Aku segera menuju kamar mandi lalu berwudhu. Aufar masih sibuk membaca buku sambil mengenakan headset seakan tidak mendengar adzan yang berkumandang.

Aku mendekatinya setelah menggunakan mukena. Setelah jarak kami dekat, aku langsung melepas headsetnya.

"Adzan. Buruan sholat!" Perintahku, Masalahnya waktu Maghrib adalah waktu yang paling singkat.

"Nanti, deh. Lagi asyik." Aku menggelengkan kepala. Dia menutup bukunya lalu menatapku.

"Tangan Lo udah gak papa?" Tanyanya melihat tanganku yang masih terperban. Tadi saat berwudhu memang tangan ini tidak kubasahi. Ini hanya pengecualian untuk orang yang memiliki sakit jika terkena air di daerah yang seharusnya dikenai air wudhu.

A

ku menggeleng. "Gakpapa." Jawabku sedikit berbohong karena sebenarnya tangan itu masih terasa sakit. Jika malam itu Aufar tidak juga melepas pisaunya, mungkin tanganku sudah terpotong karenanya.

Aufar mengangguk, "Kalau ada apa-apa bilang."

"Hah?"

"Kalau ada apa-apa sama tangan Lo." Lanjutnya membuatku mengangguk. Dia memang seharusnya bertanggung jawab atas tanganku ini.

"Yaudah aku sholat duluan." Kataku setelah berbincang.

"Yoi."

"Jangan lupa sholat!" Peringatku lalu bergegas menuju mushola.

***

"Iya, rez. Sekalian beli papan tulis ya. Aku lupa beli soalnya." Pesanku lewat telepon pagi itu. Pagi itu aku sibuk membereskan ruang tamu untuk dijadikan ruang belajar untuk anak-anak itu.

"Oiya, sama buku-buku sih. Jumlah mereka ada berapa,ya, rez?" Farez berdehem memberi tanda dia masih terhubung ditelepon itu.

"14 deh seinget gue. Tapi gue beliin 20 deh, siapa tau kurang." Aku mengangguk-angguk.

"Makannya udah?" Tanya Farez.

"Udah. Bentar lagi mungkin Dateng." Jawabku lalu melirik pria yang sudah siap dengan jas hitam dan celana hitamnya.

"Lagi ngapain, sih? Sibuk amat." Komentar pria yang sudah siap dengan jasnya itu. Aku hanya tersenyum tipis. Pria itu malah mendekat, "bentar ya, rez." Aku menjauhkan ponselku dari telinga.

"Kenapa?"

"Pamit. Di buku katanya suami kalau keluar harus salaman sama istri." Aku tertawa. Dia selalu mematuhi apa yang dikatakan buku yang ia baca. Dia menyodorkan tangannya.

Aku jadi teringat saat pertama bertemu. Aku mengambil uluran tangannya lalu menciumnya. Tangan lainnya terulur lalu mengelus kepalaku pelan. Jantungku berdebar kencang.

Aku menatapnya, dia tersenyum tipis. "Di buku juga harus Elus kepala istri biar istri bahagia." Dia meringis, menunjukkan sederet gigi putihnya kepadaku. Aku tau, mungkin dia tidak benar-benar tulus melakukan semuanya, tapi tidak apa-apa.

Selama itu baik, kenapa dilarang. Aku mengangguk.

Setelah itu dia melambaikan tangannya berjalan menjauh. "Waalaikumussalam!" Teriakku mengingat dia belum mengucapkan salam. "Halo-halo, da?!" Suara dari telepon berkali-kali memanggilku.

"Iya, rez. Sorry—"

"Lo tadi ngomong sama Aufar?" Aku berdehem mengartikan jawaban Ya dari pertanyaannya.

"Gila Lo—"

"Udah gak usah bahas itu kita fokus bahas ini." Potongku cepat. Jantungku masih berdebar sedari tadi. Farez pun akhirnya kembali membahas tentang anak-anak panti itu.

FARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang