Populisme Rakyat

26 4 0
                                    

Di zaman modernisasi, di saat berbagai hal terikat satu sama lain di dalam rangkulan globalisasi, di masa dimana peran pemerintah dianggap tak diperlukan lagi.

Di zaman modernisasi, kekejaman kapitalisme semakin mengikis batas-batas kedaulatan suatu negeri. Dengan sistem rantai global yang memungkinkan suatu kelompok memiliki otonomi di berbagai penjuru dunia ini.

Di zaman modernisasi, Masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap dunia politik dan segala konspirasi yang terjadi.

Di zaman modernisasi, yang hampir tak lagi peduli dengan humanisasi, beberapa masyarakat justru semakin merindukan  pemerintah untuk melindungi, bagaimana hal ini dapat terjadi?

Di zaman modernisasi, yang hampir tak lagi peduli dengan humanisasi, beberapa masyarakat justru semakin merindukan  pemerintah untuk melindungi, bagaimana hal ini dapat terjadi?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Populisme kian bangkit dan semakin populer sejak abad 19. Tak lain yaitu Jerman dengan Hitler, Turki dengan Erdogan, dan AS dengan Trump. Walau memiliki haluan politik yang berbeda dan cenderung bergesekan satu sama lain, namun ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh yang sangat melekat dengan populisme.

Populisme itu sendiri adalah sejumlah pendekatan politik dengan menyebut kepentingan Rakyat yang sering kali dilawankan dengan kepentingan suatu kelompok yang disebut Elit. Walau definisi dari populisme itu sendiri banyak mengalami perubahan, tetapi secara garis besar populisme adalah sebuah pendekatan sekaligus fenomena politik yang menunjukkan kebencian masyarakat terhadap autokrasi dan oligarki.

Populisme juga cenderung tidak condong ke pihak, pemahaman, atau ideologi manapun, sehingga populisme dapat bangkit hampir di seluruh penjuru dunia.

Populisme juga merupakan tanda bahwa masyarakat semakin merindukan peran pemerintah. Hal ini juga didukung oleh maraknya kekejaman di dunia kapitalis yang dimana suatu kelompok dapat mengintervensi pemerintah, ditambah dengan maraknya kasus korupsi yang semakin mengecewakan masyarakat. Dengan pemerintah yang mengadopsi populisme, diharapkan mampu melindungi rakyat dari eksploitasi sekaligus memberi pukulan balik terhadap elit yang dianggap korup.

Para tokoh yang menganggap dirinya populis biasanya menggunakan narasi yang meyakinkan masyarakat bahwa ialah satu-satunya orang yang dapat mendengarkan aspirasi rakyat sekaligus mewakilkan masyarakat di seluruh penjuru negeri. Tak jarang masyarakat memandang para tokoh populis sebagai pahlawan yang melindungi mereka dari sisi jahat yang korup. Maka dari hal tersebut, para tokoh populis biasanya membutuhkan musuh yang bisa berupa situasi krisis, para elit, ideologi, atau eksistensi tertentu untuk dilawan.

Metode kampanye "anti-" juga sangat populer digunakan oleh tokoh populis, seperti: anti-pemerintah, anti-liberalis, anti-elit, anti-yahudi, dsb. Dengan metodi "anti-" tersebut, para tokoh populis tidak akan kehabisan musuh untuk dilawan karena politik "anti-" tersebut membuka ruang gerak bagi musuh baru untuk terus muncul. Dengan begitu citra tokoh populis akan terlihat sangat heroik.

Hal tersebut bisa dilihat contohnya melalui Donald Trump pada masa jabatannya, Trump dikenal anti-elit dan tak segan memberikan pernyataan pedas dan tegas kepada golongan yang menjadi "anti-" nya. Tak jarang trump mengecualikan suatu kelompok dari "masyarakat" dan menganggap semua kebijakan serta pendapat dari lawan yang tidak sependapatnya sebagai musuh besar.

Walau begitu, populisme adalah pedang bermata dua.

Jika populisme benar-benar dijalankan oleh pemimpin populis yang sejati. Maka pemimpin tersebut dapat menjalankan pemerintah dengan sebenar-benarnya mewakili aspirasi masyarakat, menjadi tameng pelindung, sekaligus perwakilan seluruh negeri. Yang dimana tentu memberikan kestabilan dan meningkatkan peluang negara tersebut untuk maju, disinilah populisme benar-benar menjadi solusi yang baik.

