👋 Epilog 👋

Depuis le début
                                    

"Benar, semua paramedis juga setuju kalau Hanif dijuluki dokter bertangan dingin seperti daddynya." Devi menambahkan dengan apa yang dia ketahui di rumah sakit.

"Nah itu dia," sambung Zurra.

"Abang, memang berbeda dengan masnya."

"Lebih berbeda lagi anak bungsu mas Ibnu, Hawwaiz, dia melebihi Hafizh tengilnya namun jauh lebih serius dibanding Hanif saat dia harus membawa dirinya untuk serius." Zurra memberikan pendapatnya.

"Ngomong-ngomong masalah Hawwaiz kok aku jadi kepikiran dengan Fiza ya Mas." Devi seketika langsung teringat kepada putrinya yang seusia dengan Hawwaiz.

Zurra membelai kepala istrinya. Fiza memang telah memilih untuk berada di jalur kesamaan seperti mamanya, berada jauh dari keluarga untuk menuntut ilmu. Wajar jika setiap orang tua selalu kepikiran bagaimana keadaannya di tempat kost.

Dengan diam bukan berarti Zurra tidak merindukan putrinya, namun kembali lagi pada kepercayaan menjadi hal utama yang harus dia jaga. Putrinya telah menginjak dewasa, dia juga membutuhkan legitimate sama seperti halnya Zurra memberikan kepercayaannya kepada Hafizh,  kali ini pun dia mencoba untuk memberikan kepercayaan kepada putri tercintanya.

"Mas__, kok melamun?" tanya Devi.

Zurra kembali tersenyum, dan menjawab pertanyaan istrinya. "Allah mengabulkan semua doaku dengan menghadirkanmu untuk melengkapkan bukan hanya setengah imanku namun juga melengkapkan hidupku. Terima kasih telah bersedia mendampingiku, bersabar dengan semua kekuranganku dan terlebih telah ikhlas ikut merawat kedua orang tuaku."

"Mas__" Devi mulai terharu mendengar pengakuan dari hati terdalam yang Zurra kemukakan.

"Fiza, gadis kita sudah memilih jalannya. Kita pasti selalu merindukannya namun aku juga harus mempersiapkan hati Sayang, layaknya dirimu yang kini berbakti kepadaku sebagai suami, Fiza kelak juga akan sepertimu. Itu sebabnya aku memberikan sepenuhnya rasa percaya ini kepadanya walau tetap juga harus dikontrol perkembangannya."

"Ya Allah, Mas. Secepat itukah perjalanan hidup kita. Rasanya baru kemarin aku menggendongnya. Kini sudah harus mempersiapkan hati untuk masa depannya."

"Sama, bagi kita dia tetaplah putri kecil yang selalu kita sayangi. Tapi sekali lagi, makhluk hidup itu memang telah diqodar untuk tumbuh dan Fiza bukan lagi sebagai anak kecil yang harus selalu kita larang. Berikanlah kebebasan kepadanya, namun tetap kita arahkan bagaimana baiknya."

"Ya Allah, mengapa aku melupakan itu. Apa itu artinya kita sudah pantas untuk dipanggil tua?"

"Ya enggaklah, nggak ada yang memanggil kita tua. Sampai nanti orang lain akan memanggilmu bu Devi, bu Zurra, mama Fiza, mama Jabbar, atau dokter Devi. Tidak akan ada yang memanggil bu tua." Zurra tertawa lirih sedangkan Devi memukul Zurra perlahan.

"Ya bukan begitu maksudku, Mas."

"Sayang, dengarkan aku." Kini Zurra dan Devi saling duduk berhadapan di petiduran mereka. "Menua itu sebuah kepastian, namun kedewasaan merupakan pilihan. Kita menua dengan cara mendewasakan diri atau menua tanpa pendewasaan."

"Ih suamiku emang terdebes."

"Iya dong, siapa dulu istrinya," jawab Zurra.

"Deviani Ristanti."

"Betul," Zurra mencium singkat kening Devi lalu mengajaknya untuk segera merebahkan diri ke peraduan.

Jujur, terbuka, komunikasi, kepercayaan, cinta, dan kasih sayang, bumbu lengkap dalam sebuah rumah tangga. Zurra dan Devi memang bukan pasangan yang sempurna namun mereka selalu berusaha untuk membuatnya sempurna. Setidaknya untuk selalu membuat pasangan kita menjadi nyaman dan menciptakan suasana yang menyenangkan dalam keluarga.

