s e m b i l a n

913 76 7
                                    

s  e  m  b  i  l  a  n

______________

"Makasih ya," ucap Ravel sambil mengusap puncak kepalaku dengan sayang.

"Buat apa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Karena kamu mau kasih aku kesempatan buat selalu ada di sampingmu." ucapnya sambil tersenyum tiga jari.

"Bukankah, emang udah sepantasnya, kamu mendapatkan hal itu dariku?" seruku sambil membalas senyumannya. "Makasih juga ya,"

"Buat apa?" tanyanya, mengikuti gaya bicaraku beberapa detik lalu.

"Karena kamu nggak pernah berhenti untuk memperjuangkanku selama dua tahun ini."

"Anytime," ucapnya sambil tersenyum tipis. "Apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia, Cha."

*

Dua bulan telah berlalu semenjak pernyataan cintanya disertai perkataan tulusnya saat ia mengantarku pulang. Tapi, entah karena apa, aku masih meragukan perasaanku terhadap lelaki bermata sipit itu. Perasaanku masih abu-abu. Tak bisa ditebak dan masih terperangkap di masalalu. Bukankah, seharusnya tidak begitu?

Ravel selalu bersikap manis setiap kali ada di dekatku. Ia selalu berusaha untuk membuatku senang. Tapi, kenapa aku malah bersikap sebaliknya? Bahkan tak ada perubahan sedikitpun yang ada pada diriku semenjak kita resmi menyandang status sebagai sepasang kekasih. Masih sama, aku memperlakukannya tak jauh berbeda saat ia masih menyandang status sebagai temanku semenjak dua tahun lalu.

Saat aku sedang sibuk-sibuknya menerka-nerka perasaanku terhadap kekasihku, Ravel. Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku dari belakang, membuatku tersentak dan terpaksa harus menghentikan lamunanku hanya untuk beberapa menit ke depan.

Dan hei.. Coba tebak, siapa orang yang mengganggu aktivitas lamunanku tadi?

"Lo ada waktu?" tanyanya dengan suara khasnya yang masih kukenal.

Arsa. Ya, si playboy tengil itu yang telah menggangguku. Masih ingat sama dia 'kan? Dia itu temannya.., ah.. Lupakan. Aku sedang malas untuk membahas lelaki bermata elang itu. Nanti ujung-ujungnya... begitulah.

"Ada apa?" tanyaku datar. Walaupun sebenernya sedikit penasaran juga dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Karena semenjak berakhirnya hubunganku dengan lelaki bermata elang itu, kami tak pernah berinteraksi kembali layaknya seorang teman seperti dulu—saat aku masih bersama dengan sahabatnya itu.

"Lo beneran jadian sama si Ravel?" tanyanya, yang membuatku tersentak seketika.

"Kalau iya, kenapa?" tanyaku balik, setelah berusaha mengontrol kembali perasaanku.

"Oh.. Sejak kapan?" tanyanya lagi.

Aku menghela napas. "Dua bulan lalu," ucapku sambil tersenyum kecut.

"Oh.." aku menangkap tatapan intimidasinya saat ia menatap mataku. "Lo nggak berniat buat jadiin dia sebagai pelarian doang 'kan?" tanyanya penuh penekanan dalam kata 'pelarian'.

"Nggaklah. Emangnya gue sejahat itu apa?!" dengusku sambil mendelik malas.

"Terus?" ia mengerutkan keningnya. "Kalau bukan karena itu, alasan lo apa bisa nerima dia gitu aja? Bukannya selama ini lo selalu nolak semua cowok yang nembak lo, karena lo masih sayang sama Kean?"

"Tipikal lo banget ya, Sa. Sok tau." aku berkata sinis sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Lo pikir, setelah apa yang udah dia lakuin sama gue dua tahun lalu, gue masih punya perasaan yang sama sama dia apa?!" lagi-lagi tersenyum kecut. "Nggak. Nggak bakalan ada lagi perasaan yang sama buat orang yang udah nyampakin gue gitu aja."

"Lo bisa aja bohongin gue sama diri lo sendiri dengan ngomong kayak gitu sama gue," jedanya, "tapi nggak sama hati lo, Sha. Lo nggak bisa bohongin hati lo sendiri."

Aku menghela napas frustasi sambil menatapnya dalam. "Lo nggak tau apa-apa, Sa." ucapku, "dari dulu, lo nggak pernah tau apa-apa."

"Gue emang nggak tau apa-apa tentang lo, Sha." Arsa mengamini perkataanku. "Tapi gue tau, seberapa besar cinta lo buat Kean. Begitupun sebaliknya. Gue selalu tau.., dan bakalan selalu tau." ucapnya, yang membuatku diam seribu bahasa.

__________

A/N Udah part sembilan nih. Target awal sih, sampe part sepuluh.. Tapi, kayaknya gue berubah pikiran ...

09 Maret 2015

AyeshaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang