenyum. Ya Allah, jantung saya lemah sekali! Kenapa ucapannya sangat manis seperti buah Varietas jeruk Dekopon.

"Bisa aja!" Aku memukul lengannya pelan.

"Lagian, bisa-bisanya mereka mengajakku kenalan didepan istriku sendiri. Mereka gak mikirin perasaan istriku apa?!" Omel Aufar lalu duduk di kursi itu. Acaranya sudah akan dimulai.

"Loh, memang dulu waktu sama Nanda gimana? Kamu gak mikirin perasaanku?" Tanyaku membuatnya tertawa.

"Udah ya, jangan sebut-sebut nama mantan. Gak baik." Katanya lalu mengelus kepalaku. Dasar pria. Mereka sering berlindung dengan kata-kata manis agar bisa mengalihkan pembicaraan.

***

"Lo- eh, kamu seneng?" Tanya Aufar ketika mobil sudah berjalan pulang. Aku mengangguk.

"Kamu tau, ini pertama kalinya aku ikut reunian. Dan yang bikin tambah seneng reuniannya bareng kamu." Jawabku membuatnya mencibir.

"Gak usah bohong."

"Loh, serius. Aku gak pernah bohong, mas. Kecuali kalau kepepet." Aku terkekeh membuatnya tersenyum tipis.

"Eh, Zay, aku mau nanya deh. Kenapa temen-temen kamu gak pake hijab? Bukannya mereka muslim?" Tanya Aufar membuatku sedikit terkejut. Pertanyaannya sungguh random.

"Karna mereka cantik." Jawabku terkekeh.

"Jangan bercanda. Sekali aja." Gerutu Aufar. "Loh, kan tadi Mas kamu yang bilang mereka cantik." Aku mendengus membuatnya tertawa keras.

"Iya, emang mereka cantik. Tapi, gini, cantik itu gak cuma dilihat dari wajah. Tapi juga jiwa. Setelah gue, eh aku kenal sama kamu, aku jadi tau bahwa sebenarnya kecantikan sejati seorang perempuan itu bukan terlihat dari wajahnya saja."

"Jadi maksudnya aku gak cantik?" Tanyaku mencoba menafsirkan kalimatnya.

"Lama-lama aku lempar juga ke kandang singa ya! Aku belum selesai ngomong, Zayna sayang!" Aku menepuk pundaknya membuatnya tertawa.

"Gak tau kenapa, ketika ngelihat perempuan yang cantik dari dalam tuh aura nya beda aja. Pernah gak sih, kamu ketemu perempuan yang mukanya biasa aja, tapi aura positif ya kuatt banget. Jadi aura cantiknya tu keluar walaupun wajahnya biasa aja?"

"Emm, pernah. Waktu ngaca." Kekehku membuatnya tertawa.

"Iya, makanya aku nanya, kenapa mereka gak berhijab, padahal mungkin kalau mereka berhijab, mereka bakalan lebih cantik." Kata Aufar membuatku tersenyum kagum. Bagaimana pemikiran-pemikiran tentang Islam pada pria itu bisa tumbuh begitu cepat.

"Sebenarnya, penggunaan hijab itu bukan sekedar mau cantik atau tidak, lho, mas."

"Iya, terlepas dari itu, bukannya dalam Islam wanita yang sudah baligh wajib berhijab?" Tanya Aufar membuatku mengangguk.

"Iya."

"Terus kenapa mereka gak berhijab?"

"Ya, kan, mungkin mereka butuh hidayah. Kan-"

"Tapi itu wajib, Zay. Iya, kan? Sesuatu hal yang wajib itu artinya harus!. Harus dilakukan, entah itu dengan hati yang terpaksa atau tidak. Gue bener,kan?" Aku mengangguk. Aku justru bingung bagaimana harus menjawabnya.

"Pusing gue lama-lama." Dia mengacak rambutnya.

"Yee, kamu yang nanya, kamu sendiri yang pusing!" Aku tertawa, pria itu lalu mengelus tanganku.

"Aku harap, kamu gak akan lepas jilbab sampai kapanpun. Kecuali dihadapanku."

"Yee, aku juga tau kali, mas. Aku udah berhijab selama 20 tahun. Ya masa mau dilepas." Aufar tertawa. Mobil itu melaju kencang menerobos jalanan yang sepi.

***

Alhamdulillah bisa up hari ini ❤️

Menurut kalian, hijab itu gimana, sih?
Mau tau dong pendapat versi kalian.

Makasih buat yang udah bacaaa <3

Jangan bosen-bosen yaa!!

Jangan lupa bersyukur hari ini ❤️

FARWhere stories live. Discover now