40- HUJAN DAN USAI

Start from the beginning
                                    

"Yang di gudang tadi apa? Penjelasan dari bibir Nadin udah cukup jelas, Gib. Apalagi yang mau di perjelas?" Abel menggertakkan giginya, berusaha ia tak mengeluarkan tangisnya.

Abel melirik Gibran sekilas, lalu ia menerobos hujan yang turun amat deras, ia tak memperdulikan Gibran lagi. Namun tak urung itu saja, Gibran menyusul dan menghalangi langkah Abel.

"Bel, plis! Jangan menghindar, aku cuma di jebak Nadin biar hubungan kita rusak. Aku nggak mungkin kaya gitu di belakang kamu, sayang," ucapnya lirih sembari menggenggam telapak tangan Abel.

"Apa buktinya? Apa buktinya kalau lo di jebak sama Nadin?"

Gibran terdiam, tak ada bukti apapun yang ia tunjukkan kepada Abel. Salah satu buktinya hanya ada di cctv bar. Namun, dengan lancangnya Nadin menghapus semuanya.

"Nggak ada 'kan? Jadi jangan harap gue bisa percaya sama lo, Gib." Ucap Abel dengan nada bicara yang bergetar.

Jakun Gibran naik turun menelan saliva dengan kelu. Ia menatap manik mata Abel dengan sendu, kemudian berkata, "Apa cuma segini arti hubungan kita, Bel? Apa lo masih nggak percaya kalau gue bener-bener tulus sama lo?"

Abel terkejut dengan gaya bicara Gibran yang berubah. Kenapa ini sangat menyakitkan bagi Abel? Ia mencoba melepas pandangannya dari manik mata Gibran, namun gagal. Seolah manik mata itu mengandung magnet yang mampu menarik mata Abel untuk terus menatap manik mata Gibran.

"Apa segitu brengseknya gue? Sampe lo nggak mau percaya sama gue lagi. Apa artinya lo buat gue, Bel? Kalau lo nggak percaya sama gue sedikit pun. Apa artinya hubungan kita, Bel?" Ucap Gibran lirih.

Cowok itu mengusap-usap punggung tangan Abel dengan lembut. "Gue sayang sama lo. Maafin gue, gue gagal jaga hubungan kita. Gue bodoh, yang pada akhirnya gue sendiri yang rusak semua ini. Maafin gue, Abel,"

Abel menggeleng pelan, ia melihat gadis yang sedari tadi berdiri tak jauh di belakang Gibran. Nadin, gadis itu yang berdiri mematung dengan membawa payung hitam yang melindungi tubuhnya. Badannya terlihat sangat pucat.

"Lihat ke belakang, Gib. Ada orang yang lagi butuh lo," suruhnya.

Gibran menggeleng cepat. "Gue nggak peduli, gue nggak butuh dia. Yang gue butuhin sekarang cuma lo, Bel!" Ujar Gibran sedikit mengeraskan suaranya lantaran suara petir terdengar sangat menggelegar.

Gibran memeluk tubuh Abel. Ia memejamkan matanya, lantaran bulir air matanya terjun dengan bebas bersamaan dengan air hujan yang mengguyur wajahnya.

"Gue sayang sama lo, gue cinta sama lo. Apa kata-kata ini belum cukup lo pahami, Bel?" Butuh bukti apalagi kalau gue bener-bener serius sama lo?" Tuturnya dengan lirih. "Dari awal gue nggak pernah main-main sama lo. Gue mohon, percaya sama gue,"

Abel memejamkan matanya dengan pedih, tak sedikitpun ia membalas pelukan Gibran. Bahunya bergetar hebat, Abel menangis, menangis tanpa suara.

"Pergi, Gib," suruhnya dengan pilu.

"Sayang----"

"Pergi dari gue, Gibran!" Abel menyentak ucapan Gibran, gadis itu terisak pilu. Ia menyandarkan kepalanya di dada bidang Gibran.

"Gue mohon, pergi dari gue," lirihnya sekali lagi.

"Nggak, gue nggak mau. Gue nggak bisa, Bel!" Tolak Gibran. Ia tambah mengeratkan pelukannya. "Gue nggak ada alasan buat pergi dari lo. Gue mohon, jangan suruh gue pergi," lanjutnya.

Abel mendorong tubuh Gibran sedikit kuat, hingga dekapan Gibran terlapas. Cowok itu menatap gadis di depannya dengan manik mata yang memerah.

"Bukan lo, tapi gue yang punya alasan buat lo pergi. Pergi dari gue, Gibran!"

GIBRAN DIRGANTARAWhere stories live. Discover now