Part 1

19 2 8
                                    

Jika kalian pernah pergi ke sudut kota, di mana jalanannya menukik tajam sebelum persimpangan besar, maka di gang sempit sebelum persimpangan itulah rumahku berdiri. Rumah sederhana dengan dinding bercat biru muda yang mulai memudar dan lusuh.

Tak banyak rumah lain di sana, selain rumah Paman Theo dan rumah Bibi Ann serta gubuk kecil milik Marc--gelandangan yang mengaku menjadi warga tetap di gang ini.

Paman Theo awalnya mencoba untuk menyuruh pria itu pergi karena takut jika nanti Marc mencuri. Akan tetapi, nyatanya, pria yang kuperkirakan berumur dua puluh lima tahunan itu tidak seburuk dugaan kami. Dia lebih memilih untuk memulung daripada menjarah harta kami yang memang tidak seberapa. Baguslah.

"Em, boleh aku mampir ke rumahmu?"

Langkahku terhenti. Kupandangi si pemilik suara tadi. Bocah laki-laki dengan kacamata bundar itu tersenyum lebar.

"No! Mom tidak akan menyukai itu. Pulanglah saja!"

Sama seperti biasanya, Lucas hanya akan mengangguk pasrah lalu berbalik arah untuk bergegas pulang.

Sebetulnya, dia teman yang baik. Hanya saja, aku tidak ingin Mom berteriak histeris saat ada orang asing masuk ke rumah kami.

Kulanjutkan langkah. Jalanan menanjak membuat kaki kecilku berusaha dengan kuat untuk mendaki. Aku rasa, sepuluh tahun lagi betisku akan terbentuk atletis karena setiap hari harus terlatih seperti ini.

"Kau pulang, Em? Kau membawa makanan?" Suara nyaring William menyambut kedatanganku.

Kututup kembali pintu dengan perlahan. Biasanya, Mom sedang beristirahat di jam seperti ini. Aku tidak ingin dia sampai terbangun nantinya.

"Aku sekolah. Bukan kerja. Nanti malam akan kubawakan makanan untukmu," jawabku sembari menuang air putih ke dalam gelas. Mencoba membohongi perut yang sedari tadi berbunyi ingin diisi.

"Tapi aku sudah sangat lapar, Em. Roti kemarin sudah habis untuk sarapan dan makan siang Mom." Adikku itu merengek meski dengan suara lirih karena takut Mom akan terbangun juga.

Kuhela napas sejenak, lalu menatap jarum pendek di jam dinding yang mendarat tepat di angka empat.

"Tunggulah!" kataku pada William sembari menepuk pundak bocah delapan tahun itu.

Setengah jam berlalu, aku pulang dengan beberapa bungkus kecil muffin. Sebenarnya, William menginginkan beberapa sayap ayam goreng. Hanya saja, selalu, uangku tak pernah cukup untuk itu. Muffin itu saja sebenarnya sisa dari toko pastry milik Bibi Clarice. Aku membantunya membereskan toko dan kue itu imbalannya. Lagi pula, mana mungkin aku mampu membelinya.

Hidupku berjalan seperti itu. Setiap hari dengan cerita yang sama. Hingga bertahun lamanya.

Kini, aku bukan lagi gadis dengan kepang dua dan pita merah di ujungnya. Aku lebih senang membiarkan rambutku tergerai meski terkadang angin menerbangkannya menutupi wajah. Percaya atau tidak, Lucas pernah bilang jika kini aku jauh lebih cantik daripada lima tahun silam. Saat kami masih berusia dua belas tahun. Aku rasa dia menyukaiku dari dulu.

"Kau mau aku menjemputmu esok hari, Em?"

Kusibakkan rambut yang lagi-lagi tersapu angin. "Haruskah selalu kau tanyakan itu selama bertahun-tahun meski sebenarnya sudah tahu jawabannya?"

Lucas tersenyum tipis. Kini dia tak lagi mengenakan kaca mata bundar seperti waktu kami masih kecil. Mungkin dia memakain lensa kontak atau, entahlah.

"Pulanglah segera. Besok kau harus masuk kuliah juga, 'kan?" kataku diikuti anggukan kecil dari pemuda penyuka segala macam olahan keju itu.

Mobil Lucas telah menghilang di persimpangan. Terkadang aku heran, apa dia tidak bosan selalu mengantar-jemputku setiap hari selama bertahun-tahun? Jika dulu untuk berangkat sekolah, kini mengantar-jemput ke tempat kerja.

"Aku pulang."

Suara decitan pintu terdengar memenuhi ruangan. Memang sudah seharusnya pintu ini diganti. Andai saja ada anjing yang menyeruduknya, kupastikan benda itu akan roboh karena saking rapuhnya.

Kunyalakan saklar di samping pintu. Tak terlalu terang, tapi cukup memberikan penyinaran.

Tidak ada sambutan membuat hatiku berubah cemas. Biasanya, William akan menghadang kedatanganku dengan menanyakan tentang makanan. Akan tetapi, kali ini terasa sunyi.

"Mom?" Aku membuka kamar Mom, dan begitu terkejut saat ruangan itu kosong.

Aku berlari ke dapur dan kamar mandi untuk mencari sosoknya. Namun, tak ada satu pun di sini bahkan William juga.

Aku bergegas lari keluar. Mataku mengawasi sekitar. Berharap dapat menemukan Mom dalam keadaan baik-baik saja, terlebih hari ini sudah malam.

"Em! Ada apa?"

Kudengar suara William dari persimpangan, lalu langkah kakinya berlari mendekat.

"Kau keluar dari rumah dan tak mengunci pintu?" todongku saat adik lelakiku itu berdiri mensejajari.

"Ada apa? Aku hanya pergi ke supermarket sebentar untuk membeli saus."

"Mom hilang!"

William membelalak kaget. Diremasnya rambut blonde di kepalanya.

"Lalu, bagaimana? Aku hanya keluar sebentar, Em. Belum ada sepuluh menit juga."

"Tapi kau tidak mengunci pintu. Sudah berkali-kali kubilang, 'kan? Jangan lupa kunci pintu saat kau keluar!"

William menarik napas berat. "Kita cari sekarang!"

Kami bergegas ke arah persimpangan. William memutuskan untuk pergi ke arah kanan, sementara aku ke kiri. Berpencar sepertinya ide yg bagus.

Beberapa toko terlihat masih buka. Tak ada satu pun yang kulewatkan. Aku memasukinya satu-persatu dan mengamati barangkali Mom ada di salah satu tempat itu. Serta pada gang sempit atau apa saja yang memungkinkan Mom bersembunyi di sana.

"Kau mau mencuri di tokoku?! Pergilah! Sebelum aku memanggil polisi."

Sebuah hardikan terdengar. Aku segera berlari ke arah butik milik Feith.

"Mom!"

Kulihat Feith menyeret paksa tubuh ibuku untuk keluar dari butiknya.

"Apa yang kaulakukan?!"

Jelas aku tak terima atas perlakuan Feith yang menyeret paksa Mom dan mendorongnya sampai jatuh tersungkur di trotoar.

"Apa yang kulakukan? Tentu mengusir orang gila ini. Lain kali jangan biarkan ibumu keluyuran. Dia selalu saja pergi ke sini dan membuat beberapa baju koleksiku kotor."

Aku tidak dapat melakukan apa pun, bahkan hanya untuk membalas makian itu. Kupeluk tubuh Mom yang mulai ringkih. Aku menangis, sementara wanita dalam dekapanku hanya tersenyum tanpa arti.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 23, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

EmilyWhere stories live. Discover now