Ari yang tengah duduk di samping warung soto ayam mengangkat tangan. Dia tidak memesan soto ayam tetapi makan nasi bungkus dari Enyak nya. Tempat biasa mereka nongkrong memang di sini, di samping tenda soto ayam. Letak nya paling ujung di antara tenda-tenda pedangan lain. Di bawahnya ada bale lebar untuk para peneduh di bawah pohon Bintaro, buah nya bulat-bulat besar seperti bola pingpong. Kalau Jagad dan Ari mengenal nya sebagai pohon Bintaro, tidak tau nama ilmiah nya apa.

"Apaan tuh?"Jagad melirik makanan Ari penuh minat."Kangkung? Mana bagian ku?"

Kawan nya, Nestapa Jauhari atau Ari memutar bola matanya malas. Lalu melempar tas kecil pada Jagad yang di tangkap sigap pria kekar itu."Tuh kesukaan lu!"

Jagad duduk di sebelah Ari, melempar kotak rokok nya di sana. Dia berteriak pada warung soto untuk membuatkan nya teh tawar hangat dua. "Enyak memang terbaik Ari. Tau saja makanan kesukaan ku."

"Semua makanan asal gratis itu memang terbaik kan?"

Jagad mengangguk-angguk, tertawa keras sebelum kesenangan membuka bungkusan nasi yang hampir tak bisa di ikat oleh karet.

"Kok nasi lu banyakan?"Tanya Ari tak terima. Kan yang anak Enyak nya bukan Jagad."Wah, Enyak lupa anak kandung nya sendiri nih!"

"Kau jangan sirik begitu. Enyak sudah hafal porsi makan ku!"Dia mulai menguyah dan menandaskan makanan nya cepat. Bahkan, sempat-sempatnya Jagad mencomot kangkung Ari pakai tangan nya."Ri, ri. Si cici cakep ya."

"Cici mana? Banyak cici-cici di sini, Jagad!"

Ari tidak salah, memang banyak yang punya toko di sini keturunan Chinese atau etnis Tionghoa. Jadi, Ari tidak paham siapa yang di maksud Jagad.

Jagad berdecak."Itu, cici anaknya Baba Lim. Yang punya toko sembako samping toko Pak Wawan. Sapa namanya? Mimi ya?"

"Mei-mei!"Ralat Ari, berdecak."Pantesan elu mampir mulu ke toko sembako Pak Wawan. Ada yang di lirik rupanya!"

Kekehan Jagad terdengar, dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, eh tapi jadi gatal duluan."Tapi cakep begitu mana mau dengan ku kan?"

Ari meringis, mengerti jelas arti ucapan Jagad. Pria itu pasti merasa tidak pantas untuk gadis secantik Mei-mei dan tentu saja Jagad adalah pria kurang mampu seperti nya, bahkan Jagad tidak sempat lulus SMA.

Setau Ari, jagad mengorbankan sekolah nya demi kelanjutan sekolah adik satu-satunya, Ratih. Saat ini, Ratih tengah memasuki kelas akhir SMA.

"Kau balik jam berapa, ri?"

"Pak Wawan ngasih kerja tambahan, ada barang mau datang sore ini. Lu pulang duluan aja dah, kesian si Ratih sendirian."

Jagad menyetujui hal itu, ia menarik sebatang rokok dari kotaknya. Menyulut api dengan batangan lintingan itu terlipat di bibir."Mau?"Tanya nya, rokok tersebut masih tetap di tempatnya."Ambil aja."

Ari menggeleng, membereskan bekas makan mereka lalu melompat menuruni bale. Dia menepuk-nepuk pundak Jagad."Capek banget kayaknya."

"Kau pikir lah sendiri, brengsek!"

"Sholat nyok, biar pas sujud beban di bahu di angkat allah dan dosa-dosa gugur melewati kepala."

Kemiskinan Yang Tak TerlihatOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz