[10] °• Salah Paham •°

433 58 3
                                    

"Dadah, Kei!" Bella melambai kepada Keiyona.

"Iya, hati-hati, Bel!" jawabnya seraya melambaikan tangannya.

"Kamu juga hati-hati!"

Kedua gadis itu harus berpisah di perempatan gang. Dikarenakan mereka satu komplek, jadi tak jarang keduanya akan berjalan bersama sampai perempatan gang. Tidak setiap hari memang, karena Bella lebih sering di antar jemput oleh sang ayah. Dan kata Bella tadi, hari ini ayahnya sedang mengikuti acara rekan bisnisnya- jadilah Bella harus berjalan kaki seusai turun dari bis.

"Tinnn-tinnn! Dawetnya, Mbak! Dawet!"

Keiyona kontan menepi, dilihatnya muka tengil Hema bersama sepedanya yang sudah sehat. Sehat dalam artian sudah komplit dan layak pakai. Tidak seperti yang kemarin-kemarin, memprihatinkan.

"Ngapain kamu?!" ketus Keiyona.

"Wa'alaikumsalam Warahmatullaahi Wabarokatuh!" ucap Hema yang sengaja menyindir Keiyona.

Keiyona mencibir, mengucapkan salamnya dengan pelan.

"Ngapain kamu jalan sendirian di komplek begini? Nggak takut di angkut wewe gombel?" tanya Hema.

"Ya aku mau pulang lah! Mau ngapain lagi? Lagian kan ini komplek rumahku! Mana ada wewe gombel!" ketus Keiyona.

"Gasss terusss!" ucap Hema. "Orang tanyanya santai, selow, pelan, eh yang jawab ngegas mulu!" cibirnya.

"Ada gerangan apa si kawan?" Hema bertanya dengan wajah penuh perhatian. Sok perhatian lebih tepatnya.

Keiyona menarik nafas panjang. Mencoba menetralisir hatinya yang memang selalu panas jika berhadapan dengan Hema. Kemudian, Keiyona menatap Hema. "Ya, iya! Orang ini reflek, soalnya kalo deket-deket kamu bawaannya panas."

Alis Hema bertaut. "Masa si? Padahal mah aku nggak saudaraan sama matahari."

Sepasang obsidian Keiyona berputar kompak, malas dengan tingkah Hema. "Terserahmu aja lah!" ucapnya seraya berlalu pergi.

Hema mengayuh sepedanya pelan, menyeimbangkan dengan langkah kaki Keiyona. "Mau ikut nggak?" tawarnya.

"Nggak," tolak Keiyona cepat.

"Alhamdulillah. Formalitas doang tadi."

Lagi-lagi bola mata Keiyona melakukan gerakan reflek. Seperti biasa, Hema memang tidak pernah kehilangan akal untuk menyuburkan api amarah dalam diri Keiyona. Coba katakan, bagaimana Keiyona bisa menahan dirinya jika yang dihadapi adalah Hema? Manusia itulah yang berulang kali memancing perdebatan. Tapi sepertinya, dia tidak pernah sadar. Argh tai!

"Kei, rumahnya Pak Sobari sebelah mana?" tanya Hema.

"Mau ngapain emangnya?" tanya Keiyona tanpa melihat Hema.

"Jemput Kenzo. Lagi kerja kelompok di sana katanya."

Sejurus kemudian, Keiyona baru menyadari bahwa komplek ini bukanlah komplek Hema. Pantas saja manusia tengil ini memasuki kompleknya. Rupanya dia ingin menjemput Kenzo, anaknya.

Eh, Kenzo anaknya???

Tanpa sadar Keiyona berdehem, tenggorokannya mendadak gatal. Lalu tanpa sengaja, matanya bersibobrok dengan Hema, pemuda itu tengah menatapnya dengan tatapan was-was.

"Kei, kamu batuk... jangan-jangan... kamu... mencret?"

Plak!

Keiyona memukul lengan Hema. "Nggak ada hubungannya!" ucapnya.

Hema mengelus-elus lengannya seraya tertawa renyah. "Coba kurangin judesnya kenapa si, Kei? Marah-marah mulu bawaannya! Masih temenan loh ini, belum nikah."

Elegi & Tawa [Selesai]✓Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu