Proofing (II)

358 51 6
                                    

"Ya ampun, Kak. Kamu tuh ada indra keenam apa gimana? Mila tuh dari tadi udah nyebut mau roti buatan Kakak," ucap seorang wanita cantik yang memiliki perawakan mirip dengan Dewa. Kamila adik bungsu Dewa menyambutku datang dan saat meihatku membawa bingkisan dari Moema dia senangnya minta ampun.

"Masuk, Kak," ucapnya sambil menyeretku masuk. Aku melirik Gladis agar mengikutiku.

"Ya, ampun ini Gladis ya? Udah gede aja kamu, makin cantik pula. Mirip Kakaknya, ya." Mila tak berhenti berceloteh sejak melihatku turun dari mobil bersama Gladis.

"Bunda sama Ayah mana, Mil?" tanyaku saat duduk di ruang tamu rumah Bunda. Mila masih tinggal bersama kedua orangtuanya atas permintaan Bunda yang merasa kesepian jika semua anaknya menginginkan hidup mandiri. Bang Arya, saudara Dewa yang pertama, sudah menikah dan hidup mandiri. Mila juga sudah menikah tahun lalu.

"Kalau Ayah, ke rumah Bang Arya, Kak. Lihat cucu, rindu katanya. Soalnya Bang Arya lembur terus, jadi udah capek mau ke sini. Jadinya Ayah yang samperin, demi cucu katanya. Bunda ada di kamar, nanti Mila kabari. Bentar ya, Kak. Mila salin ini dulu."

Kamila pun berlalu dan meninggalkan aku dan Gladis di ruang tamu. Sampai hari ini, aku masih merasa canggung berada di rumah Bunda seorang diri. Padahal aku dan Dewa sudah berteman sangat lama. Namun, karena waktu lebih banyak dihabiskan ditempatku, membuat rumah Bunda masih terasa asing.

"Kok, enggak ngabarin dulu mau datang, kan Bunda bisa buatin makanan kesukaan kamu," ucap wanita yang telah melahirkan Dewa itu dari dalam. Aku menyambutnya dengan pelukan dan ciuman hangat.

"Bunda kenapa enggak ikut Ayah ke rumah Bang Arya?" tanyaku dan kembali duduk diikuti Bunda.

"Kasihan nanti Mila sendirian di rumah. Odit lagi ke rumah ibunya. Mila tuh hamil, Alhamdulillah, jadi kadang suka mabukan gitu, Al. Dan malesan anaknya sekarang." Bunda tersenyum padaku.

"Ini Kak, Dis. Duh ini tuh enak banget," ucap Mila kembali bergabung dengan kami dan membawakan dua gelas minuman manis dingin berwarna merah. Dia juga menyajikan roti yang aku bawa tadi.

"Kamu hamil, Mil? Sudah berapa lama?" tanyaku antusias.

"Heheh, baru, Kak baru minggu kelima, kok. Mabok aku tuh, tapi makan roti buatan Kak Al, kok enggak, ya, Bun," ucap Mila menikmati roti dari Moema.

"Wah selamat, ya, Mil. Dewa sudah tahu belom?"

"Belom, Kak. Wong aku baru taunya kemarin ini. Makasih ya, Kak. Doakan sehat, semoga Kak Al segera menyusul."

"Aamiin!" ucap Bunda serempak denganku.

"Bunda juga sudah tidak sabar ngomong cucu dari kamu, Al. Sudah periksa lagi?" tanya Bunda.

"Rencananya besok, Bun, Al ke Rumah Sakit. Doakan, ya Bun."

"Pasti, Nak. Pasti, sudah mau empat tahun. Fokuslah sama urusan ini. Jangan capek-capek kamunya itu. Suruh Dewa juga jangan terlalu capek. Cukuplah job di dalam kota, jangan luar kota juga diambil."

Aku hanya tersenyum saja mendengar omelan Bunda yang selalu sama. Kesibukanku dan Dewa buatnya adalah halangan terbesar sehingga aku dan Dewa belum juga dikaruniai anak.

"Pakai dokter siapa, Kak?" tanya Mila kemudian.

"Dokter Sugeng, Mil," balasku singkat menyuruh Gladis meminum minuman yang disajikan tuan rumah.

"Oh iya, bagus itu, Kak. Kemarin aku mau pakai dia juga, tapi Alhamdulillah udah keburu isi dan rencananya memang maunya sama dia itu."

"Iya, nih. Banyak rekomendasi dari anak-anak temen Mama juga."

Kitchen Talk [TERBIT]Where stories live. Discover now