Namun, populisme juga bisa menjadi malapetaka, karena populisme bisa hanya sekedar dijadikan kendaraan suatu pihak untuk mengambil tahta, atau sekedar menciptakan ketidakstabilan politik. Hal ini cukup mudah secara rumus populisme dapat digunakan dimana saja, oleh siapa saja, dan terhadap apa saja.

Pro dan kontra tentu akan menyertai populisme dalam perjalanannya, salah satu yang mendukung kebangkitan populisme adalah presiden kebanggaan rusia, Vladimir Putin.

Di sebuah wawancara sebelum GTT 20 di Jepang, Putin mengatakan bahwa liberalisme sudah usang, dan demokrasi liberal di barat Beberapa dekade terakhir telah melampaui tujuannya. Putin menambahkan bahwa liberalisme bertentangan dengan "kepentingan mayoritas penduduk," dengan mengambil contoh apa yang dilakukan Kanselir Jerman Angela Merkel karena membiarkan membanjirnya migran untuk menetap di Jerman. Putin juga memuji Presiden AS Donald Trump yang disebutnya sebagai "orang berbakat" yang tahu bagaimana berhubungan dengan para pemilih.

Hal tersebut menyiratkan bahwa Putin mendukung kebangkitan populisme yang mendengarkan aspirasi masyarakat, sekaligus menyiratkan ketidakcakapan dan ketidaksesuaian liberalisme yang tidak semestinya berlaku di seluruh dunia (akan selanjutnya dibahas pada ITDD "Liberalisme untuk indonesia?").

Namun, banyak pihak yang juga menganggap populisme sebagai ancaman yang berbahaya. Beberapa dari pihak tersebut mengatakan bahwa populisme dapat berujung pada pemerintahan yang otoriter atau pemerintahan yang fasis, karena memiliki potensi untuk menitikberatkan kekuasaan yang mana bisa berujung pada "korupnya" tokoh populis itu sendiri.

Beberapa pihak juga mengatakan bahwa populisme juga dapat menyebabkan perpecahan dan diskriminasi serta mekanisme konstitusional yang termajinalkan.

Robert W. Hefner, Direktur Institute on Culture, Religion, and World Affairs in the Pardee School of Global Studies Boston University, Amerika Serikat, mengatakan bahwa populisme dilatarbelakangi karena adanya krisis kewarganegaraan di seluruh dunia. Menurut Robert, gelombang populisme menjadi ancaman bagi demokrasi (robert mengambil contoh jenis populisme Donald Trump). Menurutnya populisme dapat menyebabkan diskriminasi sosial terhadap golongan minoriras. Hal ini berdampak negatif pada pluralitas di masyarakat. Robert mengajak masyarakat untuk menjunjung nilai HAM dan kebebasan masyarakat (akan selanjutnya dibahas pada ITDD "HAM dan Realitasnya").

Pendapat Putin dan Robert keduanya dapat dibenarkan, karena populisme tidak selamanya buruk dan tidak selamanya baik, terkadang populisme adalah penjunjung demokrasi dan terkadang populisme ancaman demokrasi, itu semua tergantung kepada situasi dan kondisi yang terjadi. Dalam hal ini, Putin memuji sisi baik populisme dan Robert mengkritik sisi buruk populisme.

Populisme, sebagaimana semua pendekatan politik, memiliki kelebihan sekaligus kelemahan, memiliki potensi untuk maju dan potensi untuk hancur, dan memiliki potensi untuk perubahan besar dan potensi untuk dijadikan sebagai kendaraan semata

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Populisme, sebagaimana semua pendekatan politik, memiliki kelebihan sekaligus kelemahan, memiliki potensi untuk maju dan potensi untuk hancur, dan memiliki potensi untuk perubahan besar dan potensi untuk dijadikan sebagai kendaraan semata. Yang terpenting untuk selalu diperhatikan oleh kita semua adalah situasi dan kondisi yang menyertai gerakan populisme tersebut. Karena dengan situasi dan kondisi yang benar dan diperlukan, populisme dapat mendorong suatu bangsa maju ke tingkat yang tidak pernah dibayangkan.

Demikian pembahasan  Into The Deep Dark tentang "Populisme Rakyat" kali ini, semoga dengan adanya pembahasan ini kita semua bisa lebih bijak dalam menyikapi populisme yang menjadi fenomena akhir-akhir ini.

-Into The Deep Dark, Athif Yahya

Into The Deep DarkWhere stories live. Discover now