Keputusan bimbang untuk memastikan

4.2K 14 0
                                    

Di tengah makam seorang remaja mengenakan seragam putih abu-abunya. Berdiri bersama sang Bundanya, di depan salah satu kubur mendiang keluarga terdekat mereka. Bunga-bunga warna-warni yang mereka genggam sedari tadi, secara bergilir mereka taburkan di atas tanah kubur, depan mereka.

Sedikit lutut mereka tertekuk, tubuh menghadap kuburan tersebut. Secara pribadi-pribadi mereka memanjatkan permohonan dalam hati. Secara bersamaan membuka mata, saling memandang lurus satu sama lain. Julia yang tak tahan untuk menahan rasa gemas sayangnya ingin memeluk sang anak, karena tak menyangka Jonathan yang di nyatakan lulus dengan sempurna mendapatkan nilai yang baik.

Sergap lutut tersebut berdiri tegak, Julia langsung memeluk Jonathan dengan hangat. "Mama makasih banyak sama kamu, Jonathan. Kamu mau menghargai jerih payah mama sama ini. Mama sungguh bangga punya anak seperti kamu, lulus sempurna, dapat beasiswa pula untuk kuliah nanti."

Sedikit merinding senang, Mata bulat berwarna hitam pekat milik Jonathan itu menyorot ke wajah sang bunda. "Jonathan juga bangga, kok. Punya Mama yang mau bertanggung jawab menyekolahkan anaknya." Balas Jonathan memeluk orang yang mendekapnya dengan hangat.

Merasa puas dengan pelukan, satu darah daging itu saling menguatkan satu sama lain. Sepasang mata mereka secara bersamaan, menatap nisan bertuliskan seorang nama 'Jackson Ardula,' mendiang Ayah kandung Jonathan, dan mendiang suami Julia.

Pikiran sedikit flashback, dari samping Jonathan, tangan Julia menggenggam telapak tangan Jonathan dengan hangat. "Percayalah sama mama, Jonathan. Jika Ayah masih saja hidup hingga sekarang, bangga melihat anaknya yang pintar ini."

Sakin gembiranya hati Jonathan yang mendapat pujian sang Bunda. Membuat Jonathan sedikit bingung ingin menjawabnya, dia memilih untuk melempar senyum sebagai bentuk apresiasinya kepada sang bunda, tegas kepalanya mengangguk. Sedikit termotivasi dari pujian tersebut, Jonathan berharap semoga apa yang dikatakan Julia membuatnya lebih hebat kedepannya, bersemangat dalam menjalani hidup ini.

Perlahan melonggarkan pelukan, Julia Sedikit mengecup kening sang anak tercintanya itu. Kemudian berkata, "Nanti kamu kuliah di Amerika yah, Jonathan."

Spontan kelopak mata Jonathan terbuka lebar, tak menyangka dirinya bahwa sang bunda sudah mengusulkannya sebelum dia rencanakan. "Tapi Mam--"

Mendengar nada keraguan dari sang anak, dengan cepat sebelum mendengar keputusan yang tak ingin Julia dengar saat ini, dia memotongnya. "Mama mohon sama kamu yah, Nak. Nanti kamu kuliah di America."

Pasalnya Jonathan ingin sekali untuk kuliah di luar negri sana, akan tetapi jika dilihat dari latar belakang. Mengingat sang Bunda harus berjuang sendiri nantinya, saat dia jauh darinya. Di tambah lagi dirinya yang merasa berat, jika harus berhubungan dengan Natasya dengan jarak yang jauh.