Mengesampingkan ego serta menghormati komitmen bersama untuk jangka panjang.

3 tahun berikutnya

Rasanya masih sama seperti ketika dulu pertama kali Zurra mendekap putrinya. Kini Nafiza telah bersiap untuk menghadiri pengukuhan profesi kedokteran dan pengambilan sumpah dokternya.

"Pa, aku ingin mengenalkan seseorang kepada papa dan mama." Fiza membuka percakapan sebelum akhirnya dia memasuki auditorium FK universitas tempatnya menuntut ilmu.

'Mungkin ini waktu yang tepat,' batin Zurra. Dan tidak meleset dari perkiraannya. Seorang laki-laki muda tampil dengan percaya diri dengan pakaian formal yang dikenakannya berjalan mendekat ke arah mereka. Satu senyum simpul dan rona pipi bersemu merah muda telah menunjukkan seberapa penting laki-laki itu bagi seorang Nafiza.

"Pa__"

"Jadi putri papa sudah dewasa?"

"Selamat pagi, Om, Tante." Zurra tersenyum menyambut uluran tangan laki-laki muda yang ada di hadapannya sementara Devi juga seketika langsung memeluk putrinya.

"Jadi__?"

"Papa__"

"Mama ketinggalan cerita ini?" Devi tersenyum ramah.

Acara yang harus diikuti Nafiza berlangsung khidmat, setelah dua jam berlalu kini semua berkumpul di sebuah restoran khas jawa timur. Membicarakan tentang cita-cita Nafiza dan juga tentang inginnya Jabbar kelak.

Bukan pembicaraan berat namun cukup memberikan arti bahwa dalam suatu keluarga perlu adanya kerukunan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Rasanya tidak ada kebahagiaan lain yang ingin Zurra katakan selain bahagia memiliki mereka. Menjadi bagian paling utama untuk membawa mereka semua dalam kebenaran.

"Mama, Kak Fiza dan Dik Jabbar, papa bukanlah seorang suami atau ayah yang sempurna bagi kalian. Namun sampai detik ini, papa selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian semuanya. Terima kasih telah melengkapkan kehidupan papa hingga tidak ada kata lain yang papa kenal jika bersama kalian kecuali bahagia."

"Pa,"

"Papa,"

"Papa," suara Devi, Fiza dan Jabbar terdengar bersamaan. "Papa adalah yang terbaik untuk kami, papa superhero kami, papa segalanya untuk kami. Kami yang harusnya berterima kasih kepada papa dan mama. Kalian berdua selalu menjadi kebanggaan kami atas segala hal." Jabbar menjawabnya dengan penuh bangga.

"Benar kata adik, Pa. Papa yang terbaik untuk kami." Nafiza mengulanginya, Devi hanya mengangguk dan mengusap punggung telapak tangan suaminya.

"Kakak, sudah menjadi dokter sekarang. Belajar banyak dari mama, aunty Aira, mas Hanif dan juga pakdhe Ibnu ya." Nafiza mengangguk. Ada PR besar yang harus diselesaikan Zurra dalam waktu dekat. Namun dia percaya bahwa setiap permasalahan selalu ada jalan keluarnya.

Kebersamaan keluarga menjadi sempurna, manakala senyuman tiap orang di dalamnya penuh dengan keikhlasan dan saling menyayangi. Percayalah kesuksesan itu tidak selamanya berkenaan dengan materi, namun yang terpenting adalah bermanfaatnya kita bagi orang lain, terutama keluarga.

-- the end --

🍃 ___🍃
Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama
🙇‍♀️🙇‍♀️
Jazakhumullah khair
🍃 ___ 🍃

sorry for typo
Blitar, 23 Juli 2021


Finish :
Lambaikan tangan kalian, "kok tiba-tiba sih?" masih kurang? Yuk kita lanjutkan di RECTIFIER, Badzlin Nafiza Zaffran bersama hidup dan cintanya. Sudah di publish, yang belum baca silakan berkunjung 😍😍

 Sudah di publish, yang belum baca silakan berkunjung 😍😍

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.
LELAKI TERHEBAT [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant