Rose nurunin kaca mata hitamnya—buat nyembunyiin rasa malu yang terpancar jelas melalui matanya. “Kalau orang lain tahu kita ketemuan kayak gini, bakal repot buat ngejelasin.”

“Aku tahu cara supaya kita nggak usah repot ngejelasin,” cetus Jeffrey sambil menjentikkan jari.

“Apa?” Rose ngedeket ke arah Jeffrey, bermaksud mendengar ide yang mau pemuda itu tuturkan.

“Kita pacaran,” bisik Jeffrey dengan suara rendah yang bikin muka Rose memerah.

“Gila!” sentak Rose tertahan. Matanya kembali mengamati keadaan di sekitar—ngerasa kalau perpustakaan bukan tempat yang cukup aman buat ngobrol sama Jeffrey. Oleh karena itu, dia narik cowok itu keluar, langkahnya cepat dan buru-buru.

“Kita mau ke mana?” tanya Jeffrey sengaja melambaikan langkahnya supaya Rose bisa menggenggam tangannya lebih lama.

Langkah Rose terhenti cuma buat nanya, “Mobil kamu diparkir di mana?”

“Kenapa? Mau ngelakuin yang kayak semalem lagi?” goda Jeffrey sambil masang senyum yang cerah. Dia narik tangannya yang masih digenggam sama Rose ke atas, melepasnya sebentar, terus ditautin dengan rapat. Jelas itu cuma satu dari tumpukan cara buat ngegoda perempuan itu. “Ikut sini.”

Rose melayangkan sejumlah protes yang nggak ditanggapi sama Jeffrey. Dia baru ngelepasin tangan cewek bawel itu setelah mereka tiba di parkiran. Dengan sikap lembutnya Jeffrey ngebukain pintu buat Rose—tetap senyum setelah dia ngucapin terima kasih meski agak ketus.

“Kamu tahu kan apa yang mau aku omongin?” tanya Rose tanpa basa-basi. Dia bahkan ngebuka kaca mata hitamnya.

“Apa?” Jeffrey pura-pura nggak paham.

“Demi Tuhan Jeffrey kamu nyebelin banget!” sentak Rose frustasi.

Senyum Jeffrey kembali muncul. Dia ngelihatin Rose dengan tatapan terpukau, jelas aja ngebuat orang yang dilihatin merona karena malu. “Aku nggak memulai semua itu. Kamu yang nyosor, aku cuma ngikutin.”

“Nyo… nyosor? Aku?” Rose nunjuk dirinya sendiri. Matanya membulat waktu ngelihat Jeffrey ngangguk tanpa ragu. “Jangan ngarang! Aku nggak inget apa-apa!”

“Sayang banget,” lengguh Jeffrey penuh penyesalan yang dibuat-buat, “padahal itu ciuman pertama kamu, kan? Dan yang dicium itu adik temen kamu sendiri. Kamu bahkan ninggalin ini di leher dan bibirku.”

Ada sejumlah tanda merah sedikit gelap di lehernya dan bibirnya sedikit luka. Jelas Rose bukan tipe yang bisa main lembut. Dan Jeffrey nggak keberatan.

“Ha…ha… ha… ya kali aku ngelakuin itu. Aku bahkan nggak tahu gimana caranya… Ya Tuhan…” Kalimat Rose menggantung. Ekspresinya berubah kaku sewaktu ingatan tadi malam kembali secara perlahan ngebentuk rangkaian cerita yang ngebuat mukanya panas. Rose ngelirik Jeffrey, cowok itu senyum, seolah udah tahu kalau dirinya pasti mengingat kejadian tadi malam.

“Kamu inget kan?” tanya Jeffrey sambil nopang dagu dan ngelihatin Rose.

“Ta… tapi itu karena aku lagi pusing!” sanggah Rose buru-buru. Dia lagi nyari alasan supaya Jeffrey berhenti mikirin dan nggak ngungkit hal itu lagi. Tatapannya kembali diarahin ke cowok paling berisik yang pernah hadir di hidupnya—Jeffrey nggak kelihatan kayak orang yang bakal bilang ‘iya’ kalau Rose memintanya buat ngelupain ciuman tadi malam. Meski begitu, Rose tetap bilang, “Itu kecelakaan. Maafin aku. Tapi kamu nggak akan keberatan sama hal itu kan? Kamu sering ngelakuinnya sama banyak perempuan. Please Jeffrey, maaf, maaf, maaf, aku nggak sengaja!”

Jeffrey sedikit nelengin kepala buat mengamati muka Rose. Perempuan itu merapatkan kedua tangan di depan muka, memohon maaf dengan cara yang manis dan bikin senyum Jeffrey auto tertarik keluar. Lucu banget.

The Thing Between UsWhere stories live. Discover now