satu

74 11 204
                                    

Ruri menyandarkan tubuhnya di punggung kursi, menghela nafas pelan. Pembukuan yang sedari siang tadi dikerjakannya, akhirnya selesai juga. Jam di pergelangan tangan kanannya sudah menunjukkan pukul 9, langit di luar sana telah menghitam. Baru terasa perutnya keroncongan meminta diisi. Seingatnya, siang tadi ia hanya mengisi perutnya dengan segelas kopi dan sepotong roti. Ia melewatkan makan malam yang biasanya dilakukan sebelum pukul 6 sore. Bangkit dari kursinya, Ruri mengambil tas yang tergeletak di kursi dan keluar dari ruangan.

Honda Vios biru itu melenggang di jalan raya yang belum juga sepi dari pengendara. Tujuannya hanya satu, sebuah kafe yang sudah beberapa tahun ini menjadi langganannya. Walaupun tidak setiap hari ia mengunjungi kafe itu, tetapi paling tidak ia mengunjunginya sekali dalam sebulan. Tak membuang waktu, ia segera turun dari mobilnya ketika sudah berada di depan kafe itu. Pintu kaca didorong, Ruri masuk ke dalam kafe. Matanya langsung tertuju ke meja yang biasa ia tempati, dilihatnya kosong ia melangkahkan kakinya ke sana.

Ruri mengangkat tangannya dan memanggil seorang waitress yang terlihat sedang membersihkan sebuah meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan. Waitress itu akan berjalan ke arahnya, tapi dipotong oleh seorang pria. Senyum lebar menghiasi wajah pria itu ketika berjalan ke arah Ruri. Mata Ruri melotot, mendengkus pelan sebagai balasan senyuman pria itu.

"Ada yang bisa dibantu?" Tanya pria itu.

"Gak ada." Jawab Ruri pendek.

Pria itu tertawa mendengar jawaban Ruri, "Seperti biasa ya. Segera siap." Pria itu melakukan gerak hormat. Ruri tersenyum melihat tingkah pria itu.

Ruri mengeluarkan gadgetnya sambil menunggu pesanannya datang. Baru saja sebentar melihat medsos yang dibukanya, pria itu sudah berada di depan Ruri, tanpa membawa apapun.

"Lupa makan lagi?" Pria itu bertanya saat bokongnya sudah berada di kursi di depan Ruri.

Ruri menengadah, melepaskan pandangannya dari gadget, "Lo gak ada kerjaan lain apa, Mas?" tanya Ruri merasa terusik.

Pria itu tersenyum. Ruri mendelik, "Senyum terus, garing nanti gigi, lo," ujar Ruri ketus.

"Kerjaan laen bisa dilanjutin nanti. Sekarang ada kerjaan yang lebih penting," jawab pria itu santai, sama sekali tidak terprovokasi.

"Laah, kenapa lo masih di sini kalau ada kerjaan penting?" Tanya Ruri lagi, penuh nada pengusiran.

Pria itu menyeringai, menegakkan tubuhnya memandang lurus ke arah Ruri, "Kerjaan penting itu adalah nemenin elo makan malem,"

Ruri mendengkus, gombal terus gak bosen-bosen, pikir Ruri. Ia membiarkan pria itu, tidak lagi menggubrisnya, kembali menatap gadget di tangannya.

"Makanan siaap," ujar pria itu saat seorang pelayan membawakan pesanannya.

Ruri memasukkan gadgetnya, memperhatikan satu per satu makanan yang dihidangkan di meja. Air liurnya terasa memenuhi mulut melihat makanan di depannya itu. Efek dari siang tidak makan berat, membuatnya kelaparan. Pria itu memesan coffe latte kepada orang yang membawakan makanan.

"Gak biasanya, Ri, bukan akhir bulan kamu lembur sampai lupa makan?" Pria itu membuka percakapan setelah cukup lama hening.

Ruri tidak langsung menjawab, ia menghabiskan terlebih dulu makanan di mulutnya, "Direktur keuangan yang lama diganti. Direktur baru ini minta laporan keuangan dari tiga tahun lalu. Gila gak tuh orang," jawab Ruri berapi-api.

Senyum pria itu mengembang melihat Ruri bercerita. Ruri adalah salah satu pelanggan spesial yang menempati hati pria itu.

"Jadi, elo gak suka nih sama direktur baru itu," godanya.

Tentang HatiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora