"Raden!" ucap Rengganis karena mungkin dia terkejut akan tindakanku.

"Aku sudah bilang tadi bahwa aku sangat menyukai wangi rambutmu. Aku yang lebih berhak menikmatinya bukan orang lain karena kau kekasihku," balasku pelan sambil mencuri kecupan di rambutnya.

Rengganis bergerak ingin melepaskan diri namun tentu aku tahan. "Lepaskan hamba Raden! Lagipula hamba memakai sedikit dan tidak ada laki-laki kecuali Raden yang terus menempel pada hamba seperti ini jadi wajar jika baunya tercium. Jadi sekali lagi tolong lepaskan hamba, Raden Panji!"

Makin mengeratkan pelukanku "Aku tidak mau melepaskanmu, Rengganis. Harus berapa kali aku katakan padamu, hm? Maafkan aku... aku sunguh-sungguh minta maaf... maafkan semua perkataan maupun sikapku yang telah menyakitimu. Maaf... maafkan aku," ucapku pelan.

"Raden ti___tidak bersalah... hiks... hiks... hamba yang salah. Mungkin tidak seharusnya ham__ba berada di sini."

Melepaskan pelukanku lalu menyipitkan mataku memandangnya "Kau mau meninggalkan aku setelah membuatku jatuh cinta setengah mati padamu, begitu? Kau kejam sekali, Rengganis!"

Terkekeh sesaat walau wajahnya masih basah karena air mata "Hamba sedang serius, Raden malah bercanda!"

"Kangmas Panji, panggil aku dengan benar lagipula tidak ada orang disini. Nah, tertawalah karena aku lebih suka melihatmu tertawa dibandingkan menangis."

Menghapus sisa air mata dengan tangannya lalu memandangku kesal "Minta saja Ndoro Dahayu memanggil Raden seperti itu, hamba yakin dia akan dengan senang hati menurutinya. Mungkin dia lebih senang lagi jika diperintahkan untuk memanggil Raden dengan panggilan 'sayang' atau 'cinta'. Dengan begitu hubungan kalian akan semakin dekat lagi."

Menyeringai memandangnya "Apa kau sedang cemburu, sayangku?" tanyaku tentu dengan menekankan kata terakhir sambil mengamati kedua pipinya yang berubah warna.

Sungguh dia menggemaskan sekali. Dulu aku bahkan berpura-pura bodoh dan mencari alasan konyol hanya karena ingin memeluknya atau mencium pipinya yang bersemu merah. Aku kurang ajar? Iya memang, tapi aku tidak menyesal. Jadi bagaimana bisa aku melepaskan perempuan ini?

Bergerak salah tingkah sambil membuang pandang ke samping lalu berkata, "Tidak lucu, Raden!"

Menggenggam kedua tanganya kemudian mengecupnya lama lalu berkata pelan, "Benarkan bahwa cemburu itu tidak enak, sayangku? Itu yang aku rasakan jika kau berhubungan dengan laki-laki lain selain aku."

Menengok memandangku lagi dengan alis menukik lalu mencoba menarik tanganya yang berada dalam genggamanku walaupun tentu gagal "Hamba tidak pernah berhubungan dengan laki-laki lain. Jangan samakan hamba dengan Raden yang mudah membawa perempuan-perempuan ke hutan!" balasnya kesal lagi.

Memandang langsung ke matanya lalu berucap, "Harap kau tahu, aku ini memang pemarah tapi bukan pembohong, sayangku!"

"Berhenti memanggil hamba begitu, Raden!" pintanya dengan dahi berkerut dan menghempaskan tanganku dari tangannya.

"Baiklah cintaku!" balasku sambil menyeringai dan dihadiahi dengusan darinya "Aku mengatakannya karena aku benar-benar mencintai wanita cantik yang tengah cemburu ini. Tidak perlu juga kau memaju-majukan bibirmu begitu! Apa kau mau aku hilang kendali seperti malam itu dan menciummu berkali-kali lagi, hm?"

"Radeeeen!" balasnya panik dengan kedua pipi makin memerah.

"Dengar! Aku bertemu Dahayu di hutan itu juga karena dirimu, Rengganis. Apa kau tidak mengenali dia? Sejujurnya aku bahkan tidak tahu siapa nama perempuan itu sampai dia mengatakan namanya seminggu lalu saat Romo membawanya kemari. Ingat tidak, perempuan yang dirampok oleh Bajradaka waktu itu? Nah, dialah oranganya!" jelasku dan aku merasa dia agak menegang saat mendengar nama perampok sialan itu.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now