Bingung untuk cepat bertindak memutuskan hal yang terbaik untuk kedepannya, ragu-ragu kedua bahu milik Jonathan terangkat. Berpaling dari Julia meninggalkan wajah jutek, Jonathan pergi meranjak meninggalkan Julia di tempat sendirian. Julia yang merasa dirinya tak sanggup untuk mengejar anaknya itu, dia memilih diam dengan penuh keyakinan pasti bertemu dengannya, berharap nanti saat bertemu, suasana hati Jonathan bisa diajak kompromi.

~~~
Sehabis dari makam, sesuai dengan janji-nya dengan sahabat-nya, dan Natasya. Akan merayakan kelulusan bertiga di rumah Dimas Agung. Seperti pemuda kebanyakan, ingin sekali terlihat sosok yang peduli terhadap pasangannya. Jadi sebelum ke rumah Dimas untuk merayakan acara, terlebih dahulu dia menjemput Natsya. Dan langsung bersama Natasya pergi kerumah Dimas.

Di sambut baik oleh sang sahabat, mereka sepasang kekasih langsung di jamu di sebuah meja khusus dirumahnya. Kebetulan orangtua Dimas lagi pergi ke luar negeri, jadi dia menyalakan musik dengan volume keras pun, tiada yang menegurnya.

Setelah menyetel musik, dan mengambil air soda di dalam kulkasnya. Balik ke arah kursi, menghadap kedua pasang sahabat-nya itu. "Jadi gimana nih, sahabat-sahabat ku mau lanjut kuliah atau langsung kerja kalian?" tanya Dimas kepada dua sahabat yang di depannya.

"Emm ... kalau gue sih, jujur aja lanjut kuliah. You know lah, bro. Jaman sekarang lulusan Sekolah Menengah, bakal dapat kerja apa?" sedikit mengerut dahi Natasya, menjawab pertanyaan dari Dimas.

Terangguk Dimas, respeck-nya terhadap kalimat yang di lontarkan Natsya. "Bener sih kata loe, Tasya. Gue pikir-pikir sih, gue juga begitu. Nah, kalau sahabat gue yang satu, gimana?" sepasang bola mata hitam milik Dimas, langsung teralih kepada Jonathan.

Deg!

Mengalihkan pandangan wajah dari mata Dimas. Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut sang sahabat, bagaikan suhu es datang menimpah secara tiba-tiba pada mulut Jonathan. Jonathan belum siap untuk menjawabnya karena posisinya sekarang duduk bergandengan, di samping Natasya. Pasalnya saat dua bulan lalu, mereka berjanji akan kuliah bersama-sama.

tangan Jonathan mengangkat botol berisikan minuman soda. "Ini buat kita kan, Dimas?" tanya Jonathan mengalihkan topik.

"Iya, itu buat loe berdua lah, masa iya sahabat-sahabat gue datang kesini, enggak ada perjamuannya." balas Dimas mengangkat kedua alisnya.

Sedikit tercengir kepada Dimas, Jonathan menyalin minuman soda itu ke dalam dua cangkir yang sudah tersedia di atas meja. Cangkir satu dia geser ke arah mejanya, cangkir dua dia geser ke arah meja Dimas. Saat dia menggeser cangkir terakhir, seketika wajahnya berubah menjadi sedikit tertekuk melihat Natasya yang tiba-tiba memasang muka mesem.

"Bi, kamu kenapa?" sedikit menggeser tubuhnya lebih dekat ke arah Natasya. Dengan wajah tegas terlihat manja, Jonathan memandang Natasya. "Kok, mukanya bete sih. Ini kita lagi pen rayain kelulusan, loh ... bukan ngerayain acara calon ibu rumah tangga-ku marah-marah ...."

Sedikit mendengus dengan sedikit hidung yang mengkerut. "Lagian siapa ingin jadi calon ibu rumah tangga, sama orang yang enggak tau masa depan-nya mau kemana, dan jadi apa!" Cerca Natasya dengan ekspresi jengkel di jadi-jadikan.

"Minta kode tuh, bro. Loe musti jawab pertanyaan gue tadi, loe mau kuliah atau kerja nantinya?" sambar Dimas sedikit mendukung Natasya.

Bagaikan batu besar seberat 100 kilo gram dari atas, menimbun tubuh kurus namun kekar, milik Jonathan. Dengan sekuat tenaga, berpikir untuk memaksa batu itu agar terpecah. Sedikit menghembus napas dengan sedikit kasar. Jonathan memberanikan diri untuk lebih jujur tentang pilihan hidupnya nanti, secara langsung oleh kedua kerabat dekatnya ini.

"Baik, jika kalian memang super kepo penasaran akan hal itu." Setelah memandang Natasya, terasa dirinya tak di hiraukan. Jonathan mengalihkan matanya langsung kepada Dimas. "Jujur, gue memutuskan untuk menuruti perintah mama gue untuk melanjutkan kuliah, di Amerika."

Plak! satu tamparan dari Natasya dengan keras mengenai pipi Jonathan.

"Mana janji kamu waktu itu, kita akan kuliah bersama." Memandang wajah kekasihnya, membayangkan akan perpisahan jarak nanti. Membuat Natasya tak tahan untuk mengeluarkan air kesedihan di matanya.

"Jawab aku, Jonathan. Mengapa kamu ingin kuliah, di Amerika." lanjut Natasya menarik-narik kerak baju milik Jonathan.

"Kamu enggak denger tadi aku ngomong, Mama yang menyruh-ku. Jadi fine, masa iya aku harus menolaknya, sih ...."

Tak tahan terus-menerus melihat air mata sang kekasi jatuh, di depan matanya langsung. Berpikir banyak-nya yang telah dia beri kepada Natasya selama mereka jadian mulai dari kesenangan, usaha, serta waktu besar, selama dua tahun berjalan jadian. jika di banding oleh sekarang, kini perintah sang Bunda yang telah mengurusnya dari kecil hingga besar. Setelah sedikit memberi pelukan hangat kepada sang kekasih, Jonathan menegakan lututnya. Meninggalkan wajah jutek kepada Natasya, Jonathan langsung meranjak pergi tanpa membalikan pandangannya lagi.

Hot young auntWhere stories live. Discover now