Drivers License

43 5 4
                                    

Minggu lalu aku mendapatkan Surat Izin Mengemudi yang selama ini aku tunggu-tunggu. Dan ini pertama kalinya aku mengendarai mobil menyusuri jalan pinggiran Kota Jakarta di malam hari, maksudku, benar-benar tengah malam. Tidak ada banyak kendaraan di jam segini. Jalan aspal terlihat begitu basah sebab hujan lebat tadi. Suhu udara malam begitu dingin meski aku tidak menyalakan AC, dan terasa semakin dingin saat menatap kursi kosong di sebelahku.

Aku mengambil SIM-ku yang tergeletak di atas dashboard sembari menyetir. Kutatap gambar diriku di sana. Cewek berambut panjang bergelombang itu tersenyum dengan kikuk. Yah, sebab ia tidak suka difoto. Namun aku bisa melihat wajahku saat itu terlihat senang dan exited.

Aku tersenyum miring. Kulempar kembali SIM-ku ke atas dasboard dengan asal. Lalu tiba-tiba air dengan suhu hangat, yang terasa panas di tengah dingin yang mencekam ini, mengalir melalui pipiku dengan cepat. Apa-apaan ini? Kenapa aku harus menangis lagi? Padahal aku sudah lelah menangis seperti orang gila beberapa hari yang lalu. Aku sudah lelah menghabiskan waktuku dengan mengurung diri di kamar, berteriak, marah-marah, dan melakukan apa saja yang bisa membuat hatiku lega. Tapi kenapa kini aku masih harus mengingatnya dan membuang-buang air mataku untuknya, lagi?

Aku tertawa sarkastis dan mendengus kasar. Mengingat betapa selama ini aku terlalu naif dengan kata yang disebut "cinta". Percaya bahwa orang yang aku cintai akan tetap mencintaiku selamanya. Pengkhianatan yang selama ini hanya kulihat lewat sinetron atau film, benar-benar terjadi dalam hidupku secara tragis. Dan kejadian seminggu yang lalu masih belum bisa kupercaya hingga sekarang.

***

(Satu minggu yang lalu)

Tuuuut

Tuuuut

"Halo?"

"Julian!" panggilku girang, namun kurasa aku terlalu kentara. Aku kembali bersikap normal, agar Julian tidak curiga. Ya, aku akan membuat kejutan untuknya!

"Kenapa, babe? Hahaha. Suka nggak jelas, deh!" Julian tertawa. Kini kami sedang video call.

"Hehehe. Nggak apa-apa. Aku cuma kangen sama kamu."

"Kenapa sih sayaaang? Kok kangen teruuus?" kata Julian dengan nada yang dibuat-buat.

Aku tersenyum kecil karena tingkahnya. "Emangnya kamu nggak kangen sama aku?" ujarku dengan nada sedih yang dibuat-buat.

"Kamu gila, ya? Mana mungkin aku nggak kangen!" Sekarang Julian bicara dengan nada marah, tentu saja itu adalah akting.

"Sedih banget, nih. Sejak LDR-an jadi susah banget mau ketemu. Huhuhu, sebel."

"LDR gimana, sih, sayang? Kamu kan cuma pindah ke Depok doang!" Julian terkekeh. Sejak dua tahun lalu aku pergi kuliah, kami jadi harus pacaran seperti ini. Padahal saat SMA dulu tidak susah untukku menemuinya.

"Ya tetep aja..., kita jadi nggak bisa ketemu setiap hari lagi!" Aku cemberut, sambil memandang Julian di layar ponselku dengan pandangan sedih.

"Jangan sedih, dong! By the way, SIM kamu kapan jadinya, deh? Kok lama banget?" kata Julian kesal. 

Aku menahan senyumku agar tidak kentara. Aku melirik kartu kecil yang tergeletak di atas meja belajarku. Ya, itu adalah SIM-ku! Aku baru saja mendapatkannya.

"Nggak tahu, nih! Sebel. Aku kan pengen cepet-cepet ke rumah kamu!" ujarku sambil pura-pura cemberut.

"Jangan sedih, sayang! Nanti juga jadi kok SIM-nya. Maaf ya jadi kamu yang harus ke sini. Aku bener-bener sibuk banget nih semenjak jadi asdos."

The Story Behind The SongWhere stories live. Discover now