Circles

19 1 0
                                    

Ini adalah situasi di mana aku tidak bisa mencernanya dengan otakku. Aku merasa dibodohi dan dikhianati oleh orang yang paling aku percayai lebih dari siapapun. Seketika wajah yang selama ini membuatku merasa damai, kini wajah dengan air mata dan dahi yang mengkerut itu membuatku sangat marah dan benci. Hatiku terasa sakit dan harga diriku benar-benar terluka.

"Lo harus percaya. Gue lakuin ini karna nggak tau lagi harus gimana," ujarnya sembari menangis sesenggukan. Tangannya menggenggam lenganku erat lalu kepalanya ia tundukkan begitu dalam. Bahkan setelah aku marah dan mengamuk dia masih terus menahanku seperti ini.

"Apa yang harus gue percaya? Coba bilang dari sudut mana gue harus memaklumi ini?" Aku berteriak. Napasku terasa sangat berat dan sesak.

"Gue tau.... Gue tau ini bakalan sulit buat lo terima. Tapi gue ngelakuin itu cuma demi uang! Nggak ada yang lain. Please, percaya sama gue. Gue mohon!" Dia berbicara dengan tergesa-gesa di antara tangisannya dan dadanya yang naik turun karena isak tangis.

"Coba jelasin sama gue. Cowok mana yang bisa terima kalo ternyata ceweknya pekerja seks? Jawab!" Kini aku membentak dan memelototinya dengan tajam. Dia terkesiap untuk beberapa saat lalu kembali menundukkan kepalanya hingga seluruh wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang berantakan. Lalu dia kembali terisak histeris.

Aku memijat kepalaku yang terasa sangat sakit. "Puas lo sekarang, hah?! Puas udah bikin gue hancur?" Nada bicaraku masih tinggi. Seketika rasa sesak menguasai dadaku dan air mata sudah merembes melalui pelupuk mataku.

Kania kemudian berlutut dan memeluk kakiku. "Gue mohon tolong maafin gue! Gue cuma butuh uang buat bayar hutang bokap ke rentenir. Gue cuma ga tahan lihat dia dikejar-kejar dan disiksa sama mereka! Tolong, Brian, tolong maafin gue kali ini aja!"

Tangisan Kania saat ini hanya terlihat semakin menjengkelkan di mataku. Emosiku selalu memuncak setiap kali melihat wajahnya. Bagaimana mungkin selama ini dia tega berhubungan seks dengan orang lain, sedangkan setiap hari aku memikirkannya tanpa henti, mengkhawatirkannya sepenuh hati. Dan bagaimana mungkin selama ini aku tidak tahu?

"Gue nggak bisa terima, Kania! Ini bukan sesuatu yang bisa diterima akal sehat manapun!" bentakku nyalang sambil mendorong tubuh Kania hingga ia tersungkur ke belakang.

"Ternyata selama ini gue nggak kenal lo! Gue pikir lo adalah orang yang paling gue kenal lebih dari siapapun!" Aku tersenyum getir. Lalu dia memandangku dengan sorot yang menyedihkan.

"Lo sama aja kaya nyokap gua yang gila seks sampai tega selingkuh! Gue benci sama lo, Kania!" ucapku dingin, namun dengan penuh rasa dengki.

Kemudian aku berdiri dan berniat pergi meninggalkan Kania yang saat ini terlihat sangat menjijikkan di mataku. Kania menahan kakiku kalang kabut dan menatapku dengan sorot mata memohon ampun. Tetapi rasa iba tidak pernah sekalipun muncul di hatiku. Aku hanya menatapnya dingin dan melepaskan kakiku dari pegangannya dengan kasar dan pergi dari sana.

***

Saat itu terasa dingin sebab hujan yang lebat mengguyur tubuhku. Di depan halte itu aku terduduk dan menggigil kedinginan serta bersin-bersin. Kepalaku terasa sangat berat sampai ingin ambruk saja rasanya. Dan tidak ada yang aku kenal seorangpun di sana. Lalu dia, cewek yang mengenakan hoodie warna hitam dengan rambut cepol asal-asalan, datang menghampiriku.

"Lo nggak apa-apa?" ujarnya sambil menatapku khawatir. Yang aku pikirkan saat itu adalah, kenapa kau mencemaskan aku padahal kau tidak mengenaliku?

Dia lalu menyentuh dahiku. "Ya, ampun! Lo panas banget! Lo lagi sakit, ya?" ujarnya heboh. Ia langsung membuang rokok yang masih menyala yang sejak tadi ia pegang di tangannya.

The Story Behind The SongWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu