Prolog

53 16 17
                                    

Hah, pindah rumah selalu membuat gue deg-degan. Mulai dari persiapannya, pengerjaannya, sampai saat gue unpacking nantinya. Otak gue dipenuhi segala pemikiran nggak enak—apa bakal ada barang yang ketinggalan, apa bakal ada barang yang rusak dan jatuh di jalan, apa tetangga mungkin bakal kangen gue, tetangga baru gue nanti kira-kira berisik atau ngga—dan gue sejujurnya nggak suka akan hal itu.

Dan itu yang sedang terjadi sekarang.

"Ini udah semua, mbak?"

Gue menoleh kepada salah satu pekerja yang gue sewa untuk membantu proses pindahan ini dan mengangguk. "Iya pak, tinggal angkut aja."

Ya, long short story, gue berencana untuk pindah ke salah satu apartemen di pusat kota. Cukup mewah, bisa dibilang—untuk gue yang tinggal sendiri ini. Hasil gue ngekost selama bertahun-tahun dan rela nggak nonton konser Day6 bahkan sampai akhirnya mereka bisa tampil fullteam ber-5 di BSD dan gue tinggal ngesot aja ke sana.

Alasan utama pindah gue ini sebenernya ada banyak hal. Mulai dari kost gue yang cuma nyediain tempat parkir mobil untuk 2 orang—dan gue bukan salah satunya, sampai ada tetangga yang secara terang-terangan mau ngelamar gue dan jelasnya gue nggak mau. Gue bahkan nggak hapal nama lengkapnya, dan dia udah main ngelamar aja?

Kalau boleh jujur, gue memang tipe orang pemilih. Simple-nya, ya dalam hal apapun itu gue pemilih. Apalagi masalah cowok. Meskipun bokap nyokap gue udah koar-koar minta cucu kembar dari hasil pernikahan anak keduanya ini, gue masih santai untuk terus-terusan bilang "Kalau jodoh juga datang sendiri Ma, Pa." meskipun sejujurnya gue juga pusing masalah pasangan hidup. Gue bukannya nggak mau nikah dan menganut child-free—meskipun gue nggak begitu suka sama anak kecil—cuma emang sekarang tuh belum ada calonnya!

Di umur yang jelas sudah matang untuk menikah—27 tahun—nggak sedikit temen gue yang udah agak was-was. Takutnya gue jadi perawan tua. Cih, emang tau dari mana gue masih perawan?

Selain pemilih, gue juga nggak segampang itu jatuh cinta sama cowok. Beberapa cowok kantor yang ngajak gue dinner selepas pulang kerja pun ternyata nggak se-wah itu untuk membuat gue jatuh cinta.

For god's sake, tipe gue sebenernya nggak se-muluk-muluk itu kok. Nggak harus bertitelkan direktur utama atau anak yang punya firma hukum di ibukota ini—walaupun mungkin gue akan mempertimbangkan tebal dompetnya juga, sih. Tapi percaya nggak percaya, seumur hidup, rata-rata cowok yang beneran gue taksir terungkap udah punya pacar. Tall and handsome, young and rich. Ya, siapa juga yang nggak akan naksir? Justru aneh kalau misalkan dia nggak punya gandengan buat dipamerin kemana-mana. Dan tipe-tipe cowok kayak gitu, mana mau sama gue?

Kalau boleh jujur, gue bisa dideskripsikan sebagai cewek biasa-biasa aja. Wajah nggak cantik-cantik banget, tapi masih amat disayangkan kalau sampai dicap jelek. Gue lulus dari salah satu PTN dengan tepat waktu. Bukan yang terbaik, dan untungnya kebagian title cumlaude walaupun dengan IPK yang ngepas banget sebagai syaratnya.

"Lo di mana?" kataku pada seseorang di seberang telepon.

"Ini udah di jalan, kok. Ini apartemen yang belakang kantor lo itu, kan?"

"Iya." Dan setelah itu, panggilan diputus sepihak. Gue mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang barusan membantu kepindahan gue ini. Meskipun gue udah bayar mereka sesuai kontrak, gue tetap memberikan sebuah paper bag berisikan dua kardus roti bolu. Ya, ajaran nyokap gue yang suka ngasih tip tanpa terlihat ngasih tip.

Gue melihat tumpukan kardus di sekeliling apartemen ini. Lumayan juga kalau gue ngerjain semuanya sendirian. Untung gue punya temen yang cukup bisa membantu walaupun harus disogok dengan bayaran sate ayam dua porsi.

Sebenernya barang pindahan gue nggak sebanyak itu. Sebagian besar perabot penting udah pindah duluan beberapa hari sebelumnya, dan sebagian lagi memang milik gedung ini—kulkas, TV, serta dapur yang untungnya punya dishwasher jadi gue nggak perlu capek-capek cuci piring. Gue udah bilang kan, apartemen ini lumayan mewah? Satu-satunya barang besar yang gue beli sendiri dan baru mungkin adalah bean bag besar yang rencananya akan gue pajang di ruang tamu. Kayaknya bakal enak banget baca buku sambal minum kopi dan nikmatin pemandangan kota penuh asap ini dari lantai 14.

Gue membukakan pintu begitu mendengar suara bel pintu, dan akhirnya sahabat gue satu itu langsung masuk dan ber-wah sendiri. "Keren banget view-nya!" gue mengangguk-angguk setuju. Kebetulan gue mendapatkan unit pojok. Sehingga di area ruang tamu, dua dindingnya digantikan oleh kaca. Kamar gue pun langsung menghadap jalanan ibukota. Doain aja lantai unit ini cukup tinggi supaya gue nggak kelihatan naked waktu lagi admiring badan gue sendiri di cermin.

"Kita mulai dari mana?" kata Naura yang barusan melinting lengan kausnya. Gue mengangkat bahu, membuat sahabat gue itu langsung menghela napasnya. Setelah meminggirkan beberapa kardus kecil untuk membuat sebuah space di tengah ruang tamu, kita berdua akhirnya mulai membongkar salah satu kardus yang ternyata berisikan buku-buku gue.

"Anjir, lo masih nyimpen journal ini?" Naura membolak-balikkan buku dengan kertas recycle ala-ala itu di tangannya. Jujur, gue hampir lupa kalau punya buku itu. Seinget gue, itu masa-masa kuliah dulu. Di tengah kolotnya jiwa romance yang gue punya, gue inget banget menulis diary itu di tengah-tengah tangisan malam di kost sambal makan indomie rendang.

"Gue kira lo udah move on, Mey?"

Gue membuang napas dengan kasar dan mengambil alih buku reyot itu dari tangan Naura. Terlihat sebuah polaroid yang tertempel di sana, dengan gue dan cowok itu berangkulan erat seakan-akan nggak ada hari esok.

Karena emang nyatanya, hari esok itu hanya bertahan sementara untuk kita berdua. 

<><><><><>

To be continued...

Halo semuanyaaa!

Gimana nihh kesan pertama kalian ke Best Part? Jangan lupa vote dan comment kalian yang pastinya bakal bikin aku semangat bangeettt buat lanjut nulisnyaa, thank youuu <3

Best Part | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang